Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Rabu, 19 Oktober 2011

-Betapa Mudahnya Perempuan Tertipu-

Berdasarkan dari betapa mudahnya wanita diperdaya oleh lelaki/cowok. Bahkan dengan sangat angkuhnya wanita sering berpendapat bahwa dirinya tidak akan mudah termakan rayuan gombal lelaki. Itu benar, karena dimasa sekarang ini tidak ada lelaki yang bibirnya bisa mengucapkan rayuan gombal seperti film-film Indonesia tempoe doeloe. Tetapi dengan pendidikan dan teknologi yang berkembang, metode kami berubah (red:cowok).Kami bisa memanfaatkan semua SDM dan SDA yang ada di sekitar kami untuk menunjang tegaknya diagnosa “SERIUS” dihadapan target (wanita). Apakah property ''nebeng''? Oh tidak! Bahkan hanya dengan kesederhanaan, malah jadi pamungkas yang cukup jitu untuk meluluhkan hati wanita incaran kami. Karena dengan kesederhanaan dan property seadanya, akan mendatangkan kesan ketulusan dan bersahaja. Yang kemudian menimbulkan cinta sepenuh hati, berakibat kepasrahan. Ini fokusnya, kepasrahan yang artinya diriku sepenuhnya kuserahkan padamu, termasuk my virgin (klo masih).Wahai wanita, tidak semua diantara kami kaum lelaki mengincar hartamu, yang merupakan incaran kami sebenarnya adalah SEX, sejauh mana dirimu memberikan rasa penasaran kepada kami, selama itu pula kami sanggup bersandiwara dengan sekuat tenaga kami. Mengapa kami sebut sandiwara? Karena kami menyimpulkan bahwa yang telah beristeri saja masih banyak yang selingkuh (meski tidak semuanya).Pernikahan yang kejelasan statusnya dilindungi oleh hukum agama dan UU Negara, masih sering kami injak-injak.Apalagi status pacaran? Yang sama sekali tidak dikuatkan oleh peraturan manapun. Artinya seorang cowok bisa saja berpacaran dengan seribu cewek dalam waktu bersamaan atau sebaliknya. Maka jadilah pemuda-pemudi bangsa ini sebagai pakar zina, dari yang kecil sampai yang besar.Tapi masalah jadi bangsa apa bukan urusan kami, selagi kami masih bisa menikmati kenikmatan dunia lewat tubuh wanita secara FREE, maka paradigma ''Pacaran sebagai proses penjajakan'' akan selalu kami sebarkan dengan cara apapun.

Sex dengan pacar sendiri sangat berbeda rasanya dengan sex dengan pelacur manapun dengan harga pakai berapapun. Sebab wanita yang selalu jadi target kami tentunya bersih, sehat, bebas penyakit menular seks (PMS), terawat dan terdidik. Soal kaya atau miskin si target itu bisa disesuaikan. Maksudnya apabila kami telah sukses memperdaya hati target, maka keadaan keuangan akan sangat mudah dikendalikan berdasarkan scenario ''rasa pengertian'' yang kami ciptakan di hati target. Pulsa yang kami keluarkan untuk menjalin kedekatan tidak sebanding dengan kenikmatan yang menanti kami.Target berjilbab? Bisa sukses bisa juga tidak.Usaha kami dalam berburu ''kenikmatan'' terhadap target berjilbab memerlukan beberapa trik tambahan. Tetap bersikap sederhana, apa adanya, bersahaja, pengakuan terhadap kekurangan diri, bersikap humoris dan sedikit bumbu religi yang didapat dari ceramah ustadz-ustadz di televisi bisa jadi referensi tambahan.Usaha kami sukses terhadap target yang berjilbab yang juga masih berpakaian ketat, sehingga jilbab kadang-kadang hanya menutupi rambutnya dan tidak menutupi ukuran ''hardware'' indahnya. Kulit target yang halus mulus karena sering tertutup dari polusi udara dan matahari memberikan sensasi yang tidak sama dengan target tidak berjilbab pada umumnya.

Luar biasa!!!

Usaha kami gagal apabila target berjilbab tapi juga berpakaian yang lebar, sehingga tidak tampak keindahannya lewat mata secara fisik, tapi kami sangat yakin dibalik pakaian yang lebar itu tersimpan lebih banyak keindahan. Kami kurang pasti penyebab kegagalan usaha kami terhadap target tersebut, bisa jadi keteguhan target dalam memegang keyakinan bahwa keindahan yang mereka miliki merupakan ''harta berharga'' yang hanya akan disuguhkan kepada suami mereka nantinya. Kenyataan yang menggembirakan adalah target ''kokoh'' semacam ini berjumlah sangat sedikit jika dibandingkan dengan total target ''empuk'' yang banyak tersedia di sekitar kami.Pada umumnya target menginginkan ''keseriusan''. Ketidaktahuan mereka terhadap makna kata serius ini yang sering kami manfaatkan sebagai peluluh hati mereka. Trik yang kami gunakan bermacam-macam, mulai dari kirim sms yang bertuliskan ''Aku serius lho sama kamu'', telepon diatas jam 23.00 (tarif murah) untuk bicara panjang lebar dengan topik yang dipilih secara random. Ini trik yang paling sederhana dan cukup jitu untuk target yang masih lugu atau pura-pura lugu soal keseriusan hubungan. Maksudnya walau target sudah mengerti tentang trik yang kami jalankan dalam meraih target, tapi seiring waktu dan semangat kami yang tidak berputus asa dalam menjalankan skenario, cepat lambat target yang dulunya pura-pura lugu akan luluh akhirnya melihat semangat tulus palsu kami. Jika tujuan utama kami yaitu tubuh indah target belum didapatkan, maka bukti keseriusan palsu kami dapat dikuatkan dengan memboyong mereka ke orang tua kami atau sebaliknya, kami bersedia diboyong ke orang tua target. Sampai disini saja keberanian kami untuk bermain dengan kata serius, untungnya karena 99% target telah takluk pada level trik ini.

Kenyataan yang juga menggembirakan kami adalah apabila ternyata orang tua kami atau oramg tua target juga memiliki paradigma ''Pacaran adalah proses penjajakan'' atau ''Pacaran adalah proses yang harus dilalui oleh remaja normal''.

Luar biasa!!!

Target yang telah beranggapan bahwa ''inilah jodohku'', dengan paradigma ini kami telah mendapatkan kepercayaan penuh dari segala pihak untuk memperlakukan target semau kami. Termasuk menikmati kenyamanan sensasi seks penuh gratisan yang kami tunggu-tunggu selama perjuangan. Tidak perlu buru-buru, karena kami sangat dan sangat memperhatikan situasi, kondisi dan domisili.
Soal dikemudian hari kami bosan dengan target yang sudah habis manisnya karena kami hisap atau muncul target baru yang lebih segar, maka skenario pelepasan diri dapat dijalankan dengan berbagai alasan. Sangat mudah melakukannya mengingat semua manusia memiliki kekurangan, kekurangan inilah yang harus diangkat ke permukaan dan menjadi pokok bahasan yang berlanjut dengan putusnya hubungan. Alasan ketidak cocokan bisa menjadi penangkal pertanyaan orang tua masing-masing pihak.Putus. Juga merupakan jalan baru bagi kami untuk memulai skenario pengejaran target baru. Tampang berduka, bahkan tampang tegar paska putus pun bisa menjadi pesona di hadapan target baru ini. Tentunya kami tidak meninggalkan trik-trik peluluhan hati yang kami terapkan terhadap target-terget sebelumnya seperti sederhana, tampil apa adanya, bersahaja, sedikit ditambah bumbu humoris karena target pada umumnya ingin dekat dengan orang yang selalu bisa membuatnya tersenyum dalam setiap keadaan. Target selalu ingin merasakan aman, nyaman, disayang, diperhatikan (beberapa). Maka sedaya upaya kami akan ciptakan suasana tersebut hanya didekat kami. Persepsi bahwa di dekat kami maka target merasa aman, nyaman, tenang, tersenyum, dan damai merupakan paradigma yang harus kami ciptakan di dalam kepala target.Untuk kesekian kalinya kami selalu sukses dalam pencapaian tujuan kami, menjadikan kami sangat berpengalaman dan cerdas dalam program ini, dengan atau tanpa hambatan sama sekali. Sungguh indah dunia ini, dipenuhi dengan target-target berpendidikan tapi bodoh yang menunggu giliran untuk kami habisi.

''Ahh, saya kan gak pernah serius klo pacaran, ngapain takut!''

Jika terget berfikiran seperti kata-kata di atas, maka pemikiran seperti ini juga merupakan peluang besar bagi kami untuk memulai skenario peluluhan hati. Yang kami utamakan lebih dahulu adalah mengadakan ikatan super tidak jelas bernama Pacaran, soal cinta atau tidak, itu cuma masalah waktu. Trik-trik yang kami lancarkan akan mengubah keadaan hati target seiring waktu yang dilalui bersama-sama dan komitmen semu tentang pacaran yang kami atau orang lain ciptakan.

''Ahh, tidak semua cowok seperti itu, cowokku ga gitu and ga mungkin begitu!''.

Kata-kata sejenis ini merupakan tolak ukur keberhasilan skenario BHSP (Bina Hubungan Saling Percaya) yang nantinya menjadi peluang besar untuk mendapatkan tubuh target di kemudian hari. Karena salah satu yang kami ingin bentuk adalah pendapat target bahwa kami adalah cowok yang berbeda dengan cowok pada umumnya.
Jika Anda wanita berpenampilan menarik atau tidak, bertubuh indah baik tertutup atau tidak, mencari keseriusan hubungan, mencari cinta dari sesama manusia tanpa pemahaman yang jelas…
Maka Anda target kami berikutnya!!!

Wahai wanita, ketahuilah bahwa seorang laki-laki yang benar-benar serius terhadapmu akan datang kepada orang tuamu dengan berkata ''Pak, saya ingin menikahi putri Bapak, sekarang saya punya penghasilan Rp…../bulan, dst'',

sedangkan laki-laki yang benar-benar serius ingin menghabisimu akan datang langsung kepadamu dengan berkata ''Maukah kamu jadi pacarku?''

Puncak kehinaan wanita ketika ia menerima tembakan seorang lelaki untuk jadi kekasihnya.

Puncak kemuliaan wanita ketika orang tua/walinya mempertimbangkan lamaran seorang lelaki untuk jadi isterinya.

Hancurkan harga diri wanita dengan pacaran, muliakan diri dengan . . . . . . . . .?????????


Sumber : NN

diunduh dari http://www.wahdah-kendari.co.nr/

Al-Istibra’ (Masa Menunggu Bagi Seorang Wanita Setelah Mengandung),Al-Hadhanah (Hak Pemeliharaan)

KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi



Al-Istibra’ (Masa Menunggu Bagi Seorang Wanita Setelah Mengandung)
Apabila ada seorang laki-laki yang menginginkan budak wanita yang ingin dicampurinya, maka ia tidak boleh menggaulinya sampai dia istibra. Jika ia sedang hamil, maka sampai melahirkan dan jika tidak, maka dengan habisnya masa satu kali haidh.

Dari Ruwaifi’ bin Tsabit bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” [1]

Dan dari Abi Sa’id bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas:

لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً.

“Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidhnya sekali.” [2]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

إِذَا وُهِبَتِ الْوَلِيْدَةُ الَّتِي تُوْطَأُ، أَوْ بُيِعَتْ، أَوْ عُتِقَتْ، فَلْيَسْتَبْرَأْ رَحِمَهَا بِحَيْضَةٍ، وَلاَتَسْتَبْرَأُ الْعَذَارَاءُ.

“Jika seorang budak wanita yang pernah dicampuri dihadiahkan, dijual atau dimerdekakan, maka ia harus istibra’ dengan satu kali haidh, sedangkan jika ia masih gadis maka tidak perlu istibra’.” [3]

Al-Hadhanah (Hak Pemeliharaan)
Yaitu menjaga anak dan memeliharanya dari segala sesuatu yang membahayakannya dan mengupayakan apa yang maslahat baginya.

Apabila seorang suami menceraikan isteri sedangkan ia memiliki seorang anak darinya, maka sang isteri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai ia berumur tujuh tahun selama ia tidak menikah dengan laki-laki lain. Dan apabila sudah berusia tujuh tahun, maka ia disuruh memilih antara ikut ayahnya atau ibunya.

Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang wanita berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susukulah yang memberinya minum dan pangkuankulah yang melindunginya. Namun ayahnya menceraikanku dan ingin merebutnya dariku.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah.” [4]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata:

يَارَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ زَوْجِيْ يُرِيْدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِيْ وَقَدْ سَقَانِيْ مِنْ بِئْرِأَبِيْ عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِيْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هَذَا أَبُوْكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ، فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ، فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ، فَانْطَلَقَتْ بِهِ.

“Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia yang mengambilkan air dari sumur Abu ‘Inabah untukku dan ia sangat berguna bagiku.” Maka Nabi J bersabda, ‘Wahai anak laki-laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari mereka yang engkau kehendaki.’ Lalu ia memegang tangan ibunya, maka ia membawanya pergi.” [5]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1890)], Sunan at-Tirmidzi (II/ 229, no. 1140), Sunan Abi Dawud (VI/195, no. 2144) dalam hadits yang panjang.
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1889)], Sunan Abi Dawud (VI/194, no. 2143).
[3]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2139)], Shahiih al-Bukhari (IV/423) secara mu’allaq..
[4]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2187)], Sunan Abi Dawud (VI/371, no. 2259).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1992)], Sunan an-Nasa-i (VI/185), Sunan Abi Dawud (VI/371, no. 2260 dalam al-Qishshah, Sunan at-Tir-midzi (II/405, no. 1368) secara ringkas.

‘Iddah

KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


‘Iddah
Definisi ‘Iddah
Al-‘Iddah berasal dari kata al-‘adad dan al-ihsha (bilangan) maksudnya bilangan hari yang dihitung oleh isteri.

Sedangkan secara istilah bahwa ‘iddah ialah masa seorang wanita menunggu untuk dibolehkannya nikah lagi, setelah kematian suami atau cerai, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’ atau dengan bilangan beberapa bulan.

Macam-Macam ‘Iddah
Seorang isteri yang ditinggal mati suaminya maka ‘iddahnya ialah selama empat bulan sepuluh hari, baik suami telah mencampurinya ataupun belum, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari." [Al-Baqarah: 234]

Kecuali jika isteri yang telah dicampuri dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan anak.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

"Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." [Ath-Thalaaq: 4]

Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa Subai’ah al-As-lamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk menikah, maka beliau mengizinkannya, kemudian ia menikah.[1]

Sedangkan seorang isteri yang diceraikan oleh suaminya sebelum dicampuri, maka ia tidak mempunyai ‘iddah, karena firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya." [Al-Ahzaab: 49]

Dan isteri yang ditalak setelah dicampuri, jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah dengan melahirkan, sebagaimana firman-Nya:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

"Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." [Ath-Thalaaq: 4]

Dari az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu anhu bahwasanya ia memiliki seorang isteri yang bernama Ummu Kultsum binti ‘Uqbah, ia berkata kepada suaminya dalam keadaan hamil:

طَيِّبْ نَفْسِي بِتَطْلِيقَةٍ! فَطَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ فَرَجَعَ وَقَدْ وَضَعَتْ، فَقَالَ: مَا لَهَا خَدَعَتْنِي خَدَعَهَا اللهُ. ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: سَبَقَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ، اخْطُبْهَا إِلَى نَفْسِهَا.

“Berbuat baiklah kepada diriku dengan mantalakku satu talak, maka Zubair mengabulkannya. Kemudian ia keluar untuk shalat, tatkala kembali ke rumah ia mendapati isterinya telah melahirkan. Lalu ia berkata, ‘Kenapa isteriku menipuku, semoga Allah membalasnya?!’ Kemudian Zubair mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Beliau bersabda, ‘Al-Kitab telah lebih dahulu menghukumi hal ini, maka lamarlah kembali.’”[2]

Apabila ia mempunyai haidh, maka ‘iddahnya adalah tiga kali haidh, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." [Al-Baqarah: 228]

Dan al-Quru’ adalah masa haidh, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلاَةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا.

“Bahwasanya Ummu Habibah dalam keadaan haidh. Lalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menyuruhnya untuk meninggalkan shalat selama masa quru’nya masa haidh.” [3]

Apabila sang isteri masih kecil dan belum haidh atau sudah tua dan terputus masa haidhnya, maka ‘iddahnya adalah selama tiga bulan. Allah Ta’ala berfirman:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." [Ath-Thalaaq: 4]

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Isteri Yang Ditinggal Mati Suaminya ?
Ia harus melakukan ihdad sampai masa ‘iddahnya selesai.
Dan yang dimaksud dengan ihdad adalah meninggalkan berhias dan berwangi-wangian, menanggalkan perhiasan dan tidak memakai pakaian yang berwarna-warni serta tidak boleh mengecat kukunya dengan pacar dan mencelak mata.

Dari Ummi ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَتَطَيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ.

“Dahulu kami (kaum wanita) dilarang berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka masa berkabungnya adalah sela-ma empat bulan sepuluh hari, kami tidak boleh mencelak mata, tidak menggunakan wangi-wangian, tidak boleh berpakaian warna-warni kecuali kain ‘ashab, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan kepada kami apabila salah seorang di antara kami telah suci dan telah mandi, maka kami dibolehkan menggunakan kistu azhfar (semacam wangi-wangian yang biasa digunakan wanita untuk membersihkan bekas haidhnya), dan kami dilarang untuk mengikuti jenazah.” [4]

Dan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ الْمُمَشَّقَ وَلاَ الْحُلِيَّ وَلاَ تَخْتَضِبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ.

“Seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka ia tidak boleh memakai pakaian yang berwarna-warni, tidak memakai perhiasan, tidak mengecat kukunya dengan pacar dan tidak mencelak matanya.” [5]

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Isteri Yang Masih Dalam Masa ‘Iddah Dari Talak Raj’i?
Ia harus tinggal di rumah suami sampai masa ‘iddahnya selesai dan ia tidak boleh keluar rumah sebagaimana suami juga tidak boleh mengeluarkannya dari rumah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ

"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang." [Ath-Thalaaq: 1]

Isteri Yang Ditalak Ba-in
Seorang isteri yang telah ditalak ba-in maka ia tidak men-dapatkan tempat tinggal maupun nafkah, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Fathimah binti Qais Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghukumi isteri yang telah ditalak tiga, beliau bersabda, “Ia tidak berhak mendapatkan sukna (tempat tinggal) maupun nafkah.”[7] Dan ia harus menunggu masa ‘iddahnya dirumah keluarganya serta tidak boleh keluar kecuali karena keperluan.

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:

طُلِّقَتْ خَالَتِيْ، فَأَرَادَتْ أَنْ تَجِدَ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ، فَأَتَتِ النَبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَـالَ: بَلَى، فَجُدِّي نَخْلَكِ، فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تُصَدِّقِيْ أَوْ تَفْعَلِيْ مَعْرُوْفًا.

“Saudara perempuan ibuku telah dicerai dan ia ingin memotong pohon kurmanya namun ada seseorang yang melarangnya keluar rumah. Lalu ia menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Boleh, potonglah kurmamu, sebab engkau mungkin bisa bersedekah atau berbuat kebaikan (dengan kurma itu.)’” [9]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/470, no. 5320), Shahiih Muslim (II/1122, no. 1485).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1646)], Sunan Ibni Majah (I/ 653, no. 2026).
[3]. Shahih lighairihi: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 252)], Sunan Abi Dawud (I/463, no. 278).
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/491, no. 5341), Shahiih Muslim (II/1128, no. 938 (67)), dan yang semisalnya: Sunan Abi Dawud (VI/ 411, no. 2285), Sunan an-Nasa-i (VI/203), Sunan Ibni Majah (I/674, no. 2087).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 202)], Sunan Abi Dawud (VI/413, no. 2287), Sunan an-Nasa-i (VI/203) tanpa menyebutkan lafazh al-Hulli.
[6]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 888)], Shahiih Muslim (II/1118, no. 1480 (44)).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2134)], Shahih Muslim (II/1121, no. 1483), Sunan an-Nasa-i (II/209), Sunan Abi Dawud (VI/398, no. 2280) dengan riwayat yang semisal, Sunan Ibni Majah (I/656, no. 2034).

Al-Khulu’ (Minta Cerai)

KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Al-Khulu’ (Minta Cerai)
Definisi
Khulu’ secara bahasa diambil dari kata Khala’a ats-tsauba yang artinya melepaskan baju. Karena pada hakikatnya isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian bagi isteri. Allah Ta’ala berfirman:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." [Al-Baqarah: 187]

Sedangkan menurut para ulama fiqih, khulu’ adalah talak yang dilakukan oleh suami kepada isterinya dengan tebusan harta yang ia ambil dari isteri. Disebut juga sebagai fidyah dan iftida. [1]

Hukum Khulu’ Dalam Syari’at:
Apabila konflik yang terjadi antara suami dan isteri semakin memanas dan tidak mungkin untuk disatukan kembali sementara sang isteri ingin berpisah dari suaminya, maka boleh baginya untuk menebus dirinya dengan membayar sejumlah harta kepada suami sebagai ganti atas mudharat yang timbul dari perceraiannya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَن يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

"Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri utuk menebus dirinya." [Al-Baqarah: 229]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma ia berkata, ‘Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata :

يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ، فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا.

“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, akan tetapi aku takut akan kufur.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?” Ia menjawab, “Ya.” Maka kemudian kebun itu dikembalikan kepada Tsabit bin Qais dan menyuruhnya untuk menceraikan isterinya.” [2]

Peringatan Keras Atas Perbuatan Khulu’
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

“Wanita mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.” [3]

Dalam hadits lain ia (Tsauban) juga meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah bersabda:

اَلْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.

“Para isteri yang minta cerai adalah wanita-wanita munafik.” [4]

Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Berbuat ‘Adhl (Menyusahkan) Kepada Para Isteri
Apabila seorang suami tidak suka terhadap isteri dikarenakan suatu sebab, maka hendaknya ia menceraikan isterinya dengan ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala dan janganlah ia menahan isteri dan berbuat aniaya kepadanya agar ia menebus dirinya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [Al-Baqarah: 231]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepa-danya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." [An-Nisaa’: 19]

Khulu’ Adalah Faskh (Batalnya Pernikahan) Bukanlah Talak
Apabila seorang isteri menebus dirinya kemudian suami menceraikannya, maka ia (isteri) lebih berwenang atas dirinya dan tidak ada hak bagi suami untuk rujuk kecuali dengan keridhaannya. Dan perpisahan ini tidak dianggap sebagai talak meskipun jatuhnya dengan lafazh talak, akan tetapi hukumnya adalah faskh dalam akad untuk kemaslahatan isteri sebagai ganti atas tebusannya.

Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata, “Yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dihukumi sebagai talak bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menentukan tiga hal dalam hukum talak selama belum talak tiga, yang kesemuanya tidak ada dalam hukum khulu’, yaitu :

Pertama: Bahwa suami lebih berhak dalam hal rujuk daripada isteri

Kedua: Talak dihitung selama tiga kali, maka jika telah terjadi talak tiga, sang isteri tidaklah halal baginya kecuali setelah menikah kembali dengan suami lain dan mencampurinya.

Ketiga: Bahwasanya ‘iddah dalam talak adalah selama tiga quru’.

Adapun dalam permasalahan khulu’ :
Telah tsabit (tetap) dalam nash dan ijma’ (kesepakatan seluruh ulama) bahwasanya tidak ada rujuk dalam khulu’.

Dan telah tsabit dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan para Sahabat bahwasanya ‘iddah dalam khulu’ hanya selama satu kali haidh.

Dan telah tsabit dalam nash tentang dibolehkannya khulu’ setelah talak dua dan jatuh hukum talak tiga setelahnya (setelah melewati tiga masa haidh)..

Dari keterangan di atas sangat jelas bahwasanya khulu’ bukanlah talak.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَن يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya." [Al-Baqarah: 229]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiqhus Sunnah (II/253), Manaarus Sabiil (II/226), Fat-hul Baari (IX/395).
[2]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2036)], Shahiih al-Bukhari (IX/395, no. 5276).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1672)], Sunan Abi Dawud (VI/ 308, no. 2209), Sunan at-Tirmidzi (II/329, no. 1199), Sunan Ibni Majah (I/662, no. 2055).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6681)], Sunan at-Tirmidzi (II/329, no. 1198).

Talak (Perceraian)

KITAB NIKAH


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Talak (Perceraian)
Sebagaimana telah kita pahami dari keterangan yang telah lalu, bahwasanya Islam sangat menginginkan terwujudnya keluarga muslim yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan dan kita juga telah mengerti beberapa tindakan solusi yang telah diajarkan Islam dalam rangka menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara suami dan isteri.

Akan tetapi bisa jadi usaha untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak berhasil dikarenakan persengketaan dan permusuhan antara keduanya sudah terlampau panas. Dalam keadaan seperti ini seseorang dituntut untuk menggunakan tindakan lain yang lebih kuat, yaitu talak.

Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak, ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri. Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali. Allah berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." [Al-Baqarah: 229]

Jika seorang suami telah menceraikan isterinya dengan talak pertama atau kedua, maka ia tidak berhak mengeluarkan isterinya dari rumah hingga masa ‘iddahnya selesai. Bahkan sang isteri pun tidak berhak untuk keluar rumah. Alasan dari semua itu adalah harapan sirnanya kemarahan yang menye-babkan perceraian dan harapan akan kembalinya keadaan rumah tangga seperti sedia kala.

Hal ini seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا

"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Ja-nganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru." [Ath-Thalaaq: 1]

Yaitu, supaya suami merasa menyesal karena telah men-ceraikan isterinya dan kemudian Allah meluluhkan hatinya agar rujuk kembali. Sesungguhnya yang demikian itu akan mudah.

Pembagian Talak
Pertama: Dari segi bahasa.
Dari segi bahasa talak dibagi menjadi dua, yaitu: Sharih dan Kinayah (kiasan)

Sharih yaitu suatu kalimat yang langsung dapat difahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain, seperti, Anti Thaaliq atau Muthallaqah (engkau adalah wanita yang tertalak). Demikian juga setiap pecahan kata dari lafazh ath-Thalaq.

Seorang suami yang mengatakan kalimat tersebut kepada isterinya, maka jatuhlah talak atasnya meskipun dalam keadaan bercanda atau tanpa niat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ.

“Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.” [1]

Sedangkan Kinayah, yaitu kata yang mengandung makna talak dan selainnya, seperti perkataan: Alhiqi bi ahliki (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.

Jika suami mengatakan kalimat tersebut tidaklah jatuh talak kecuali jika disertai dengan niat, artinya jika ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut dan jika tidak, maka tidak jatuh talak.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu:

أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ اِلْحَقِي بِأَهْلِكِ.

“Bahwa tatkala puteri al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Maka beliau bersabda, ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah kepada keluargamu.’” [2]

Dari riwayat Ka’ab bin Malik tatkala ia bersama dua Sahabat yang lain diboikot oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena tidak mengikuti perang Tabuk bersama beliau, bahwa Rasulullah mengutus seseorang untuk mengabarkan:

أََنِ اعْتَزِلِ امْرَأَتَكَ. فَقَالَ: أُطَلِّقُهَا أَمْ مَاذَا أَفْعَلُ؟ قَالَ: بَلِ اعْتَزِلْهَا فَلاَ تَقَرَّبَنَّهَا فَقَالَ: ِلإِمْرَأَتِهِ: اِلْحَقِيْ بِأَهْلِكِ.

“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Ka’ab bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Jauhi saja dan jangan sekali-kali kau dekati.” Maka kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada isterinya, “Kembalilah kepada keluarga-mu.” [3]

Kedua: Dari segi Ta’liq dan Tanjiz :
Bentuk kata talak ada dua yaitu: Munjazah (langsung) dan Mu’allaqah (menggantung)

Munjazah, yaitu suatu kalimat diniatkan jatuhnya talak oleh orang yang mengatakannya saat itu juga, seperti jika seorang suami berkata kepada isterinya: Anti Thaaliq (engkau adalah perempuan yang di talak) talak ini jatuh saat itu juga.

Adapun Mu’allaq yaitu suatu kalimat talak yang dilontarkan oleh suami kepada isterinya yang diiringi dengan sya-rat, seperti jika ia berkata kepada isterinya, “Apabila engkau pergi ke tempat itu, maka engkau tertalak.”

Hukum perkataan yang demikian, jika ia benar-benar menginginkan talak tatkala syarat tersebut dilakukan, maka hukumnya seperti apa yang ia inginkan. Adapun jika ia hanya bermaksud untuk memperingatkan isteri agar tidak berbuat demikian, maka hukumnya adalah hukum sumpah, yang artinya jika syarat yang disebutkan tidak dilakukan, ia tidak dibebani apa-apa, namun jika sebaliknya, maka ia harus mem-bayar kafarat karena sumpahnya (ini adalah madzhab Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- sebagaimana disebutkan dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66)

Ketiga: Dari segi Sunnah dan Bid’ah
Dari segi ini talak dibagi menjadi dua, yaitu: Talak yang Sunnah dan talak yang bid’ah.

Talak Sunnah yaitu seorang suami mentalak isterinya yang telah dicampuri dengan satu talak, dalam keadaan suci dan pada masa itu ia tidak mencampurinya.

Allah Ta’ala berfirman :

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." [Al-Baqarah: 229]

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." [Ath-Thalaaq: 1]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak isterinya yang sedang dalam keadaan haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.

“Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan isteri.” [4]

Adapun Talak yang bid’ah, yaitu talak yang menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya dalam ke-adaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau seorang suami melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis, seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”, atau ucapannya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.”

Hukum talak semacam ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa.

Apabila suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh, maka jatuh hukum talak, jika talak raj’i, maka ia disuruh untuk merujuknya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya, sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar.

Adapun dalil jatuhnya hukum talak dalam kasus seperti ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dihukumi atasku satu talak.” [5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Baari, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah yang menyuruh Ibnu ‘Umar agar rujuk dan beliaulah yang menuntun Ibnu ‘Umar apa yang harus ia lakukan jika ingin menceraikannya setelah itu. Dan jika Ibnu ‘Umar mengatakan bahwasanya pada saat itu ia telah dihukumi satu talak, maka kemungkinan yang telah menentukan hukum itu adalah selain Rasulullah sangatlah jauh sekali, karena adanya indikasi yang mendukung dalam kisah ini. Bagaimana mungkin kita akan beranggapan bahwasanya Ibnu ‘Umar mengatakan hal itu dari pendapatnya belaka, sedangkan ia juga telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam marah kepadanya karena apa yang telah diperbuatnya? Bagaimana mungkin ia tidak bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang apa yang akan ia lakukan?”

Al-Hafizh berkata lagi, “Ibnu Wahb dalam musnadnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Nafi’ telah mengabarkan kepadanya bahwasanya Ibnu ‘Umar menceraikan isterinya dalam keadaan haidh, lalu ‘Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ.

‘Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci.’

Tentang hadits ini Ibnu Abi Dzi’b berkata, Yaitu satu talak. Ibnu Abi Dzi’b berkata, Handzalah bin Abi Sufyan berkata kepadaku bahwa ia telah mendengar Salim menceritakan cerita tersebut dari ayahnya.

Al-Hafizh berkata lagi, ad-Daruqutni telah mengeluarkan dari jalan Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Ishaq yang keduanya telah mendengar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَهِيَ وَاحِدَةٌ.

“Yaitu satu talak.” [6]

Talak Tiga
Adapun jika seorang suami mentalak isterinya dengan talak tiga dengan satu lafazh atau satu majelis, maka dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan beberapa tahun dari khilafah-nya ‘Umar, bahwa hukum talak tiga yang diucapkan dengan satu talak adalah dihukumi satu talak. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya sebagian orang telah terburu-buru dalam melaksanakan suatu perkara yang sebenarnya mereka harus berhati-hati dalam urusan ini, maka sekiranya kita berlakukan bagi mereka (bahwa talak tiga dengan satu lafazh dihukumi sebagai talak tiga)?, maka talak tersebut menetapkan hukum tersebut bagi mereka. [7]

Pendapat tersebut adalah ijtihad dari ‘Umar Radhiyallahu anhu yang tujuannya adalah untuk tercapainya suatu kemashlahatan dan tidak boleh meninggalkan apa yang telah difatwakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan pada zaman para Sahabat hingga zaman kekhilafahannya.

Keempat : Dari segi rujuk dan tidaknya.
Talak ada dua macam yaitu: Raj’i dan Ba-in. Sedangkan talak ba’in juga dibagi menjadi dua pula, yaitu: sughra dan kubra.

Talak raj’i adalah mentalak isteri yang sudah dicampuri tanpa adanya tebusan harta (dari pihak isteri) dan belum didahului dengan talak sebelumnya sama sekali atau baru didahului dengan talak satu kali.
Allah Ta’ala berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik." [Al-Baqarah: 229]

Seorang wanita yang ditalak raj’i, maka statusnya masih sebagai isteri selama masih dalam ‘iddahnya dan suami berhak untuk rujuk kapan saja ia berkehendak selama masih dalam masa ‘iddah, dan tidak disyaratkan keridhaan isteri atau izin dari walinya. Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." [Al-Baqarah: 228]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Hasan: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1826)], Sunan Ibni Majah (I/658, no. 2039), Sunan Abi Dawud (VI/262, no. 2180), Sunan at-Tirmidzi (II/328, no. 1195).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3199)], Shahiih al-Bukhari (IX/ 356, no. 5254), Sunan an-Nasa-i (VI/150) dan lafazh yang diriwayat-kannya adalah “ Annal Kullabiyah lamma udkhilat….”
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/113, no. 4418), Shahiih Muslim (IV/2120, no. 2769), Sunan Abi Dawud (VI/285, no. 2187), Sunan an-Nasa-i (VI/152).
[4]. Muttafaq ‘alaih (Shahiih al-Bukhari (IX/482, no. 5332), Shahiih Muslim (II/1093, no. 1471), Sunan Abi Dawud (VI/227, no. 2165) dan ini adalah lafazhnya, Sunan an-Nasa-i (VI/138).
[5]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 128)], Shahiih al-Bukhari (IX/351, no. 5253).
[6]. Sanadnya Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (VII/134)], ad-Daruquthni (IV/9, no. 24).
[7]. Shahiih Muslim (II/1099, no. 1472).

Apa Yang Harus Dilakukan Jika Konflik Antara Suami Isteri Semakin Memanas?

KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Apa Yang Harus Dilakukan Jika Konflik Antara Suami Isteri Semakin Memanas?Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." [An-Nisaa’: 35]

Semua langkah-langkah yang telah kami sebutkan di atas adalah jika nusyuz tersebut belum sampai ke titik akut. Adapun jika nusyuz telah nampak dengan jelas, maka janganlah menerapkan langkah tadi, karena tidak ada manfaatnya dan tidak ada hasilnya. Itu hanyalah pertengkaran dan peperangan antara dua pihak yang ingin saling menghancurkan. Dan ini bukanlah yang dimaksud dan diinginkan. Demikian pula apabila dilihat bahwa menggunakan langkah tersebut tidak akan berhasil bahkan persengketaan semakin genting dan kedurhakaan semakin memuncak serta akan merobek jahitan yang masih tersisa atau bila penggunaan langkah tersebut akan berakibat kegagalan, maka dalam keadaan seperti ini metode Islam yang bijaksana telah mengisyaratkan untuk menggunakan tindakan pamungkas dalam rangka menyelamatkan ikatan keluarga yang agung ini dari kehancuran.

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan." [An-Nisaa’: 35]

Demikianlah, Islam tidak menyuruh kita menyerah dan membiarkan nusyuz terjadi dalam keluarga begitu saja, sebagaimana Islam juga tidak menganjurkan kita untuk segera memutuskan akad pernikahan dan melepaskan ikatan keluarga yang di dalamnya ada anggota keluarga lain yang tidak berdosa. Ikatan keluarga memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam, karena memiliki peran yang penting dalam pembangunan masyarakat dan generasi yang akan melanjutkannya.

Apabila ditakutkan akan terjadi perpecahan, maka dengan segera langkah yang terakhir ini harus ditempuh, yaitu dengan mengirimkan seorang hakam (juru damai) dari kedua belah pihak. Kemudian keduanya berkumpul dalam suasana tenang, jauh dari emosi dan rasa benci yang akan dapat memperkeruh kejernihan hubungan antara suami isteri. Keduanya harus jauh dari pengaruh-pengaruh jelek karena akan dapat memperkeruh permasalahan. Sebaliknya, pertemuan mereka seharusnya didorong oleh rasa kasih sayang terhadap anak-anak dan berlepas diri dari keinginan memenangkan salah satu pihak, akan tetapi didasari atas keinginan terwujudnya kembali keharmonisan keluarga yang terancam kehancuran.

Dalam waktu yang bersamaan mereka juga harus amanah dalam menjaga rahasia suami isteri, karena keduanya termasuk bagian dari keluarga mereka. Janganlah mereka menyebar-luaskannya, karena hal itu tidak ada manfaatnya, bahkan kemaslahatan mereka berdua tergantung pada mengubur dan menutup rapat rahasia ini.

Kedua hakam itu berkumpul untuk mencoba mewujudkan perdamaian. Dan jikalau dalam jiwa kedua suami isteri tersebut terdapat keinginan yang kuat untuk melaksanakan perdamaian, sedangkan tidaklah menghalangi keinginan tersebut kecuali perasaan emosi saja, maka dengan bantuan dua hakam yang juga memiliki tekad yang kuat untuk melakukan perdamaian, Allah Ta’ala akan memberikan taufik kepada keduanya. “Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan kebaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu.” Dikarenakan kedua belah pihak saling menginginkan perdamaian, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabulkan keinginan tersebut serta memberikan taufik kepada keduanya. “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [1]

Mengapa Engkau Mengharamkan Apa Yang Telah Dihalalkan Oleh Allah Untukmu?
Dari Anas Rahiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai seorang budak wanita yang beliau gauli, namun ‘Aisyah dan Hafshah selalu protes sampai kemudian beliau mengharamkan hamba sahaya tersebut atas dirinya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, (dengan sebab) kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [At-Tahrim: 1] [2]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Jika seorang suami mengharamkan isteri atas dirinya, maka hal itu termasuk sumpah yang harus dibayar kafaratnya [3] . -Kemudian ia membaca firman Allah Ta’ala-: (( لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ )) “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik.” [4]

Maka barangsiapa yang berkata kepada isterinya, “Engkau haram bagiku.” Ia harus membayar kafarat karena sumpahnya. Yang demikian itu disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikian Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur(kepada-Nya).[Al-Maa-idah: 89]

Al-Iila’ (Sumpah Seorang Suami Bahwa Ia Tidak Akan Berkumpul Dengan Isterinya)
Apabila seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama kurang dari empat bulan, maka yang lebih utama baginya adalah untuk membayar kafarat atas sumpahnya, kemudian ia mencampurinya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِ الَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ.

Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukanlah apa yang lebih baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya.” [5]

Apabila suami tidak mau membayar kafarat, maka bagi isteri untuk sabar hingga jangka waktu yang telah disebutkan oleh suami. Disebutkan dalam sebuah riwayat:

آلَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَائَهُ وَكَانَتْ انْفَكَّتْ رِجْلُهُ فَأَقَامَ فِي مَشْرُبَةٍ لَهُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ ثُمَّ نَزَلَ، فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ: آلَيْتَ شَهْرًا، فَقَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ.

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersumpah untuk tidak mencampuri isteri-isteri beliau. Kemudian beliau tinggal di masyrubah (tempat khusus beliau untuk menyendiri) selama dua puluh sembilan hari lalu beliau keluar. Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah bersumpah Iila’ selama satu bulan?” beliau menjawab, “Satu bulan adalah dua puluh sembilan hari.” [6]

Adapun jika suami bersumpah tidak mau mencampuri isteri untuk selamanya atau selama lebih dari empat bulan, maka jika ia mau membayar kafarat dan kembali mencampurinya tidaklah mengapa, namun jika tidak, seorang isteri harus menunggu sampai empat bulan kemudian setelah itu ia minta dicampuri atau dicerai, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ ۖ فَإِن فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Kepada orang-orang yang mengilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (berketetapan hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Baqarah: 226-227]

Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma pernah berkata tentang Iila’ yang disebutkan oleh Allah, “Tidak boleh bagi suami apabila telah selesai masa iila’ kecuali untuk kembali memegang isteri dengan ma’ruf atau mencerainya, sebagaimana yang telah diperintah oleh Allah Azza wa Jalla.[7]

Zhihar (Ucapan Seorang Suami kepada Isterinya Bahwa Ia Seperti Zhahr
(Punggung) Ibunya)
Barangsiapa yang berkata kepada isterinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku,” maka berarti ia telah melakukan zhihar. Sehingga isterinya menjadi haram baginya. Ia tidak boleh mencampurinya ataupun bersenang-senang dengannya sampai ia mau membayar kafarat atas sumpah zhiharnya dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Kitab-Nya:

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۖ فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih." [Al-Mu-jaadilah: 3-4]

Dari Khaulah binti Malik bin Tsa’labah, ia berkata:

ظَاهَرَ مِنِّي زَوْجِي أَوْسُ بْنُ الصَّامِتِ فَجِئْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْكُو إِلَيْهِ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَادِلُنِي فِيهِ وَيَقُولُ: اتَّقِي اللهَ فَإِنَّهُ ابْنُ عَمِّكِ. فَمَا بَرِحْتُ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ((قَدْ سَمِعَ اللهَ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا)) إِلَى الْفَرْضِ، فَقَالَ: يُعْتِقُ رَقَبَةً. قَالَتْ: لاَ يَجِدُ، قَالَ: فَيَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيرٌ مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ، قَالَ: فَلْيُطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا، قَالَتْ: مَا عِنْدَهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَصَدَّقُ بِهِ، قَالَتْ: فَأُتِيَ سَاعَتَئِذٍ بِعَرَقٍ مِنْ تَمْرٍ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنِّي أُعِينُهُ بِعَرَقٍ آخَرَ، قَالَ: قَدْ أَحْسَنْتِ اذْهَبِي فَأَطْعِمِي بِهَا عَنْهُ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَارْجِعِي إِلَى ابْنِ عَمِّكِ. قَالَ: وَالْعَرَقُ سِتُّونَ صَاعًا.

“Suamiku, Aus bin Shamit telah mengucapkan zhihar kepadaku, maka aku menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengadukan hal ini, akan tetapi beliau membantah dan berkata, ‘Takutlah engkau kepada Allah, sesungguhnya ia adalah anak pamanmu.’ Setelah selang beberapa lama turunlah firman Allah Ta’ala: 'Sungguh Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya,' (Mujadilah: 1). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah ia membebaskan hamba sahaya.’ Khaulah berkata, ‘Ia tidak dapat melakukannya.’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut,’ Khaulah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah tua sehingga tidak mampu berpuasa.’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin’ Khaulah berkata, ‘Ia tidak memiliki sesuatu untuk bersedekah.’ Tidak lama kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dengan membawa sekeranjang kurma. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya dengan satu ‘araq (keranjang) kurma lagi.’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Engkau telah berbuat kebaikan, maka berilah makan atas nama dirinya kepada enam puluh orang miskin dan kembalilah kepada anak pamanmu.’” Dan satu ‘araq adalah enam puluh sha’.[8]

Dari ‘Urwah bin az-Zubair Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “‘Aisyah berkata:

تَبَارَكَ الَّذِي وَسِعَ سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ إِنِّي َلأََسْمَعُ كَلاَمَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ وَهِيَ تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ تَقُولُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَكَلَ شَبَابِي وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي حَتَّى إِذَا كَبِرَتْ سِنِّي وَانْقَطَعَ وَلَدِي ظَاهَرَ مِنِّي، اللّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ. فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى نَزَلَ جِبْرَائِيلُ بِهَؤُلاَءِ اْلآيَاتِ ((قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ)).

‘Maha Suci Allah Yang Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, sesungguhnya aku telah mendengar perkataan Khaulah binti Tsa’labah akan tetapi aku tidak mendengar sebagiannya. Ia mengadu tentang suaminya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ia telah menikmati masa mudaku dan membuat banyak anak dari perutku, namun setelah aku menjadi tua dan tidak dapat beranak lagi ia mengucapkan zhihar kepadaku. ya Allah, aku mengadukan nasib ini kepada-Mu.’ Maka tidak lama kemudian Malaikat Jibril turun dengan membawa wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala : 'Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatkan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.'(Al-Mujaadilah: 1).’” [9]

Barangsiapa yang mengucapakan zhihar kepada isterinya sehari, sebulan atau lebih, dengan mengatakan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku selama satu bulan,” maka ia telah melakukan zhihar, jika ia memenuhi sumpahnya tersebut, maka tidaklah mengapa, namun jika ia mencampurinya sebelum masa yang ia sebutkan selesai, maka ia harus membayar kafarat atas sumpah zhiharnya.

Dari Salmah bin Shakhr al-Bayadhi, ia berkata:

كُنْتُ امْرَأً أَسْتَكْثِرُ مِنَ النِّسَاءِ لاَ أَرَى رَجُلاً كَانَ يُصِيبُ مِنْ ذَلِكَ مَا أُصِيبُ فَلَمَّا دَخَلَ رَمَضَانُ ظَاهَرْتُ مِن امْرَأَتِي حَتَّى يَنْسَلِخَ رَمَضَانُ فَبَيْنَمَا هِيَ تُحَدِّثُنِي ذَاتَ لَيْلَةٍ انْكَشَفَ لِي مِنْهَا شَيْءٌ فَوَثَبْتُ عَلَيْهَا فَوَاقَعْتُهَا، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى قَوْمِي فَأَخْبَرْتُهُمْ خَبَرِي وَقُلْتُ لَهُمْ: سَلُوا لِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا مَا كُنَّا نَفْعَلُ إِذًا يُنْزِلَ اللهُ عزوجل. فِينَا كِتَابًا أَوْ يَكُونَ فِينَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَوْلٌ فَيَبْقَى عَلَيْنَا عَارُهُ وَلَكِنْ سَوْفَ نُسَلِّمُكَ لِجَرِيرَتِكَ اذْهَبْ أَنْتَ فَاذْكُرْ شَأْنَكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَخَرَجْتُ حَتَّى جِئْتُهُ فَأَخْبَرْتُهُ الْخَبَرَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتَ بِذَاكَ؟ فَقُلْتُ: أَنَا بِذَاكَ وَهَا أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ صَابِرٌ لِحُكْمِ اللهِ عَلَيَّ قَالَ فَأَعْتِقْ رَقَبَةً، قَالَ: قُلْتُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَصْبَحْتُ أَمْلِكُ إِلاَّ رَقَبَتِي هَذِهِ، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ وَهَلْ دَخَلَ عَلَيَّ مَا دَخَلَ مِنَ الْبَلاَءِ إِلاَّ بِالصَّوْمِ، قَالَ: فَتَصَدَّقْ أَوْ أَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا، قَالَ: قُلْتُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ بِتْنَا لَيْلَتَنَا هَذِهِ مَا لَنَا عَشَاءٌ، قَالَ: فَاذْهَبْ إِلَى صَاحِبِ صَدَقَةِ بَنِي زُرَيْقٍ فَقُلْ لَهُ فَلْيَدْفَعْهَا إِلَيْكَ وَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَانْتَفِعْ بِبَقِيَّتِهَا.

“Aku adalah laki-laki yang mempunyai hasrat besar kepada wanita tidak seperti orang lain. Ketika bulan Ramadhan aku pernah menzhihar dengan niat sampai usainya bulan Ramadhan. Pada suatu malam ketika isteriku melayaniku tiba-tiba ia singkapkan kain yang menutup sebagian dari tubuhnya kepadaku, maka aku pun mendudukkannya dan bersetubuh dengannya. Dan paginya aku pergi menemui kaumku lalu aku beritahukan mengenai diriku kepada mereka. Kemudian aku berkata kepada mereka, ‘Tolong tanyakan tentang perihalku kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Akan tetapi mereka menjawab, ‘Kami tidak akan melakukannya, karena kami takut Allah Azza wa Jalla akan menurunkan firman-Nya tentang kami atau ada sabda dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kami sehingga kami menjadi tercela selamanya. Tetapi pergilah engkau sendiri dan lakukanlah apa yang baik menurutmu.’ Maka aku pun langsung berangkat menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian aku ceritakan tentang hal itu kepada beliau. Beliau pun bertanya, ‘Apakah benar engkau melakukan itu?’ ‘Ya, beginilah aku,’ jawabku. ‘Maka berikanlah keputusan kepadaku dengan hukum Allah Azza wa Jalla. Aku akan tabah menghadapinya.’ ‘Merdekakanlah budak,’ kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mendengar itu aku menjawab, ‘Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, pagi ini hanya leherkulah yang aku miliki.’ Lalu beliau bersabda, ‘Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.’ Meneruskan ceritanya Sakhr mengatakan, aku pun berkata, ‘Ya Rasulullah, bukankah apa yang telah menimpaku ini tidak lain ketika aku sedang berpuasa?’ ‘Kalau begitu bersedekahlah’ kata beliau. ‘Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, semalam suntuk kami bersedih hati karena malam tadi kami tidak makan.’ Lanjut Sakhr. Kemudian Rasulullah pun menasihatinya, “Pergilah engkau kepada siapa saja yang akan bersedekah dari Bani Zuraiq. Lalu katakanlah kepada mereka supaya memberikannya kepadamu, lalu dari sedekah itu berilah makan olehmu satu wasaq kurma kepada enam puluh orang miskin, sedang lebihnya pergunakanlah untuk dirimu dan keluargamu.’” [10]

Yang dapat diambil sebagai hukum dalam kisah ini bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan zhiharnya akan tetapi beliau mengingkari karena ia mencampuri isterinya sebelum masa yang ia tentukan selesai.

Hukum Zhihar
Hukum zhihar adalah haram karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifatinya sebagai perkataan yang munkar dan tercela.

Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman

الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ

"Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya bagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." [Al-Mujaadilah: 2]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Azh-Zhilaal (II/263, 264)
[]. Sanadnya Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3695)], Sunan an-Nasa-i (VII/71).
[3]. Kafarat yaitu denda yang harus dibayar seseorang karena melanggar perintah agama seperti melanggar sumpah, dan lain-lain.
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (II/1100, no. 1473) dan ini adalah la-fazhnya, Shahiih al-Bukhari (IX/374, no. 5266).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6208)], Shahiih Muslim (III/ 1271, no. 1650), Sunan an-Nasa-i (VII/11), Sunan Ibni Majah (I/681, no. 2108).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3233)], Shahiih al-Bukhari (IX/ 425, no. 5289), Sunan an-Nasa-i (VI/166), Sunan at-Tirmidzi (II/99, no. 685).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2080)], Shahiih al-Bukhari (IX/426, no. 5290).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1934)] tanpa lafazh wal ‘Araqu, Sunan Abi Dawud (VI/301, no. 2199).
[9]. Shahih:[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1678)], Sunan Ibni Majah (I/666, no. 2063).
[0]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1677)], Sunan Ibni Majah (I/665, no. 2062), Sunan Abi Dawud (VI/298, no. 2198), Sunan at-Tirmidzi (II/335, no. 1215) secara ringkas.

Perselisihan Rumah Tangga

KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Perselisihan Rumah Tangga
Hampir tidak ada rumah tangga yang selamat dari berbagai macam problematika dan perselisihan, akan tetapi permasalahan dan perselisihan tersebut berbeda bentuk dan jenisnya. Islam menganjurkan bagi suami isteri agar dapat mengobati dan menyelesaikan segala macam bentuk persoalan yang terjadi di antara mereka berdua. Dan Islam juga telah menunjukkan kepada setiap dari keduanya langkah-langkah yang harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan persoalan tersebut. Sebagaimana Islam juga menganjurkan mereka berdua agar dengan segera mengobatinya tatkala nampak benih-benih perselisihan. Allah Ta’ala berfirman :

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka." [An-Nisaa’: 34]

Kemudian Allah juga berfirman :

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka." [An-Nisaa’: 128]

Metode yang diajarkan oleh Islam ialah jangan sampai kita menunggu bertindak sampai datangnya kedurhakaan dan berkibarnya bendera kemaksiatan, jatuhnya wibawa kepemimpinan seorang suami serta terpecahnya suami isteri menjadi dua kubu yang bermusuhan. Karena tindakan pengobatan yang dilakukan pada saat seperti ini sangat kecil kemungkinan berhasilnya. Akan tetapi tindakan itu harus dengan segera dilakukan sebelum menjadi genting, karena dampak dari kedurhakaan tersebut adalah rusaknya hubungan suci suatu pernikahan antara dua insan dan hilangnya ketenangan dan ketenteraman. Sehingga dampaknya juga akan menjalar kepada keretakan dan keruntuhan seluruh anggota keluarga dan berpencarnya orang-orang yang sedang tumbuh dan sedang terdidik di dalamnya dengan kehancuran yang berakibat lahirnya penyakit jiwa, fanatisme dan penyakit badan… hingga penyimpangan.

Dari sini kita tahu bahwa masalahnya adalah sangat genting sekali. Oleh karena itu, segeralah untuk mengambil tindakan secara bertahap dalam rangka mengobati tanda-tanda munculnya kedurhakaan.

Mengobati Kedurhakaan Isteri
Allah Ta’ala berfirman :

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. " [An-Nisaa’: 34]

(( فَعِظُوْهُنَّ )) “Nasihatilah mereka.” Inilah langkah pertama dan merupakan kewajiban utama bagi pemimpin keluarga. Seorang suami dituntut untuk dapat mendidik isteri pada setiap keadaan, sebagaimana firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." [At-Tahrim: 6]

Akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus mempunyai konsep tertentu untuk tujuan tertentu, yaitu mengobati tanda-tanda nuzyuz (kedurhakaan) sebelum permasala-hannya menjadi genting dan terbuka.

Namun, bisa jadi nasihat akan tidak bermanfaat karena mungkin saja sang isteri sedang dikuasai oleh hawa nafsu atau emosi yang tidak terkendali, merasa lebih tinggi dari suami karena kecantikan, harta, kedudukan ataupun unsur lainnya, yang menyebabkannya lupa bahwa ia adalah rekan dalam lembaga keluarga bukan lawan bertengkar atau bukan sebagai lahan untuk berbangga. Dalam keadaan seperti ini suami harus menempuh tindakan yang kedua, suatu sikap yang mencerminkan keunggulan derajat suami di atas segala sesuatu yang menjadi kebanggaan isteri, baik itu berupa kecantikan, daya tarik atau hal lain yang menjadikan ia merasa lebih tinggi daripada suami. Langkah tersebut adalah (( وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ )) “Pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.”

Ranjang pasutri (pasangan suami isteri) merupakan daya tarik isteri yang sering dijadikan alasan seakan-akan isteri lebih tinggi dan sangat dibutuhkan suami. Maka jika suami dapat menahan keinginan untuk menggauli isteri berarti ia telah dapat mematahkan senjata paling ampuh yang dibanggakan oleh isteri yang durhaka.

Akan tetapi dalam menempuh langkah yang kedua ini suami harus memperhatikan beberapa adab, di antaranya: tidak menampakkan sikap tersebut secara terang-terangan di depan selain isteri. Jangan menampakkannya di depan anak-anak karena dapat menumbuhkan sikap jelek dalam diri mereka. Jangan menampakkannya di depan orang lain yang akan merendahkan derajat isteri sehingga bisa jadi akan membuatnya tambah durhaka. Karena maksud ditempuhnya langkah ini adalah untuk mengobati nusyuz isteri, bukan untuk menghinakannya ataupun merusak anak-anak. Namun, bisa jadi langkah ini pun tidak berhasil.

Kemudian, apakah keluarga tersebut akan dibiarkan retak begitu saja? Tentu saja tidak. Karena di sana ada langkah selanjutnya, walaupun terkesan lebih keras, akan tetapi langkah ini lebih baik dari pada membiarkan rumah tangga tersebut berantakan karena nusyuz yang dilakukan oleh isteri, yaitu: (( وَاضْرِبُوْهُنَّ )) “Dan pukullah mereka.”

Akan tetapi pukulan tersebut bukanlah untuk menyiksa isteri sebagai aksi balas dendam terhadap kedurhakaannya, bukan untuk menghinakan, juga bukan untuk memaksa isteri melakukan sesuatu yang tidak ia ridhai. Jadikanlah pukulan tersebut sebagai pukulan pembelajaran yang disertai dengan sikap kelemah-lembutan seorang pendidik, seperti apa yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya atau seorang guru terhadap muridnya.

Islam membolehkan para suami untuk menempuh langkah-langkah tersebut dalam rangka mengobati tanda-tanda nusyuz -sebelum menjadi genting-. Akan tetapi Islam juga memperingatkan jangan sampai pembolehan tersebut disalahgunakan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengarahkan umatnya agar bersikap tepat dalam hal ini, baik melalui Sunnah amaliyah (perilaku) beliau dengan isteri-isteri beliau maupun secara langsung dengan sabda-sabda beliau dalam berbagai kesempatan. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Dari Mu’awiyah bin Haidah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri atas kami?” Beliau bersabda:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.

“Engkau memberi makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah dan jangan menjelek-jelekkannya serta janganlah memisahkannya kecuali tetap di dalam rumah.”[1]

Dari Iyas bin ‘Abdillah bin Abi Dzubab Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ. فَجَاءَ عُمَرُ z إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ أَطَافَ بِآلِ بَيْتِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ.

“Janganlah kalian memukul hamba-hamba (perempuan) Allah.” Kemudian ‘Umar datang kepada Rasulullah dan berkata, “Sebagian dari para isteri durhaka kepada suami mereka.” Kemudian Rasulullah mengizinkan mereka untuk memukul para isteri. Kemudian banyak di antara para isteri mendatangi keluarga Rasulullah guna mengadukan apa yang telah dilakukan oleh para suami mereka. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, banyak para wanita yang mendatangi keluarga Rasulullah untuk mengadukan perilaku suami-suami mereka, mereka bukanlah orang-orang yang baik.” [2]

Dari ‘Abdullah bin Zam’ah bahwasanya ia telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ.

“Bagaimana mungkin seorang di antara kalian sengaja mencambuki isterinya seperti ia mencambuki hamba sahaya, kemudian menyetubuhinya di sore hari.” [3]

Yang jelas, langkah-langkah di atas memiliki batasan-batasan yang harus diperhatikan. Jika tujuan tersebut telah tercapai pada salah satu langkah tersebut, maka kita tidak perlu menempuh langkah yang selanjutnya.
(( فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً )) “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”

Sehingga tatkala tujuan telah tercapai, maka dengan sendirinya langkah tersebut diberhentikan. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan isteri adalah maksud dari ditempuhnya langkah-langkah di atas, yaitu sebuah ketaatan yang didasari atas kesadaran, bukan paksaan. Karena ketaatan yang didasari keterpaksaan tidak akan dapat menciptakan keharmonisan bahtera rumah tangga yang merupakan pondasi bagi bangunan suatu masyarakat.

Dan nash al-Qur-an mengisyaratkan bahwa meneruskan langkah-langkah tersebut di atas setelah tercapainya ketaatan isteri merupakan tindakan aniaya, tindakan sesuka hati dan melampaui batas, sebagaimana firman-Nya: (( فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً )) “Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” Kemudian setelah menyebutkan larangan ini Allah memperingatkan bahwasanya Ia Mahatinggi dan Mahabesar, agar jiwa-jiwa menjadi tunduk dan patuh serta tidak berani berbuat aniaya dan melampaui batas. Inilah salah satu metode al-Qur-an dalam Targhib (anjuran) dan Tarhib (ancaman). [4]

Mengobati Kedurhakaan Suami
Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi ke-duanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka."[An-Nisaa’: 128]

Setelah sebelumnya dijelaskan tentang keadaan nusyuz dari pihak isteri dan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menjaga keutuhan keluarga. Selanjutnya akan dijelaskan tentang keadaan nusyuz yang ditakutkan akan dilakukan oleh pihak suami yang akan mengancam ketenteraman dan kehormatan isteri, bahkan dapat mengancam keharmonisan keluarga secara keseluruhan.

Sesungguhnya hati ini sering berbolak-balik dan perasaan selalu berubah-ubah. Dan Islam adalah metode kehidupan yang dapat menyelesaikan segala permasalahan yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini.

Apabila seorang isteri merasa takut akan kehilangan perhatian dari suami yang bisa jadi membawanya menuju perceraian -perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah- atau ia merasa diasingkan oleh suami, di mana ia ditinggalkan begitu saja tanpa status yang pasti, apakah ia masih menjadi isterinya atau telah dicerai. Dalam keadaan seperti ini tidaklah mengapa bagi seorang isteri untuk bersedia melepaskan sebagian hak-haknya atas suami. Seperti bersedia jika nafkahnya dikurangi atau gilirannya ditinggalkan jika suami memiliki isteri lain. Walaupun dalam keadaan seperti ini sang isteri kehilangan hal yang sangat penting bagi kehidupannya seba-gai seorang isteri.

Kesemuanya ini jika isteri melihat -dengan segala pertimbangannya- bahwa langkah tersebut lebih baik dan lebih mulia baginya daripada harus diceraikan.

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka." [An-Ni-saa’: 128]

Inilah perdamaian yang kami maksudkan.

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu menyebutkan bahwasanya secara mutlak perdamaian adalah lebih baik daripada persengketaan, perpecahan dan perceraian, (( وَالصُّلْحُ خَيْرٌ )) “Dan jalan perdamaian adalah lebih baik bagi mereka.” [5]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan anjuran kepada suami agar berbuat baik kepada isteri yang masih ingin hidup berdampingan dengannya, dengan bukti ia (isteri) bersedia melepaskan beberapa haknya atas suami. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan bahwasanya Ia Mahatahu terhadap sikap baik suami dan Ia pun akan membalasnya.

وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

"Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An-Nisaa’: 128]

Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Dawud dari hadits Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya, ia berkata:

قَالَتْ عَائِشَةُ: يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلاَّ وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ، فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا قَالَتْ: نَقُولُ فِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا

“‘Aisyah berkata, ‘Wahai anak saudara perempuanku, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengistimewakan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam pembagian giliran tinggalnya bersama kami. Pada siang hari beliau berkeliling pada kami semua dan menghampiri setiap isteri tanpa menyentuhnya hingga beliau sampai pada isteri yang menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam padanya. Dan Saudah binti Zam’ah ketika takut akan dicerai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikanlah giliranku untuk ‘Aisyah.’ Maka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” ‘Aisyah berkata, ‘Tatkala Rasulullah telah mengatakan hal tersebut turunlah firman Allah: 'Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya…'” [An-Nisaa’: 128] [6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Takhrijnya telah disebutkan sebelumnya.
[2]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1615)], Sunan Abi Dawud (VI/183, no. 2132), Sunan Ibni Majah (I/638, no. 1985).
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VIII/705, no. 4942), Shahiih Muslim (VI/2091, no. 2855), Sunan at-Tirmidzi (V/111, no. 2401).
[4]. Azh-Zhilal (II/362, no. 358).
[5]. Dinukil dari Fii Zhilaalil Qur-an (II/539).
[6]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud 1868], Sunan Abi Dawud (VI/172/2121).

Hak-Hak Suami Atas Isteri

KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Hak-Hak Suami Atas Isteri
Sesungguhnya hak suami atas isteri mempunyai kedudukan yang sangat agung, sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan selainnya dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ.

“Hak bagi seorang suami atas isterinya adalah jika saja ia (suami) mempunyai luka di kulitnya, kemudian sang isteri menjilatinya, maka pada hakikatnya ia belum benar-benar memenuhi haknya.” [1]

Di antara hak-hak suami atas isterinya adalah sebagai berikut :
1. Wanita yang cerdas dan pandai akan mengagungkan apa yang telah diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menghormati suaminya dengan sebenar-benarnya, ia bersungguh-sungguh untuk selalu taat kepada suami, karena ketaatan kepada suami termasuk salah satu di antara syarat masuk Surga. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّتِ اْلمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ.

“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat terhadap suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.’”[2]

Perhatikanlah wahai wanita muslimah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada suami termasuk syarat masuk Surga seperti halnya shalat dan puasa. Maka dari itu taatlah kepada suami dan janganlah engkau mendurhakainya, karena di balik kedurhakaan isteri kepada suami terdapat kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'alal
.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا.

“Dan Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia menolaknya kecuali Yang ada di langit murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” [3]

Maka kewajibanmu sebagai seorang isteri wahai para wanita muslimah adalah untuk selalu mendengar dan taat terhadap setiap perintah suami selama tidak menyelisihi syari’at. Akan tetapi berhati-hatilah, jangan sampai engkau berlebih-lebihan dalam mentaati perintah suami sehingga mau mentaatinya dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya jika melakukan hal tersebut, maka engkau telah berdosa. Sebagai contoh: apabila engkau mentaati perintahnya agar menghilangkan alis mata wajahmu untuk memperindah diri di hadapannya. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat an-Naamishah (wanita yang mencabut alis matanya) dan al-Mutanammishah (wanita yang minta dicabuti alis matanya).[4]

Atau sebagai contoh yang lain: engkau mentaati perintahnya menanggalkan jilbab tatkala keluar rumah karena suamimu mau berbangga diri dengan memperlihatkan kecantikanmu di depan orang banyak. Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا.

“Terdapat dua golongan dari umatku sebagai penghuni Neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, yaitu suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi lalu mencambukkannya ke tubuh manusia. Dan sekelompok wanita yang mengenakan pakaian tetapi telanjang, mereka miring, kepala mereka seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk Surga, bahkan tidak akan dapat mencium baunya. Sesungguhnya bau Surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan segini dan segini” [5]

Atau engkau hendak diajak bersetubuh pada saat haidh atau pada apa yang tidak dihalalkan oleh Allah.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ.

“Barangsiapa yang mendatangi isterinya pada waktu haidh atau lewat duburnya atau mendatangi dukun, kemudian mempercayai apa yang ia ucapkan, maka ia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad (al-Qur-an).”[6]

Atau mau mentaatinya untuk menampakkan diri di tengah-tengah kaum pria yang bukan mahram dan bercampur-baur serta bersalaman dengan mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka." [Al-Ahzaab: 53]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ.

“Janganlah kalian masuk ke tempat para wanita (yang bukah mahram)!”

Di antara para Sahabat ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan al-Hamwu (yaitu kerabat suami, seperti saudara laki-laki, anak saudara laki-laki, paman, anak paman atau selain dari mereka)?” Beliau bersabda:

اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ.

“Al-Hamwu (ipar) adalah bencana.”

Dan qiyaskan apa yang telah disebutkan di atas dengan segala macam sikap ketaatan kepada suami yang menyelisihi syari’at Rabb-mu, maka jangan sampai karena merasa wajib taat kepada suami sehingga mau mentaatinya meskipun dalam hal kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanya ada pada yang ma’ruf dan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan terhadap al-Khaliq.

2. Di antara hak suami atas isteri, seorang isteri harus menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaannya serta mengurusi harta, anak-anak dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

"Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)."[An-Nisaa’: 34]

Dan sabda Rasulullah :

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” [8]

3. Berhias dan memperindah diri untuk suami, selalu senyum dan jangan bermuka masam di depannya. Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak ia sukai. Ath-Thabrani telah mengeluarkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِكَ.

“Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.” [9]

Dan sungguh mengherankan sekali jika ada wanita yang tidak memperhatikan penampilan dirinya pada saat di rumahnya di mana ia sedang bersama suami, namun pada saat keluar rumah ia mempercantik diri dan menampakkan perhiasannya, sampai-sampai benarlah apa yang dikatakan oleh orang tentang perempuan seperti ini, yaitu, “Seperti kera dalam rumah akan tetapi seperti kijang bila di jalan.” Oleh karena itu, takutlah engkau wahai wanita hamba Allah, takutlah kepada Allah pada dirimu dan suamimu, karena sesungguhnya suami adalah orang yang paling berhak untuk melihat dan menikmati penampilan indahmu. Janganlah engkau sekali-kali menampakkan perhiasan pada orang yang tidak boleh melihatnya, karena hal itu adalah merupakan perkara yang diharamkan.

4. Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk pergi ke masjid kecuali atas izin suami.
Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu." [Al-Ahzaab: 33]

5. Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali atas izinnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرَشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ.

“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam kamar tidur kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang yang tidak kalian sukai.” [10]

6. Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali dengan izinnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلاَ تُنْفِقِ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا قِيْلَ: وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَلِكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا.

“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya kecuali atas izinnya.” Kemudian ada yang bertanya, “Tidak juga makanan?” Beliau menjawab, “Bahkan makanan adalah harta yang paling berharga.” [11]

Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan harta miliknya jika ia mempunyai harta kecuali jika sang suami mengizinkannya, karena dalam sebuah hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَنْتَهِكَ شَيْئًا مِنْ مَالِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا.

“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali dengan izin suaminya.” [12]

7. Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami berada di rumah kecuali atas izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.

“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.” [13]

8. Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami maupun keluarga, karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan pahala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ

"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si penerima)." [Al-Baqarah: 264]

9. Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." [Ath-Thalaq: 7]

10. Isteri harus bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Janganlah ia marah kepada mereka di depan suami dan jangan memanggil mereka dengan kejelekan maupun mencaci-maki mereka, karena yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ دَخِيْلٌ عِنْدَكَ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكَ إِلَيْنَا.

“Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia kecuali isterinya dari para bidadari akan mengatakan kepadanya, ‘Janganlah engkau menyakitinya (suami) atau Allah akan mencelakakanmu. Ia adalah simpanan bagimu yang sebentar lagi meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.’” [14]

11. Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat suami, karena sesungguhnya isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suami jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya dengan kejelekan.

12. Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانٌ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.

“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia menolak untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang malam, maka para Malaikat melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu pagi.” [15]

Dan di dalam hadits yang lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ.

“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka hendaknya sang isteri melayaninya meskipun ia sedang berada di atas unta.” [16]

13. Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga, janganlah sekali-kali ia menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang paling penting yang sering diremehkan oleh para isteri sehingga ia menyebarluaskannya kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di ranjang suami isteri. Sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang hal demikian.

Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anhuma bahwasanya pada suatu saat ia bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat dari kalangan laki-laki dan para perempuan sedang duduk-duduk. Beliau bersabda, “Apakah ada seorang laki-laki yang menceritakan apa yang telah ia lakukan bersama isterinya atau adakah seorang isteri yang menceritakan apa yang telah ia lakukan dengan suaminya?” Akan tetapi semuanya terdiam, kemudian aku (Asma’) berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka semua telah melakukan hal tersebut.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melakukannya, karena sesungguhnya yang demikian itu seperti syaitan yang bertemu dengan syaitan perempuan, kemudian ia menggaulinya sedangkan manusia menyaksikannya.” [17]

14. Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari’atkan.

Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.” [18]

Dan dalam hadits yang lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.

“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang munafik.” [19]

Inilah -wahai muslimah- hak-hak suamimu atas dirimu. Bersungguh-sungguhlah dalam menunaikan hak-hak tersebut dan lupakanlah jika suamimu kurang dapat memenuhi hak-hakmu, karena sesungguhnya yang demikian itu akan dapat melanggengkan cinta dan kasih sayang di antara kalian, dapat memelihara keharmonisan rumah tangga sehingga dengannya masyarakat akan menjadi baik pula.

Dan bagi para ibu harus memahami bahwa sesungguhnya di antara kewajiban mereka adalah memberikan pengertian kepada anak-anak perempuan mereka tentang hak-hak suami mereka, hendaklah setiap ibu selalu mengingatkan anak perempuannya akan hak-hak tersebut sebelum ia memasuki jenjang pernikahan. Hal ini merupakan Sunnahnya para wanita Salaf Radhiyallahu ‘anhunna, sebagaimana diceritakan bahwasanya ‘Amr bin Hajr, Raja Kindah meminang Ummu Iyash binti ‘Auf as-Syaibani, maka tatkala datang waktu pernikahannya, Ibu dari Ummu Iyash yang bernama Umamah binti al-Harits memberikan beberapa wasiat kepadanya tentang pokok-pokok dasar kehidupan rumah tangga yang harmonis dan tentang apa yang wajib dilakukannya bagi suaminya. Ia berkata, “Puteriku, sesungguhnya wasiat ini jika aku tinggalkan karena keutamaan suatu adab, maka niscaya aku akan meninggalkan adab tersebut karena dirimu. Akan tetapi wasiat ini merupakan peringatan bagi orang yang lalai dan penolong bagi orang yang berakal. Kalaulah seorang isteri tidak membutuhkan suaminya untuk mencukupi kedua orang tuanya dan mereka berdua sangat butuh kepadanya, maka engkau telah menjadi manusia yang paling tidak bergantung kepada suami. Akan tetapi wanita itu diciptakan untuk laki-laki dan laki-laki pun diciptakan untuk wanita. Puteriku, engkau akan meninggalkan rumah tempat kelahiranmu dan tempat tinggalmu selama ini menuju rumah yang belum engkau ketahui keadaannya untuk menyertai kawan hidup yang belum engkau ketahui kebiasaannya, sehingga engkau menjadi pengawas dan pemilik kerajaan suamimu. Karena itu lakukanlah beberapa perbuatan. Jadilah engkau seorang budak baginya, maka ia akan menjadi budak bagimu. Jagalah sepuluh perkara baginya agar ia menjadi simpananmu yang berharga.

Yang pertama dan kedua: Tunduklah kepadanya dengan menerima apa adanya dan dengarlah baik-baik ucapannya serta taatilah perintahnya.

Ketiga dan keempat: Perhatikan baik-baik kedua mata dan penciumannya. Jangan sampai ia melihatmu dalam keadaan berpenampilan buruk dan jangan sampai ia mencium kecuali bau harum dari wangi tubuhmu.

Kelima dan keenam: Perhatikan baik-baik waktu tidur dan makannya, karena sesungguhnya jika seorang merasa lapar, maka emosinya akan mudah terbakar dan jika tidurnya merasa terganggu, maka ia akan mudah marah.

Ketujuh dan kedelapan: Jagalah baik-baik hartanya, kehormatannya dan keluarganya. Cara terbaik menjaga hartanya adalah menghematnya dan cara terbaik menjaga keluarganya adalah mendidiknya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh: Janganlah engkau menentang perintahnya sedikit pun dan jangan pula membuka rahasianya. Apabila engkau menentang perintahnya, maka engkau menyakiti hatinya. Apabila engkau membuka rahasianya, maka engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya. Janganlah engkau bergembira dihadapannya ketika ia susah dan janganlah engkau susah dihadapannya ketika ia bergembira.” [20]

((Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa))

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3148)], Ahmad (XVI/227, no. 247).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 660)], Ahmad (XVI/228, no. 250).
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7080)], Shahiih Muslim (II/ 1060, no. 1436 (121)).
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VIII/630, no. 4886), Shahiih Muslim (III/1678, no. 2125), Sunan Abi Dawud (XI/225, no. 4151), Sunan an-Nasa-i (VIII/146), Sunan at-Tirmidzi (IV/193, no. 2932), Sunan Ibni Majah (I/640, no. 1989).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3799)], [Mukhtashar Shahiih Muslim 1388], Shahiih Muslim (III/1680, no. 2128).
[6]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 31], Sunan Ibni Majah (I/209, no. 639), Sunan at-Tirmidzi (I/90, no. 135) tanpa kalimat “Fashaddaqahu bima yaquul”.
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/330, no. 5232), Shahiih Muslim (IV/1711, no. 2172), Sunan at-Tirmidzi (II/318, no. 1181).
[8]. Bagian dari hadits “Warrajulu raa’in”.
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3299)].
[10]. Bagian dari hadits yang telah lalu yaitu “‘Alaa inna lakum ala nisaa-ikum haqqan.”
[11]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1859)], Sunan at-Tirmidzi (III/ 293, no. 2203), Sunan Abi Dawud (IX/478, no. 3548), Sunan Ibni Majah (II/770, no. 2295)
[12]. Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 775), beliau berkata, “Telah dikeluarkan oleh Tamam dalam al-Fawaa-id (II/182, no. 10) dari jalan ‘Anbasah bin Sa’id dari Hammad, maula (budak yang dibebaskan). Bani Umayyah dari Janaah maula al-Walid dari Watsilah, ia berkata, ‘Rasulullah J bersabda, kemudian ia menyebutkan hadits tersebut.” Beliau (al-Albani) berkata, “Sanad hadits ini lemah, akan tetapi ada beberapa riwayat penguat yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah tsabit.”
[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/295, no. 5195), Shahiih Muslim (no. 1026).
[14]. Sunan Tirmidzi (II/320, no. 1184).
[15]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/294, no. 5194), Shahiih Muslim (II/1060, no. 1436), Sunan Abu Dawud (VI/179, no. 2127).
[16]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ as-Shaghiir 534], Sunan at-Tirmidzi (II/314, no. 1160).
[17]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 72], Ahmad (XVI/223, no. 237).
[18]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035)], Sunan at-Tirmidzi (II/329, no. 1199), Sunan Abi Dawud (VI/308, no. 2209), Sunan Ibni Majah (I/662, no. 2055).
[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6681)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 632)], Sunan Tirmidzi (II/329, no. 1198).
[20]. Fiqhus Sunnah (II/200)

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design