Warna langit malam yang hitam kelihatan akan semakin kelam, setelah dewi bulan yang wajahnya pucat disembunyikan dengan paksa oleh kelompok gulungan lapisan awan tebal. Sisa air hujan masih menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau muram tersiram cahaya lampu mobil atau motor yang melintasi jalan kompleks itu. Dan semakin lama waktu meluruh, semakin sepi dan lengang mataku menatap jalan yang ada di depan rumahku. Aku melirik sekilas jam tangan yang melilit lengan kiriku. Sudah setengah dua malam. Tapi sepasang mata ini belum juga menangkap sosokmu yang kutunggu. Aku semakin gelisah. Semakin resah. Sekali lagi aku mencoba menelpon menghubungi nomor telepon selulermu, tapi hanya suara merdu perempuan yang menjawab : “ Telepon yang anda hubungi berada dijangkauan area service”. Aku mencoba lagi mengirim sms yang kesekian kali untuk menanyakan keberadaan dan keadaanmu, namun konfirmasi report bahwa sms itu telah tiba di nomor yang di tuju juga belum ada. Itu artinya aku makin dikecam oleh gelisah. Semakin lama gelisahku semakin menggurita, menciptakan berbagai macam bayang – bayang kemungkinan buruk yang terjadi padamu. Namun aku dengan cepat, selalu menepisnya dengan prasangka baik. Aku tidak ingin kegelisahan ini semakin tidak terkontrol dan menjeratku. Yang membuat malamku riuh dengan kerisauan dan hanya berseteru dengan kecemasan. Tidak ! Aku mesti bersikap tenang. Aku hanya mesti menunggumu dengan lebih sabar lagi. Menantikanmu dengan penuh harap bahwa kamu akan tiba di sini, cepat atau lambat dalam keadaan baik – baik saja. Hal itu jauh lebih penting. Aku akhirnya memutuskan menyulut rokok mentol terakhirku untuk menemaniku menunggu kedatanganmu. Aku menghisap batang nikotin tersebut dengan setengah hati karena sedari tadi aku telah lama menghisap berbatang – batang rokok itu hingga tenggorokanku serasa sudah seperti terbakar, panas dan perih. Lidahku juga telah terasa begitu keluh dan pahit.Tapi aku belum jera untuk menghisapnya, setidaknya sampai batang rokok terakhir ini akan menjadi sisa puntung yang akan tergeletak di asbak bersama sisa abu dan puntung – puntung rokok lainnya. Ya, dalam rentang waktu kurang lebih empat jam saja, sebungkus rokok mentol itu telah habis kuhisap untuk menjadi temanku menunggu kehadiranmu. Mungkin ruang di paru – paruku sudah penuh dengan asap dan jantungku telah menghitam. Namun seperti kebanyakan orang – orang yang dicap sebagai perokok aktif, mereka selalu memberi alasan yang kurang logis dengan argumentasi bahwa pikiran mereka tidak akan dapat fokus dan kreatifitas tidak muncul jika mereka mengurangi berinteraksi dengan batang - batang nikotin itu, apalagi jika berhenti sama sekali. Bah ! ( Yang merokok jangan tersinggung ya…PISS ). Hembusan asap dari batang rokok terakhir ini menciptakan kepulan bayang – bayang imajiner yang membawaku pada ribuan deretan kenangan antara kau dan aku. Kenangan itu begitu jelas terlihat di benak bagai sebuah slide photo program pada sebuah operasi sistem komputer , saling sambung menyambung dan sepertinya tidak akan pernah berakhir jika kita terus menekan tombol next arrow pada keyboard. Dan aku membiarkan saja diriku pasrah terbawa hanyut oleh arus deras kenangan – kenangan tersebut. Aku membiarkan saja benakku mempertontonkan kembali kisah – kisah yang telah lama berlalu denganmu yang selama ini masih kusimpan dan kujaga di lemari memori otak kiriku. Aku dibawa benakku untuk melihat prolog kenanganku denganmu, di awal kita saling berkenalan, lalu kemudian kebagian plot. Dibagian tersebut, aku kembali melihat konflik, klimaks, antiklimaks dan ending yang terjadi di dalam hubungan kita berdua. Begitu seterusnya tanpa pernah ada akhir dari suatu masalah. Jika satu masalah telah terlewati maka akan muncul lagi masalah – masalah lainnya, saling susul menyusul. Entah itu hanyala masalah yang awalnya aku anggap ringan tapi tak tahunya berakhir dengan kata yang keluar dari bibirmu “ Kita putus saja!” , tapi tak berapa lama kemudian kau dan aku kembali tertawa bersama. Kembali tersenyum bersama dan saling mencibir bersama. Aku hanya tersenyum sendiri melihat scene slide kenangan – kenangan tersebut laksana menonton sebuah film drama romantis yang peran utamanya adalah kau dan aku. Aku tahu kenangan hanyalah suatu kemayaan, suatu masa yang sudah berlalu dan tidak akan mungkin dirubah lagi. Tapi terkadang kenangan itu mampu menarik kita dari alam nyata dan merubah kehidupan kita yang nyata. Lho, kok curhat ? Akhirnya scene slide kenangan yang berlalu lalang di benakku berhenti di sebuah tempat yang sangat tidak asing lagi bagiku atau bagimu. Ya, aku dibawa oleh kenangan di sebuah taman di kompleks tempat tinggalmu. Aku kemudian melihat dirimu dengan wajah menunduk sedang duduk di kursi taman yang terbuat dari balok kayu jati yang di cat coklat tua. Dan aku melihat diriku sendiri sedang berdiri mematung kaku di depanmu. Hm, aku ingat jelas kejadian saat itu. Bahkan aku ingat keadaan cuaca saat itu yang begitu ramah dan ditimpali angin yang berhembus sepoi – sepoi. Saat itu larik – larik sinar matahari senja menyibak celah – celah rimbun dedaunan pohon beringin yang merindangi kursi taman bercat coklat tua yang sedang kau duduki. Berkas cahayanya jatuh berpendar di tubuhmu yang berbalut kaos berwarna hijau muda dan menciptakan siluet dedaunan. “ Akhirnya hari ini tiba juga, ya ? “ aku mencoba memecahkan kesunyian yang mencengkram pada saat itu. Aku masih berdiri saja melihatmu menundukkan wajahmu yang seolah – olah ingin kau sembunyikan dariku agar duka yang memasung di wajah indahmu tak akan terpantau olehku. “ Maafkan aku, kak …” suaramu bergetar dengan hebat meski kau coba terdengar tegar, tapi aku tahu kau bukanlah perempuan yang setegar itu dan mungkin sama dengan aku yang juga bukan laki – laki yang setegar engkau kira. “ Tak ada yang perlu di maafkan, dik. Tidak ada yang salah pada dirimu atau siapapun orang – orang yang ada diantara kita. Ini sudah garis takdir! Kau dan aku telah tahu sejak dulu bahwa hari ini akan tiba juga akhirnya“ aku menghampirinya ketika bendungan kekerasan hatinya tidak mampu menahan lagi butiran – butiran air matanya. Dia menangis sesunggukan dan kubiarkan saja wajahnya membenam di dadaku.Lama kurangkul dia dalam pelukku untuk menenangkan perasaannya di saat itu. Lama aku duduk bersamanya di kursi taman itu. Dan lama aku baru menyadari bahwa dia adalah wanita yang sungguh – sungguh telah menaklukkan hatiku sekaligus yang menciptakan luka hati yang mungkin akan lama terobati. Ah …! “ Aku sangat menyayangimu, Kak ! “ Lama aku menjawabnya, bibirku seperti kering jika melihat kenyataan yang membentang di jalan kehidupan kami berdua. Hanya jari – jariku saja yang membelai lembut anak - anak rambutnya “ Aku juga sangat sayang kepadamu, dik…Sungguh! ” Dan sejak saat itu, pertemuan telah menjadi sesuatu yang asing diantara kau dan aku. Kita akhirnya memilih jalan berpisah. Kau dan aku telah lama tahu bahwa kedua orang tua kita tidak akan pernah menyetujui hubungan tersebut di lanjutkan ke tahap yang lebih serius karena masalah prinsip keyakinan yang berbeda. Tiga bulan setelah kejadian itu, kau kabarkan padaku melalui sms bahwa Ayahmu akan menikahkan dirimu dengan seoarang bankir yang tentu saja memiliki keyakinan yang sama denganmu. Aku menerima kabar tersebut dengan lapang hati meski entah kenapa masih saja ada sesuatu yang terasa sakit menusuk di kedalaman hatiku ini. Tapi aku adalah laki – laki yang mengklaim diri sendiri sebagai karang. Toh, aku memiliki salah satu prinsip tentang hidup : semuanya akan baik – baik saja seiring berjalannya waktu. Scene slide kenangan tiga tahun yang lalu di taman itu akhirnya berakhir pula saat rokok di sela – sela jemariku hanya meninggalkan sisa puntung yang masih berasap. Ya, aku telah kembali berada di sebuah kenyataan hidup dan sedang duduk sendiri di beranda rumah menunggu kedatanganmu. Aku teringat percakapan kita via ponsel saat kau menelponku kemarin sore. Sebenarnya aku sangat heran bercampur aduk dengan perasaan lainnya setelah berpuluh – puluh bulan tidak pernah lagi mendengar suaramu meskipun hanya lewat telepon. Berbagai pertanyaan mendesir hebat di benakku, namun semuanya sontak sirna saat nada suaramu kutangkap penuh ketakutan. Dan aku langsung tahu, pasti ada suatu kejadian serius yang menimpamu. “ Bisakah sebentar malam Kakak mengantarku ke rumah orang tuaku. Aku takut dengan peringai suamiku saat ini. Entah kenapa dia tiba – tiba menjadi begitu beringas akhir – akhir ini. Sepertinya dia terlalu tertekan batin karena telah terlibat masalah dalam skandal penggelapan uang dikantornya “ Lama dia terdiam. “ Aku sangat takut, kak. Tolonglah, aku kak ! Kali ini saja. hanya kakak yang mungkin bisa menolongku saat ini ! ” Aku tidak berpikir panjang dan langsung saja mengiyakan meski aku tahu mengantar Ranti ke rumah orang tuanya memakan jarak tempuh beratus – ratus kilometer, tapi aku tidak perduli. “ Katakan dimana posisimu, Ran ? Biar kujemput kau dari sana !” “ Tidak usah, Kak. Biar aku yang menuju ke rumah Kakak. Aku akan ke sana dengan naik Taxi “ jawabnya “ Dan terimakasih atas semuanya …” Itu kalimat terakhir yang kudengar darinya dan itupulah yang membuat aku masih terduduk dengan gelisah menunggunya di beranda rumah. Namun hingga subuh beringsut pergi diganti pagi dengan langitnya yang biru, kehadiranmu tidak tertangkap oleh pandanganku. Bahkan nomor ponselmu yang aku hubungi sudah tidak dapat terhubungi lagi. Selalu ter-reject tidak dapat dihubungi secara otomatis. Aku semakin cemas bila mengingat percakapan singkat di telepon kemarin sore itu. Dan kecemasanku pada dirimu semakin menjadi – jadi, saat kediamanku di datangi dua orang polisi berpakaian seragam lengkap saat hari menjelang siang. Aku mendapatkan firasat yang tidak enak. “ Saudara yang namanya Fatur ? Anda mengenal Saudari Rianti Novalia ?“ Aku hanya dapat mengangguk pelan. Keresahan tak dapat kusembunyikan dari bahasa tubuhku. Aku diradang kegelisahan yang sangat. “ Harap saudara ikut bersama kami ke kantor polisi. Ada sejumlah pertanyaan serta kesaksian anda yang kami butuhkan “ ucap salah satu polisi itu dan seolah – olah mampu membaca arah pikiranku, dia menyambungnya dengan kalimat lain yang membuat jantungku serasa tertusuk belati “ Dan kami mendapatkan nomor anda dari list panggilan terakhir pada telepon selular Saudari Rianti Novalia selaku korban pembunuhan …“ Tiba – tiba pandanganku sontak menjadi rabun dan pikiranku entah terbang kemana. Mungkin menuju kembali ke slide kenangan pertemuan terakhir kita di taman kompleks itu ... TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar