Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Jumat, 28 Januari 2011

Bukti Dan Tanda Cinta Rosulullah sholallahu'alahi wassalam

Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan semuanya mengaku ingin mencintainya, namun tidak semua pengakuan cinta dianggap benar dan tidak semua keinginan baik itu baik. Oleh karena itu diperlukan bukti dan tanda yang dapat dijadikan standar kebenaran pengakuan cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam , sebab bila pengakuan tidak dibuktikan dengan bukti, maka tentulah banyak orang membuat kerusakan dan keonaran dengan pengakuan-pengakuan dusta, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ رواه البخاري و مسلم

Seandainya manusia diberikan semua pengakuannya tentulah banyak orang yang menuntut darah dan harta orang lain. HR Al Bukhari, kitab Tafsier Al Qur’an no. 1487 dan Muslim kitab Al Aqdhiyah, Bab Al Yamien ‘Ala Al Muda’I no. 3228

Karena itu, wajib atas setiap muslim mengetahu bukti dan tanda kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengamalkan serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab bukti dan tanda-tanda tersebut menunjukkan kecintaannya yang hakiki sehingga semakin banyak memiliki bukti dan tanda tersebut maka semakin tinggi dan sempurna kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Diantara bukti dan tanda-tanda tersebut adalah:

1. Mencontoh dan menjalankan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam .
Mencontoh, mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berjalan diatas manhaj beliau serta berpegang teguh dan mengikuti seluruh pernyataan dan perbuatan beliau adalah awal tanda cinta Rasul sehingga orang yang benar mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahiriyah dan batiniyah serta selalu menyesuaikan perkataan dan perbuatannya dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Anas bin Malik, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:

قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: Wahai anakkku, jika kamu mampu pada pagi sampai sore hari tida ada dihatimu sifat berkhiyanat pada seorangpun maka perbuatlah. Kemudian beliau n berkata kepadaku lagi: Wahai anakku! Itu termasuk sunnahku dan siapa yang menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku dan siapa yang telah mencintaiku maka aku bersamanya disyurga. HR Al Tirmidzi, kitab Al Ilmu, Bab Ma jaa Fil Akhdzi bissunnah Wajtinaab Al Bida’ no. 2678

Orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang semangat berpegang teguh dan menghidupkan sunnah dan itu diwujudkan dengan mengamalkan sunnahnya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya dalam pernyataan dan perbuatan serta mendahulukan itu semua dari hawa nafsu dan kelezatannya sebagaimana firman Allah :



قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah:”Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah:24)

Menghidupkan sunnah dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap langkah kehidupannya adalah bukti kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana juga menjadi bukti kecintaan kepada Allah. Allah berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)

Berdasarkan hal ini, kecintaan kepada Allah dan RasulNya menuntut konsekwensi mengamalkan hal-hal yang dicintai dan menjauhi yang dilarang dan dibenci dan tidak mungkin ada orang yang mencintai Rasulnya adalah orang yang tidak mau mengikuti sunnahnya atau bahkan melakukan kebid’ahan dengan sengaja.

2. Banyak ingat dan menyebutnya, karena orang yang mencintai sesuatu tentu akan memperbanyak ingat dan menyebutnya dan senantiasa ingat kepadanya merupakan sebab sinambungnya kecintaan dan pertumbuhannya.

3. Menyampaikan sholawat dan salam kepada beliau untuk mengamalkan firman Allah:

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QSAl-Ahzaab:56)

Dan hadits Nabi yang berbunyi :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا اللهَ اذْكُرُوا اللهَ جَاءَتْ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ قَالَ أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu bila berlalu dua pertiga malam, beliau bangun dan berkata: Wahai sekalian manusia berdzikirlah kepada Allah, berdzikirlah kepada Allah. Pasti datang tiupan sangkakala pertama yang diikuti dengan yang kedua, datang kematian dengan kengeriannya, datang kematian dengan kengeriannya. Ubai berkata: Aku berkata: Wahai Rasululloh aku memperbanyak sholawat untukmu, berapa banyak aku bersholawat untukmu? Beliau menjawab: Sesukamu. Lalu Ubai berkata lagi: aku berkata: seperempat. Beliau berkata: terserah, tapi kalau kamu tambah maka itu lebih baik. Aku berkata: setengah. Beliau menjawab lagi: terserah, tapi kalau kamu tambah maka lebih baik bagimu. Maka aku berkata lagi: kalau begitu dua pertiga. Beliau menjawab: Terserah, kalau kamu tambah maka lebih baik bagimu. Lalu akau berkata: Saya jadikan seluruh (do’aku) adalah sholawat untukmu. Maka Rasululloh menjawab: Kalau begitu (sholawat) itu mencukupkan keinginamu (dunia dan akherat) dan Allah akan mengampuni dosamu. HR Al Tirmidzi , kitab Sifat Al Qiyaamh no. 2457 dan Syeikh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shohihah (no.954) menyatakan: Sanadnya hasan karena perbedaan ulama yang terkenal tentang Ibnu Uqail.

Ibnu Al Qayyim rahimahullah menyatakan: Syeikh kami Abul Abas Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang tafsir hadits ini, beliau menjawab: Ubai waktu itu memiliki doa yang digunakan untuk dirinya sendiri, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: Apakah ia menjadikan seperempat do’anya untuk bersholawat untuk beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau n berkata lagi: jika kamu tambah maka itu lebih baik bagimu. Ia menjawab: separuhnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: jika kamu tambah maka itu lebih baik bagimu. Sampai kemudian menyatakan: aku jadikan doaku semuanya untuk sholawat untukmu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: kalau begitu itu mencukupkan kamu dari semua keinginanmu dan Allah mengampuni dosamu. Hal ini karena orang yang bersholawat satu kali untuk Nabi n akan mendapatkan sholawat dari Allah sepuluh kali dan siapa yang mendapat sholawat Allah maka tentunya akan dapat mencukupi semua keinginannya dan diampuni dosanya, inilah pengertia ucapan beliau. (Lihat: Jala’ Al AFhaam fi Fadhli Al Sholat Wa Al Salam ‘Ala Khoiril Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad Al Nasyiri, cetakan pertama tahun 1425H Dar ‘Alam Al Fawaaid, hal 76.)

4. Menyebut keutamaan dan kekhususan serta sifat, akhlak dam prilaku utama yang Allah berikan kepada beliau, juga mu’jizat serta bukti kenabian untuk mengenal kedudukan dan martabat beliau n serta untuk mencontoh sifat dan akhlak beliau. Demikian juga untuk mengenalkan orang lain dan mengingatkan mereka tentang hal itu agar mereka semakin iman dan bertambah kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menyebutkan faedah yang didapat dari Sholawat untuk Nabi n menyatakan: Seorang ketika memperbanyak menyebut kekasihnya, mengingatnya dihati dan mengingat kebaikan-kebaikan dan factor-faktor yang menumbuhkan perasaan cinta kepadanya maka semakin berlipat ganda kecintaannya kepada kekasihnya tersebut dan bertambah rindu kepadanya serta menguasai seluruh hatinya. Apabila ia tidak sama sekali menyebutnya dan tidak mengingatnya dan mengingat kebaikan-kebaikan sang kekasih dihatinya maka akan berkurang rasa cinta dihatinya. Memang tidak ada yang dapat menyenangkannya lebih dari melihat kekasihnya tersebut dan tidak juga ada yang menyejukkan hatinya lebih dari menyebut dan mengingat sang kekasih dan kebaikan-kebaikannya. Apabila kuat hal ini dihatinya maka lisannya langsung akan memuji dan menyebut kebaikan-kebaikannya. Bertambah dan berkurangnya hal ini sesuai dengan bertambah dan berkurangnya rasa cinta dihatinya dan indera kita menjadi saksi kebenaran hal itu.

5. Bersikap sopan santun dan beradab dengan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam baik dalam menyebut nama atau memanggilnya, sebab Allah berfirman:

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. AnNuur: 63)

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: Adab tertinggi terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah menerima penuh, tunduk patuh kepada perintahnya dan menerima beritanya dengan penuh penerimaan dan pembenaran tanpa ada penentangan dengan khayalan batil yang dinamakan ma’qul (masuk akal), syubhat, keraguan atau mendahulukan pendapat para intelektual dan kotoran pemikiran mereka, sehingga hany berhukum dan menerima, tunduk dan taat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

6. Berharap melihat beliau dan rindu berjumpa dengannya walaupun harus membayarnya dengan harta dan keluarga. Tanda kecintaan ini dijelaskan langsung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau:

مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِي حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِي يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِي بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ

Diantara umatku yang paling mencintaiku adalah orang-orang yang hidup setelahku, salah seorang dari mereka sangat ingin melihatku walaupun menebus dengan keluarga dan harta. HR Muslim, kitab Al Jannah wa Shifat Na’imiha Wqa Ahliha, Bab Fiman Yawaddu Ru’yat Al Nabi Biahlihi wa malihi. No. 5060

Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ فِي يَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أَحَدِكُمْ يَوْمٌ وَلَا يَرَانِي ثُمَّ لَأَنْ يَرَانِي أَحَبُّ إِلَيْهِ مَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ

Demi Dzat yang jiwa Muhammad ditanganNya (Allah), pasti akan datang pada salah seorang dari kalian satu waktu dan ia tidak melihatku, kemudian melihat aku lebih ia cintai dari keluarga dan hartanya. HR Muslim, kitab Al Fadhoil, bab Fadhlu Al Nadzor Ila Nabi n wa Tamanihi no. 4359.

7. Nasehat untuk Allah, kitabNya, RasulNya dan pemimpin kaum muslimin serta umumnya kaum muslimin.

8. Belajar Al Qur’an, sinambung membacanya dan memahami maknanya. Demikian juga belajar sunnahnya, mengajarkannya dan mencintai ahlinya (ahlu sunnah). Imam Al Qadhi Iyaad rahimahullah menyatakan: Diantara tanda-tanda mencintai rasululloh adalah mencintai Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dan beliau mengambil petunjuk dan menunjuki (manusia) dengannya serta berakhlak dengannya sehingga A’isyah menyatakan:

إِنَّ خُلُقُ نِبِيِّ الله كَانَ القُرْآن

Sesungguhnya Akhlak beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al Qur’an. HR Muslim, kitab Sholat Al Musafirin, Bab Jaami’ sholat Al Lail no.1233

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Janganlah seseorang menanyakan untuk dirinya kecuali Al Qur’an, apabila ia mencintai Al Qur’an maka ia mencintai Allah dan RasulNya”. (lihat: Huquq Al Nabi 1/343)

9. Mencintai orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam cintai, diantaranya:

a. Ahli baitnya (kerabat)

Imam Al Baihaqi rahimahullah berkata: “Dan masuk dalam lingkupan kecintaan kepada beliau n adalah mencintai ahli bait”.(lihat: Syu’abil Iman, Al Baihaqi 1/282) Sedangkan Ibn Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Diantara ushul ahlus Sunnah wal Jama’ah , mereka mencintai ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberikan loyalitas pada mereka serta menjaga wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang mereka.” (lihat: Majmu’ fatawa 3/407)
Kemudian beliau rahimahullah menyatakan: Ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki hak-hak yang wajib dipelihara, karena Allah menjadikan untuk mereka hak dalam Al Khumus, Al fei’ dan memerintahkan bersholawat untuk mereka bersama sholawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . lalu mendefinisikan ahli bait dengan menyatakan: Ahli bait Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang diharamkan mengambil shodaqah, demikian pendapat imam Al Syaafi’I dan Ahmad bin Hambal serta yang lainnya dari para ulama.

b. Para istri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menjaga keutamaan dan hak-hak mereka dan meyakini mereka tidak sama seperti para wanita lainnya, sebab Allah telah membedakannya dalam firmanNya:

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, (QS. Al Ahzab: 32)

Dan menjadikannya sebagai ibu kaum mukminin dalam firmanNya:

وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ

Dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. (QS. Al Ahzaab: 6)

Demikian juga menjadikan pengharaman menikahi mereka setelah wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai hari kiamat dalam firmanNya:

وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللهِ عَظِيمًا

Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (QS. Al Ahzaab: 53)

Sehingga wajib bagi kita menjaga hak-hak mereka setelah mereka wafat, bersholawat untuk mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memohonkan ampunan bagi mereka serta menjelaskan pujian dan keutamaan mereka.

c. Para sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam .

Imam Al Baihaqi rahimahullah menyatakan: Masuk dalam kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah cinta kepada para sahabat beliau, karena Allah telah memuji mereka dalam firmanNya:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Fath:29) dan firman Allah:

لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al-Fath:18).

Kemudian beliau rahimahullah menyatakan: “Apabila mereka (para sahabat) telah mendapatkan kedudukan ini, maka mereka memiliki hak dari jamaah muslimin untuk mencintai mereka dan mendekatkan diri kepada Allah dengan kecintaan kepada mereka, karena Allah apabila meridhoi seorang maka Dia mencintainya dan wajib atas seorang hamba untuk mencintai orang yang Allah cintai.” (Lihat: Syu’abil Iman Al Baihaqi 1/287)
Umat islam wajib mencintai sahabat, meridhoi mereka dan mendo’akan kebaikan untuk mereka, sebagaimana Allah perintahkan dalam firmanNya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:”Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang”. (QS. Al-Hashr:10)

Imam Al Baihaqi rahimahullah menyatakan: “Apabila telah jelas bahwa mencintai sahabat termasuk iman, maka mencintai mereka bermakna meyakini dan mengakui keutamaan-kutamaan mereka, mengetahui setiap mereka memiliki hak yang harus ditunaikan dan setiap yang perhatian kepada islam diperhatikan serta yang memiliki kedudukan khusus pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditempatkan pada kedudukannya dan menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka serta mendoakan kebaikan untuk mereka dan mencontoh semua yang ada dalam permasalahan agama dari mereka. Tidak boleh mencari-cari kesalahan dan ketergelinciran mereka.” (lihat: Syu’abul Iman hal 297)
Sedangkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Al Aqidah Al Wasithiyah menyatakan: “Diantara ushul (pokok ajaran) Ahlu Sunnah Wal Jamaah adalah selamat hati dan lisan mereka dari mencela para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disifatkan Allah dalam firmanNya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:”Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. (QS. Al-Hashr:10) dan mentaati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَ الَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Janganlah kalian mencela para sahabatku, demi Allah seandainya salah seorang kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud, tidak akan menyamai satu mud mereka dan tidak pula separuhnya.

Mereka (ahlu sunnah) menerima keutamaan-keutamaan dan martabat-martabat mereka yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma. Mereka juga mendahulukan orang yang berinfaq dan berperang sebelum Al fathu –perjanjian Hudaibiyah- atas orang yang berinfaq dan berperang setelah itu dan mendahulukan para muhajirin atas anshor serta beriman bahwa Allah telah berfirman kepada orang yang ikut serta perang Badar dan jumlah mereka tigaratus sekian belas orang: (Berbuatlah sesuka hati kalian, karena kalian sungguh telah diampuni). (Juga beriman) bahwa tidak ada seorangpun yang berbaiat dibawah pohon (bai’at ridwan) yang masuk neraka, bahkan Allah telah meridhoi mereka dan mereka ridhi kepada Allah dan jumlah mereka lebih dari seribu empat ratus orang. Mereka (ahlu sunnah) bersaksi bahwa orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam persaksikan sebagai ahli syurga seperti sepuluh orang yang dijanjikan masuk syurga (Al ‘Asyarah), Tsabit bin Qais bin Syammas dan sahabat-sahabat lainnya dan beriman dengan pernyataan Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib dan yang lainnya yang telah dinukil secara mutawatir bahwa sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar kemudian Umar dan menetapkan yang ketiga adalah Utsman dan yang keempat adalah Ali sebagaimana disebutkan dalam atsar dan para sahabat bersepakat mendahulukan Utsman dalam Bai’at dengan adanya sebagian ahlu sunnah pernah berselisih tentang Utsman dan Ali setelah kesepakatan mereka mendahulukan Abu bakar dan Umar, siapakah dari keduanya yang lebih utama? Sebagian orang mencahulukan Utsman dan diam atau menetapkan keempat adalah Ali dan sebagian lainnya mendahulukan Ali serta sebagian yang lainnya diam tidak bersikap. Namun perkara kaum muslimin telah tetap mendahulukan Utsman kemudian Ali, walaupun maslah ini –yaitu masalah Utsman dan Ali- bukan termasuk pokok dasar (ushul) yang digunakan untuk menghukumi sesat orang yang menyelisihinya menurut mayoritas Ahlu Sunnah. Akan tetapi yang digunakan untuk memvonis sesat adalah masalah kekhilafahannya. Hal itu karena kholifah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu bakar kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali. Siapa yang mencela kekhilafahan salah seorang dari mereka ini maka ia lebih sesat dari keledai. (Lihat: Majmu’ Fatawa 3/152-153 atau Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah Min Kalami Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kholid bin Abdullah Al Mushlih, cetakan pertama tahun 1421 H, Dar Ibnul Jauzi hal. 177-184).

9. Membenci orang yang Allah dan RasulNya benci, memusuhi orang yang memusuhi Allah dan rasulNya, menjauhi orang yang menyelelisihi sunnahnya dan berbuat kebid’ahan dalam agama dan merasa berat atas semua perkara yang menyelisihi syari’at. Allah berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS. Al-Mujaadilah: 22)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Seorang mukmin wajib memusuhi karena Allah dan berloyalitas karena Allah. Apabila disana ada Mukmin maka wajib memberikan loyalotas kepadanya –walaupun ia berbuat dzolim- karena kedzoliman tidak memutus loyalitas iman, Allah berfirman:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [٤٩:٩] إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [٤٩:١٠]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujuraat: 9-10)

Allah sebutkan persaudaraan walaupun terjadi peperangan dan perbuatan aniaya dan memerintahkan perdamaian diantara mereka. Sehingga diwajibkan memberikan loyalitas kepada mukmin walaupun ia mendzolimimu dan berbuat aniaya padamu sedangkan orang kafir wajib dimusuhi walaupun memberimu dan berbuat baik padamu. Hal ini karena Allah telah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab suci agar agama ini semua untukNya, sehingga cinta, pemuliaan dan pahala untuk para waliNya sedangkan kebencian, kehinaan dan siksaan untuk para musuhNya. Apabila berkumpul pada seseorang kebaikan, keburukan dan kefajiran, ketaatan dan kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, maka berhak mendapatkan loyalitas dan pahala sesuai dengan kebaikan yang dimilikinya dan berhak mendapatkan permusuhan dan siksaan sesuai dengan keburukan yang dimilikinya. Sebab berkumpul pada satu orang tersebut factor yang menghasilkan pemuliaan dan penghinaan, lalu berkumpul ini dan itu, seperti maling (pencuri) yang fakir dipotong tangannya karena mencuri dan diberi dari baitulmal sesuatu yang mencukupi kebutuhannya. Ini adalah dasar pokok (asal) yang disepakati Ahlu Sunnah wal jama’ah. (Lihat: Majmu’ Fatawa 27/208-209).
Demikianlah sebagian tanda dan bukti penting kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semoga Allah memudahkan kita untuk mendapatkan dan merealisasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Wabillahi taufiq.

(Sebagian besar materi makalah ini diambil dari kitab Huquq Al Nabi ‘Ala Umatihi Fi Dhu’il Kitab Was Sunnah, DR Muhammad Kholifah Al Tamimi, cetakan pertama tahun 1418 H, Penerbit Adwaa’ Al Salaf)

Kamis, 20 Januari 2011

Bejana dari Kayu

Seorang lelaki yang beranak istri bercerita bahwa ia mempunyai ayah yang sudah tua. Dan ia biasanya menghidangkan makanan untuknya dan untuk anak-anaknya dari bejana mewah yang terbuat dari porselin dan alumunium atau bahan lainnya. Akan tetapi untuk ayahnya ia menghidangkannya pada bejana yang terbuat dari kayu. Ia meletakkan makanan pada bejana kayu tersebut. Begitulah yang berjalan selama beberapa waktu.

Pada suatu hari salah seorang anaknya bertanya, “Ayah, mengapa ayah meletakkan makanan untuk kakek pada bejana dari kayu itu? Sementara ayah meletakkan makanan untuk kami pada bejana yang mewah?”

Si ayah tidak mengerti maksud pertanyaan anaknya ini. Ia mengira itu hanyalah pertanyaan sambil lalu begitu saja dan jawabannya sangat mudah dan gampang. Ia berkata pada anaknya, “Hai anakku, sesungguhnya kakek sudah tua dan berusia lanjut, jika ayah memberinya makan pada bejana mewah yang didatangkan dari cina atau bejana kaca, nanti kakek akan membuatnya pecah. Karena matanya sudah lemah dan tangannya juga sudah lemah. Mungkin dia menyenggol bejana dengan tangannya tanpa terlihat olehnya sehingga terjatuh di lantai dan pecah sementara kakek tidak mengetahuinya.”

Tiba-tiba si ayah dikejutkan dengan celotehan anaknya yang masih kecil dan membuatnya sadar. Si anak berkata kepadanya, “Jadi ayah, aku akan menjaga bejana kayu ini agar nanti aku dapat menghidangkan makanan dengan bejana ini untuk ayah apabila usia ayah sudah sama dengan kakek.”

Kalimat ini menghantam si ayah bagaikan sambaran petir. Sadarlah ia, bagaimana ia berbuat, begitulah ia akan diperlakukan. Sebagaimana ia memperlakukan ayahnya, seperti itu pulalah anak-anak akan memperlakukan dirinya. Ia mengerti bahwa apa yang ia lakukan terhadap ayahnya, begitu pulalah nanti ia akan diperlakukan. Iapun segera bangkit dan memecahkan bejana kayu tadi di hadapan anaknya. Dan sesudah itu ia menghidangkan makanan-makanan yang enak kepada ayahnya dengan bejana mewah yang terbuat dari porselin, bejana dari cina atau dari kaca. Dengan harapan begitu pulalah anak-anaknya memperlakukannya kelak…..,

Manfaat Istigfar

Istighfar mempunyai banyak faedah baik didunia maupun diakahirat, faedah tersebut ada yang memang langsung kita rasakan dan ada juga yang diakhirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai hari kiamat. Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyebutkan di dalam bukunya tentang buah dan faedah yang dapat kita ambil dari kita melakukan amalan ini, di antaranya ialah:

  1. Diampuninya dosa-dosa. Siapa yang mengakui dosanya dan juga meninggalkannya, maka dia akan diampuni. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“(QS. An-Nisa : 110)
  2. Ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kecintaan-Nya. Istighfar merupakan perkara yang penting, sehingga seorang hamba bisa mendapatkan ridha dan kecintaan Allah Subhanahu wa Taala.
  3. Memperoleh rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. FirmanNya, Hendaklah kalian meminta ampun kepada Allah Ta’ala, agar kalian mendapat rahmat (QS. An-Naml :46).
  4. Membebaskan diri dari adzab. Istighfar merupakan sarana yang paling pokok untuk membebaskan diri dari adzabnya, sebagaimana firman-Nya, Dan tidaklah Allah Ta’ala akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun (QS. Al-Anfal:33).
  5. Istighfar mendatangkan kebaikan yang banyak dan juga barokah. Firman Allah Ta’ala, Dan (dia berkata),’Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb kalian lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang deras kepada kalian, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian (QS. Hud:52).

    Didalam firman-Nya yang lain, Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabb kalian’, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian hujan dengan lebat, dan akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai’ (QS. Nuh:10-12).
  6. Kebeningan hati. Karena istighfar dapat menghapus dosa dan mengenyahkannya. Maka hati pun menjadi bersih dan bening dari noda dosa serta kedurhakaan.
  7. Istighfar merupakan kebutuhan hamba yang berkelanjutan. Dia membutuhkannya menjelang siang dan malam, bahkan istighfar senantiasa dibutuhkan dalam setiap perkataan dan perbuatan, kala sendirian maupun ramai, karena di dalamnya mengandung kemashlahatan, mendatangkan kebaikan, menyingkirkan kemudhoratan, menambah kekuatan amal hati dan badan serta keyakinan iman.
  8. Mendatangkan sikap lemah lembut dan baik tutur katanya. Siapa yang ingin agar Allah Ta’ala memperlakukannya dengan lemah lembut, maka dia harus senantiasa bersama-Nya. Istighfar dapat menjadikan seorang hamba lemah lembut, baik tutur katanya, karena dia biasa mengucapkan kebenaran dan menjelaskannya.
  9. Memperbanyak ibadah dan zuhud di dunia. Istighfar membutuhkan penyesalan dan taubat, sehingga ia menuntut pelakunya lebih banyak beribadah. Firman Allah Ta’ala, Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapuskan kesalahan-kesalahan (QS. Hud: 114).

Banyak faedah yang didapatkan dari istighfar, tentunya semakin sering kita beristighfar semakin dekat kita kepada Sang Khalik, hal tersebut hendaknya dilakukan secara mudawamah -terus menerus-. Sesungguhnya kita adalah makhluk yang lemah kita membutuhkan istighfar sebagaimana makan dan minum. Istighfar melepaskan hamba dari perbuatan yang makruh menjadi mahbub (yang dicintai), yang kurang menjadi lebih sempurna, mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi. Wallahu a’lam.



Dikutip dari buku “Menjadi Wanita Paling Mulia

Penulis “Isham bin Muhammad Asy-Syarif

Batu dan Bisikan

Suatu ketika, seorang pengusaha muda dan kaya. Ia baru saja membeli mobil mewah, sebuah Jaguar yang mengkilap. Kini, sang pengusaha, sedang menikmati perjalanannya dengan mobil baru itu. Dengan kecepatan penuh, dipacunya kendaraan itu mengelilingi jalanan tetangga sekitar.

Di pinggir jalan, tampak beberapa anak yang sedang bermain sambil melempar sesuatu. Namun, karena berjalan terlalu kencang, tak terlalu diperhatikannya anak-anak itu. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang melintas dari arah mobil-mobil yang di parkir di jalan. Tapi, bukan anak-anak itu yang tampak melintas. Aah..., ternyata, ada sebuah batu yang menimpa Jaguar itu. Sisi pintu mobil itupun koyak, tergores batu yang dilontarkan seseorang.

Cittt....ditekannya rem mobil kuat-kuat. Dengan geram, di mundurkannya mobil itu menuju tempat arah batu itu di lemparkan. Jaguar yang tergores, bukanlah perkara sepele. Apalagi, kecelakaan itu dilakukan oleh orang lain, begitu pikir sang pengusaha dalam hati. Amarahnya memuncak. Dia pun keluar mobil dengan tergesa-gesa. Di tariknya seorang anak yang paling dekat, dan di pojokkannya anak itu pada sebuah mobil yang diparkir.

"Apa yang telah kau lakukan!!! Lihat perbuatanmu pada mobil kesayanganku!!" Lihat goresan itu", teriaknya sambil menunjuk goresan di sisi pintu. "Kamu tentu paham, mobil baru semacam itu akan butuh banyak ongkos di bengkel kalau sampai tergores." Ujarnya lagi dengan geram, tampak ingin memukul anak itu.

Sang anak tampak ketakutan, dan berusaha meminta maaf. "Maaf Pak, Maaf. Saya benar-benar minta maaf. Sebab, saya tidak tahu lagi harus melakukan apa." Air mukanya tampak ngeri, dan tangannya bermohon ampun. "Maaf Pak, aku melemparkan batu itu, karena tak ada seorang pun yang mau berhenti...."

Dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipi dan leher, anak tadi menunjuk ke suatu arah, di dekat mobil-mobil parkir tadi. "Itu disana ada kakakku. Dia tergelincir, dan terjatuh dari kursi roda. Aku tak kuat mengangkatnya, dia terlalu berat. Badannya tak mampu kupapah, dan sekarang dia sedang kesakitan.."

Kini, ia mulai terisak. Dipandanginya pengusaha tadi. Matanya berharap pada wajah yang mulai tercenung itu. "Maukah Bapak membantuku mengangkatnya ke kursi roda? Tolonglah, kakakku terluka, tapi dia terlalu berat untukku."

Tak mampu berkata-kata lagi, pengusaha muda itu terdiam. Kerongkongannya tercekat. Ia hanya mampu menelan ludah. Segera, di angkatnya anak yang cacat itu menuju kursi rodanya. Kemudian, diambilnya sapu tangan mahal miliknya, untuk mengusap luka di lutut anak itu. Memar dan tergores, sama seperti sisi pintu Jaguar kesayangannya.

Setelah beberapa saat, kedua anak itu pun berterima kasih, dan mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja. "Terima kasih, dan semoga Allah akan membalas perbuatanmu." Keduanya berjalan beriringan, meninggalkan pengusaha yang masih nanar menatap kepergian mereka. Matanya terus mengikuti langkah sang anak yang mendorong kursi roda itu, melintasi sisi jalan menuju rumah mereka.
Berbalik arah, pengusaha tadi berjalan sangat perlahan menuju Jaguar miliknya. Disusurinya jalan itu dengan lambat, sambil merenungkan kejadian yang baru saja di lewatinya. Kerusakan yang dialaminya bisa jadi bukanlah hal sepele. Namun, ia memilih untuk tak menghapus goresan itu. Ia memilih untuk membiarkan goresan itu, agar tetap mengingatkannya pada hikmah ini. Ia menginginkan agar pesan itu tetap nyata terlihat: "Janganlah melaju dalam hidupmu terlalu cepat, karena, seseorang akan melemparkan batu untuk menarik perhatianmu."

Teman, sama halnya dengan kendaraan, hidup kita akan selalu berputar, dan dipacu untuk tetap berjalan. Di setiap sisinya, hidup itu juga akan melintasi berbagai macam hal dan kenyataan. Namun, adakah kita memacu hidup kita dengan cepat, sehingga tak pernah ada masa buat kita untuk menyelaraskannya untuk melihat sekitar?

Allah, akan selalu berbisik dalam jiwa, dan berkata lewat kalbu kita. Kadang, kita memang tak punya waktu untuk mendengar, menyimak, dan menyadari setiap ujaran-Nya. Kita kadang memang terlalu sibuk dengan bermacam urusan, memacu hidup dengan penuh nafsu, hingga terlupa pada banyak hal yang melintas.

Teman, kadang memang, ada yang akan "melemparkan batu" buat kita agar kita mau dan bisa berhenti sejenak. Semuanya terserah pada kita. Mendengar bisikan-bisikan dan kata-kata-Nya, atau menunggu ada yang melemparkan batu-batu itu buat kita.

Siti Masyitoh

Pada kali ini penulis menceritakan Kisah orang shalehah pada zaman nabi Musa As,dengan keteguhannya dan keyakinannya terhadap Allah swt, semoga bisa diambil hikmahnya dari cerita ini :

“Apa, di dalam kerajaanku sendiri ada pengikut Musa ? ”

Teriak Fir’aun dengan amarah yang membara setelah mendengar cerita putrinya perihal keimanan Siti Masyitoh. Hal ini bermula ketika suatu hari Siti Masyitoh sedang menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisir itu terjatuh, seketika Siti Masyitoh mengucap Astagfirullah. Sehingga terbongkarlah keimanan Siti Masyitoh yang selama ini disembunyikannya.


“Baru saja aku menerima laporan dari Hamman, mentriku, bahwa pengikut Musa terus bertambah setiap hari. Kini pelayanku sendiri ada yang berani memeluk agama yang dibawa Musa. Kurang ajar si Masyitoh itu,” umpat Fir’aun.

“Panggil Masyitoh kemari,” perintah Fir’aun pada pengawalnya. Masyitoh datang menghadap Fir’aun dengan tenang. Tidak ada secuil pun perasaan takut di hatinya. Ia yakin Allah senantiasa menyertainya.

“Masyitoh, apakah benar kamu telah memeluk agama yang dibawa Musa?”. Tanya Fir’aun pada Masyitoh dengan amarah yang semakin meledak.

“Benar,” jawab Masyitoh mantap.

“Kamu tahu akibatnya ? Kamu sekeluarga akan saya bunuh,” bentak Fir’aun, telunjuknya mengarah pada Siti Masyitoh.

“Saya memutuskan untuk memeluk agama Allah, maka saya telah siap pula menanggung segala akibatnya.”

“Masyitoh, apa kamu sudah gila! Kamu tidak sayang dengan nyawamu, suamimu, dan anak-anakmu.”

“Lebih baik mati daripada hidup dalam kemusyrikan.”

Melihat sikap Masyitoh yang tetap teguh memegang keimanannya, Fir’aun memerintahkan kepada para pengawalnya agar menghadapkan semua keluarga Masyitoh kepadanya.

“Siapkan sebuah belanga besar, isi dengan air, dan masak hingga mendidih,” perintah Fir’aun lagi.

Ketika semua keluarga Siti Masyitoh telah berkumpul, Fir’aun memulai pengadilannya.
“Masyitoh, kamu lihat belanga besar di depanmu itu. Kamu dan keluargamu akan saya rebus. Saya berikan kesempatan sekali lagi, tinggalkan agama yang dibawa Musa dan kembalilah untuk menyembahku. Kalaulah kamu tidak sayang dengan nyawamu, paling tidak fikirkanlah keselamatan bayimu itu. Apakah kamu tidak kasihan padanya.”


Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fir’aun, Siti Masyitoh sempat bimbang. Tidak ada yang dikhawatirkannya dengan dirinya, suami, dan anak-anaknya yang lain, selain anak bungsunya yang masih bayi. Naluri keibuannnya muncul. Ditatapnya bayi mungil dalam gendongannya. “Yakinlah Masyitoh, Allah pasti menyertaimu.” Sisi batinnya yang lain mengucap.


Ketika itu, terjadilah suatu keajaiban. Bayi yang masih menyusu itu berbicara kepada ibunya, “Ibu, janganlah engkau bimbang. Yakinlah dengan janji Allah.” Melihat bayinya dapat berkata-kata dengan fasih, menjadi teguhlah iman Siti Masyitoh. Ia yakin hal ini merupakan tanda bahwa Allah tidak meninggalkannya.

Allah pun membuktikan janji-Nya pada hamba-hamba-Nya yang memegang teguh (istiqamah) keimanannya. Ketika Siti Masyitoh dan keluarganya dilemparkan satu persatu pada belanga itu, Allah telah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka, sehingga tidak merasakan panasnya air dalam belanga itu.

Demikianlah kisah seorang wanita shalihah bernama Siti Masyitoh, yang tetap teguh memegang keimanannya walaupun dihadapkan pada bahaya yang akan merenggut nyawanya dan keluarganya.


Ketika Nabi Muhammad Saw. isra dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Palestina, beliau mencium aroma wangi yang berasal dari sebuah kuburan. “Kuburan siapa itu, Jibril?” tanya baginda Nabi.


“Itu adalah kuburan seorang wanita shalihah yang bernama Siti Masyitoh,” jawab Jibril.


Istana Didasar Laut

Cerita Penuh Hikmah Kali menceritakan Petualangan Nabi Sulaiman, yang menemukan Sebuah Bangunan indah didasar Laut yang begitu Indah, berikut Ceritanya selamat Menikmati ....


Ditengah pengembaraan, Nabi Sulaiman As, sampai di tepian samudera, yang ombaknya bagai gunung. Bagi Sulaiman tampat itu terasa ada misteri. Lantas ia memerintahkan angin agar tidak bertiup barang sejenak. Secara serentak angin pun reda & ombaknya pun berhenti. Kemudian Jin Ifrit mendapat giliran untuk menyelam kedasar laut & mendeteksi apa yang berada didasar samudera itu. Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah bangunan indah berbentuk kubah putih dari mutiara, rapat tak berlubang. Lantas diangkatnya kubah itu dari dasar lautan & diserahkan kepada nabi Sulaiman AS. Begitu kagumnya beliau menyaksikan bangunan seindah itu.


Kekagumannya dilampiaskan dengan memeriksa banguna itu dengan seksama. Keyakinannya begitu kuat, bahwa ada sesuatu didalamnya, Sayang tak ada satu pun lubang untuk mengintipnya , Beliau segera berdoa kepada Allah SWT agar dapat melihat isi kubah indah itu, seketika beliau tecengang, ketika kubah itu terbuka dan didalamnya terdapat seorang pemuda yang tengah bersujud.
”Anda dari golongan malaikat, jin atau dari jenis manusia ?” tanya nabi Sulaiman AS.
“Aku adalah manusia .” sahut pemuda itu.
“Amal apa yang telah engkau lakukan sehingga engkau memperoleh kedudukan yang mulia ini?”.
Pemuda itupun menjawabnya, “Dulu aku berbakti kepada orang tua, ketika orang tua kami jompo dan lemah, kugendong ia diatas punggungku, dan saat itu ibuku berdoa,
“Allahumar Zuqhul qanaata waj’al makaanahu ba’da wafatihi fii maudhi’in laa fil ardhi walaa fis samaa = ‘ya allah berikanlah sifat qanaah kepada anakku, dan berilah tempat setelah matinya tidak dibumi dan dilangit.”
Setelah ibuku tiada, aku menghibur dukaku ketepi pantai, dan terlihatlah kubah mutiara putih itu, kudekati, lau aku pun masuk kedalamnya. Tiba-tiba pintu kubah ini menutup dengan sendirinya dan bergerak atas ijin Allah Swt. Aku pun tidak tahu pasti dimana berada, Didarat atau di Udara, namun aku tetap memperoleh rezeki dari Allah SWT yang disediakan didalam kubah ini, “Demikian pemuda itu menceritakan asal mula ia berada didalam kubah itu.”


Dengan apakah Allah SWT memberimu rezeki ?” tanyanya lagi.
Saat perut ku lapar, Allah menciptakan pohon yang berbuah, lalu aku diberinya. Dan ketika aku haus, mengalirlah dari pohon itu air putih melebihi susu, manisnya melebihi madu dan dingin melebihi salju.” Pemuda itu menjelaskan.
”Lalu bagaimana kamu mengetahui malam dan siang ?”
”Bila Fajar shubuh kubah itu menjadi putih, sehingga aku tahu tandanya akan siang hari, dan bila matahari terbenam, kubah ini berubah menjadi hitam, dan aku pun tahu bahwa pasti saat itu malam.” dia menjelaskan lagi.
Usai berdialog dengan pemuda itu, sulaiman berdoa, kubah itu menutup dengan sendirinya, dan pemuda itu tetap berada didalamnya. Kubah bergerak menuju ketempatnya didasar lautan.

Baju Umar dan Anaknya Penuh Tambalan

Suatu hari anak khalifah Umar bin Khatab pulang sekolah dgn menangis. Ketika ditanya oleh ayahnya, ia menjawab bahwa teman-temannya disekolah mengolok-ngolok bajunya yang penuh dengan tambalan. Diantara mereka mengatakan, ” hai Kawan-kawan, perhatikan berapa jumlah tambalan anak ini!” menjadi bahan tertawaan teman-temannya, sedih hatinya.


Pola hidup keluarga Khalifah Umar memang sederhana, saking sederhananya, konon kendati menjabat sebagai khalifah di Makkah, tambalannya ada empat belas. Salah satunya ditambal dengan kulit kayu.
Mengetahui kesedihan anaknya, pergilah umar kekas Negara dengan maksud akan meminjam beberapa dinar untuk membelikan baju anaknya. Tidak bertemu dengan pejabat bagian kas negara, ia meninggalkan sepucuk surat, isinya sebagai berikut :
” Bersama surat ini perkenankanlah aku meminjam uang kas negara sebanyak 4 dinar sampai akhir bulan, pada awan bulan nanti, gajiku langsung dibayarkan untuk melunasi utangku. Demikian pesan dan permintaan ku, sebelum dan sesudahnya terima kasih. Tertanda Umar Bin Khatab, Khalifah di Mekkah.”

Setelah Pejabat kas negara membaca surat pengajuan utang itu, dikirimlah surat balasan :
”Dengan segala hormat, surat balasan kepada junjungan khalifah Umar Bin Khatab. Wahai khalifah, mantapkah keyakinanmu untuk hidup sebulan lagi, untuk melunasi utangmu, agar kamu tidak ragu meminjamkan uang kepadamu. Apa yang Khalifah lakukan terhadap uang kas negara, seadainya meninggal sebelum melunasinya, Demikian kurang lebihnya mohon maaf. Hormat kami, pejabat kas negara.”
Selesai membaca surat balasan dari pejabat kas negara, Khalifah laangsung menangis, dan berseru kepada anaknya :
”Hai anakku sungguh aku tidak mampu membelikan baju baru untukmu dan berangkatlah sekolah seperti biasanya, sebab aku tidak bisa meyakinkan akan pertambahan usiaku sekalipun hanya sesaat.” Anak itu pun menangis mendengar ujar ayahnya.
Anak Umar tetap tegar dan tabah, dan tetap masuk sekolah dengan memakai bajunya yang penuh tambalan. Ia tahu pasti bahwa, Allah SWT tidak melihat tampilan seseorang, tetapi melihat hatinya. Kemulian disis Allah bukan lah bagi orang – orang yang bagus pakaiannya , tetapi siapa diantara mereka yang paling bertakwa kepada Allah, lebih baik memakai baju tambalan asal halal daripada baju bagus serba mahal, namun dibeli dengan uang rakyat.

Semoga cerita ini bisa menjadi contoh para penguasa di negri kita !!!!

TEMAN NABI MUSA DI SURGA

Suatu ketika Nabi Musa as, berdoa kpada Allah Swt , “Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku, siapakah temanku di surga ?”
Keinginan beliau untuk mengetahui siapa jadi temannya surga begitu kuat, Tidak lama kemudian nabi Musa AS, diberi wahyu sbg jawaban doa nya. Beliau disuruh mencari sendiri kesebuah pasar tempat penjualan daging, criteria orang tersebut dijelaskan pula dalam wahyu tersebut.

Beliau pun segera pergi menuju sebuah pasar yang dimaksud. Disana beliau bertemu dengan seseorang penjual daging yang kriterianya persis seperti yang disebutkan oleh wahyunya. Beliau menunggu berjualan sampai selesai, ketika hari hampir petang, orang itu mengambil sekerat daging & dimasukkan kedalam keranjang, lalu dipikulnya dengan sebatang kayu.
Sewaktu akan pulang, Nabi Musa AS, mendekatinya dan bertanya, ”Apakah engakau punya tamu ?”.
”Benar aku punya tamu. ” Jawabnya.


Nabi Musa AS diajak mampir kerumahnya. Mampirlah beliau kerumah penjual daging itu. Beliau dipersilahkan duduk di ruang depan & dibiarkan sendirian. Sementara pedagang itu sibuk memasak, sebagaimana layaknya orang memasak untuk tamu yang paling dihormatinya.
Selesai Memasak, dia menyiapkan air dan pakaian untuk tamunya itu. Nabi Musa AS, tetap dibiarkan sendirian, menyaksikan kesibukan. Ternyata semua itu bukan untuk nabi Musa AS, orang itu masuk kedalam kamar, dan keluar menggedong seorang nenek jompo yang lemah. Disuapinya diseka dan diganti pakaiannya seperti merawat bayi. Lalu nenek jompo itu ditempatkan kembali ketempat tidur seperti semula.
Ketika Nabi Musa AS
, menanyakan siapa sebenarnya nenek itu, yang diperlakukan sedemikian mulia, orang itu menjawab, ”Nenek ini adalah ibu kandungku sendiri, ia telah lemah& tak berdaya merawaat diri sendiri” Nabi Musa AS mengarahkan pandangannya kepada seorang nenek jompo yang berbaring itu, terliahat bibir nenek itu komat-kamit.


Sebagai seorang nabi, beliau pun tahu tahu pasti apa yang diucapkan nenek jompo itu, yakni mendoakan anaknya ,” Allahummaj’al ibni jaliisa musa fil Jannah” ya tuhanku, jadikanlah anakku teman nabi Musa AS, di surga.
Akhirnya beliau berkata kepada orang itu, ”Terimalah kabar gembira bagi anda, dan kenalkan aku nabi Musa, dan engkaulah kawanku kelak di surga.


Subhanllah begitu besarnya doa seorang ibu, memang benar bila Ridhonya Allah ridho nya orangtua, dari cerita ini semoga kita mendapatkan hikmah dan pelajaran yang disampaikan,
Sudah cukup jelas cerita diatas untuk dapat kita renungkan sudah sejauh mana sikap kita terhadap orang tua khususnya ibu kita, mungkin banyak orang setelah orang tua mereka sudah mulai tua, lemah, pikun, atau untuk mengurus diri mereka sendiri sangat sulit, ketika mereka membutuhkan bantuan, anaknya malah sibuk dengan istri, anak, Harta mereka.

Kita mungkin lupa mereka lah dulu yang menggandung kita, menyusui kita, memandikan kita, membantu kita untuk bisa merangkak, berdiri, dan berjalan. Benarlah apa yang diceritakan ketika seorang sahabat memaparkan apa yang telah dilakukan nya bahwa dia menggedong ibu nya yang sudah tua jompo kemana-mana, merawatnya,Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya.

Lalu bertanya kepada Umar bin khatab,

’apakah hal tersebut dapat membalas jasa ku kepada orang tua?’

lalu Umar pun menjawab: "tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu".


Mungkin kita sudah mengerti alasan umar menjawab pertanyaan itu, jasa orang tua terhadap kita tidak akan pernah bisa dibalas dengan cara bagaimana pun, uang, materi, harta benda tak bisa membalas jasa mereka.
Maka sudah cukup cerita maling kundang menjadi sebuah Legenda jangan sampai menjadi sejarah yang nyata yang pernah terjadi.


Semoga kita menjadi orang-orang yang berbakti kepada orang tua karena untuk beribada kepada Allah SWT, Wallahualam biswab.

Wassalam...

Doa seorang Ibu yang Mustajab

Seorang syekh dan ibunya yang malang


Dari cerita sebelumnya yaitu teman nabi Musa dan istana di dasar laut, cerita tersebut menceritakan
doa seorang ibu terhadap anaknya yang dikabulkan oleh Allah, Pada cerita ini saya akan menceritakan
doa seorang ibu juga namun, doa yang dipanjatkan oleh seorang ibu adalah doa keburukan bagi anaknya,
berbeda dengan cerita sebelumnya doa yang dipanjatkan adalah untuk kebaikan.
berikut Cerita Penuh Hikmah kali ini selamat menikmati ...

Sore itu, seorang Syekh berkemas-kemas, mempersiapkan bawaannya untuk keperluaan beribadah
beberapa hari di Makkah. Lalu ia mohon pamit dan mohon doa restu ibunya. Sayang, ibunya kurang berkenan dengan
rencananya. Meski tidak direstui, ia tetap nekat berangkat.
Sang ibu membuntuti perjalanannya di belakang, dengan perasaan kesal, dia lantas berdoa kepada Allah.
"Ya Allah, anakku telah menyedihkan hatiku dengan perpisahan ini. untuk itu ya Allah, berikanlah derita kepada anakku."
dia berdoa dengan penuh kerendahan hati, duduk bersimpuh di jalanan setelah mengejar anaknya, namun tidak dapat mendapatkannya.
Syeikh itu pun terus berjalan meninggalkan ibunya. Sampailah di sebuah kota dan waktu pun sudah malam. Lalu ia masuk ke sebuah masjid untuk shalat magrib dan diteruskan Isya. Jalan-jalan sudah gelap dan malam pun semakin kelam.Ia berniat untuk menginap di Mesjid itu.
Bertepatan waktu itu, tiba-tiba masyarakat kota dibangunkan dengan suara orang-orang yang mengejar pencuri . Pencuri itu lari melewati pintu masjid dan menghilang entah kemana. Orang yang masuk kedalam masjid dan melihat didalamnya ada orang yang tak dikenal,lalu berteriak, "Hai, hai ... pencurinya ada didalam mesjid."
Seketika masjid itu digrebek oleh orang-orang yang marah. mereka pun menangkap syekh yang sedang berdzikir itu. ia tidak berdaya menghadapi massa yang beringas, kecuali diam dan menyerah. Dia digelandang keluar masjid dan diarak ke balai kota. Setelah disidang dengan tuduhan mencuri, ia dijatuhi hukuman potong tangan, kaki serta dikeluarkan matanya oleh walikota setempat.
Syekh 'alim yang malang itu menjalani hukuman sesuai keputusan sidang pengadilan. Diaraklah ramai-ramai keliling kota, dengan dikalungi poster 'MALING MALANG'.
mereka berteriak, "Inilah ganjaran bagi seorang pencuri."
"Jangan katakan itu, kepergianku hanya untuk berthawaf di makkah. sedang ibuku tidak merestui keberangkatanku." sahut syekh.
Setelah diketahui bahwa, ia seorang syekh yang alim, mereka menangis dan menyesali penganiayannya. Lalu mereka mengantarkan syekh itu pulang kekampungnya. Setelah sampai di depan rumahnya, dia memanggil ibunya, "aku musafir yang lapar, berilah aku makanan, oh ibu."
"Datanglah ke pintu," ujar ibunya

"Tiada kaki bagiku untuk menujumu bu."

"Ulurkan Tanganmu."

"Tiada tangan bagiku untuk menerima pemberianmu."

"jika aku mendekatimu, bisa terjadi perbuatan yang haram," sahut ibunya.

"Tidak mungkin, Bu, sebab aku tidak mempunyai bola mata."Jawab Syekh itu .

Ketika sang ibu mengetahui bahwa itu anaknya, ia menangis. Syekh itu merebahkan kepalanya ditangan ibunya seraya meminta maaf atas tindakannya.

arti ketekunan

Aku adalah seorang mantan guru sekolah musik dari Des Moines, lowa. Selama 30 tahun aku mengajar piano. Selama itu pula aku menemukan bahwa setiap anak memiliki kemampuan musik yang berbeda. Aku tidak pernah merasa berbuat sesuatu yang besar, walaupun aku mengajar beberapa murid berbakat. Walaupun begitu aku ingin bercerita tentang seorang muridku yang paling berkesan, namanya Robby.

Robby berumur 11 tahun saar ibunya memasukan dia ke dalam les untuk pertama kalinya. Sebenarnya, aku lebih suka kalau muridku mulai belajar pada usia yang lebih muda. Dan, aku menegaskan hal tersebut kepada Robby.

Tetapi, Robby mengatakan bahwa ibunya ingin sekali mendengar ia bermain piano. Jadi, aku menerimanya sebagai murid.

Lalu, Robby memulai kursus pianonya. Sejak awal aku berpikir bahwa ia tidak ada harapan. Robby mencoba, tetapi ia tidak mempunyai perasaan akan nada maupun irama dasar yang perlu dipelajari. Namun, ia dengan serius mempelajarinya tangga nada dan beberapa pelajaran awal yang aku wajibkan untuk dipelajari oleh semua murid.

Selama beberapa bulan ia terus mencoba dan aku mendengarnya dengan ngilu, tetapi tetap memberinya semangat.

Setiap akhir pelajaran mingguannya, dia berkata, “Ibuku pasti akan mendengarkan aku bermain piano pada suatu hari nanti.”

Tetapi, rasanya sia – sia saja. Ia memang tidak mempunyai bakat.

Aku sering melihat ibunya dari jauh, saat menurunkan dan menjemputnya. Ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, tetapi tidak pernah turun.

Pada suatu ketika Robby tidak datang les lagi, dan aku pernah berpikir untuk menghubunginya, tetapi dalam hati aku berpikir bahwa karena ketidakmampuannya, mungkin ia mengambil kursus di bidang lain. Aku juga senang ia tidak datang lagi. Ia menjadi iklan buruk di tempat kursusku.

Beberapa minggu sesudahnya, aku mengirimkan undangan kepada semua murid, mengenai pertunjukan yang akan dilaksanakan.

Hal yang membuatku kaget adalah ketika Robby (yang juga menerima undangan) meminta agar ia dapat ikut serta dalam pertunjukan tersebut. Awalnya aku menolak dan mengatakan bahwa pertunjukan itu hanya untuk murid yang ada sekarang. Karena ia telah keluar, tentu ia tidak dapat ikut serta. Robby mengatakan bahwa ibunya sakit sehingga ia tidak bisa mengantarnya ke tempat kursus, tetapi ia tetap terus berlatih.

“Bu Hondorf tolonglah…. aku ingin ikut bermain…” Ia meminta dengan memelas. Aku tidak tahu hal apa yang membuatku akhirnya mengizinkan ia bermain pada pertunjukan itu.

Tibalah malam pertunjukan itu. Aula dipenuhi oleh orang tua, teman, dan relasi. Aku menaruh Robby pada urutan terakhir sebelum giliranku main, untuk berterima kasih dan memainkan bagian terakhir. Aku yakin bahwa Robby akan membuat kesalahan dan aku akan menutupinya dengan permainanku.

Pertunjukan itu berlangsung tanpa masalah. Murid – murid telah berlatih dan hasilnya baik.

Lalu, tibalah giliran untuk Robby naik kepanggung. Bajunya kusut dan rambutnya berantakan.

“Kenapa ia tidak berpakaian seperti murid lainnya?” pikirku, “Kenapa ibunya tidak menyisirkan rambutnya malam ini?”

Robby menarik kursi piano dan mulai bermain. Aku terkejut saat ia menyatakan akan memainkan Mozart’s Concerto #21 pada C Mayor.

Jarinya lincah di atas tuts, bahkan menari dengan gesit. Ia berpindah dari pianossimo ke fortissino.. dari allegro ke virtuoso. Akord gantung yang dimainkan Mozart dimainkan oleh orang seusia dia dan sebagus itu !

Setelah enam setengah menit, Robby mengakhirinya dengan crescendo besar dan semua orang terpaku disana, dengan tepuk tangan yang meriah.

Dengan berurai air mata, aku naik keatas panggung dan memeluk Robby dengan sukacita.

“Aku belum pernah mendengar kau bermain seperti itu, Robby ! Bagaimana kamu melakukannya ?”

Melalui pengeras suara Robby menjawab,

“Ibu Hondorf… Ingatkah saat kukatakan bahwa Ibuku sakit ? Ya, sebenarnya ia sakit kanker dan ia telah meninggal dunia pagi ini. Dan, sebenarnya … ia tuli sejak lahir, jadi hari inilah ia pertama kali mendengar aku bermain piano. Dan, aku ingin bermain secara khusus.”

Tiada seseorang pun yang matanya kering malam itu.

Ketika orang-orang dari Layanan sosial membawa Robby dari panggung ke rumah duka, saya menyadari meskipun mata mereka merah dan bengkak, betapa hidup saya jauh lebih berarti karena mengambil Robby sebagai murid saya.

Tidak, saya tidak pernah menjadi penolong, tapi malam itu saya menjadi orang yang ditolong Robby. Dialah gurunya dan sayalah muridnya. Karena dialah yang mengajarkan saya arti ketekunan, kasih sayang, percaya pada dirimu sendiri, dan bahkan mau memberi kesempatan pada seseorang yang tak anda ketahui mengapa.

Rabu, 19 Januari 2011

Ketika Sesuatu Tidak Pada Tempatnya








Semasa menjadi Khalifah, pemimpin umat dan negara, Umar bin Khattab menyediakan buku catatan amal. Setiap hari Jumat diperiksanya.

Termasuk dzalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Misalnya sapu diletakkan di dalam lemari. Atau memakai dasi tetapi tidak memakai baju.

Adil bukanlah berarti sama rasa sama rata. Bukanlah memberi semua orang dengan yang sama, melainkan memberi setiap orang sesuai dengan kebutuhan dan haknya.

Allah pun menetapkan perintah dan larangan selaras dengan kemampuan manusiawi hamba-Nya, dan kesanggupan alamiah makhluk-Nya.

Sungguh tidak pantas kalau hendak menyuguhi makanan tamu kebetulan tidak ada mangkok tempat sayur, lalu menggunakan asbak. Meski asbak itu besar dan baru dibeli dari toko, dan sama sekali belum pernah dipergunakan, tapi asbak adalah tempat untuk abu rokok.

Seorang petani desa akan naik kereta api. Menurut kebiasaan di kampungnya, kalau akan memasuki rumah orang, diadatkan untuk membuka sandal atau sepatu. Petani tersebut lalu melepas sandalnya pada waktu akan menaiki tangga kereta api menuju Jakarta. Sandalnya ditinggalkan di emplasemen stasiun Tegal. Pada saat turun di Stasiun Senen, ia mencari-cari sandalnya di emplasemen. Tentu saja sandalnya tidak terbawa.
Dengan bersungut-sungut dia mengomel, “Kurang ajar. Sandalku ada yang mengambil. Keterlaluan. Orang kota jahat-jahat!”

Begitulah. Ia menderita kerugian lantaran ketidaktahuannya. Memang mencari kambing hitam amat mudah. Jauh lebih gampang bila dibanding harus mencari kuman di mata sendiri.

Semasa menjadi Khalifah, pemimpin umat dan negara, Umar bin Khattab menyediakan buku catatan amal. Setiap hari Jumat diperiksanya. Jika ia menjumpai perbuatan buru dalam catatannya, ia mengambil cemeti dan dicambuknya pungguh sendiri sampai menghitam.
Pada waktu meninggal dunia, saat jenazahnya akan dimandikan, orang melihat di punggung Umar penuh dengan bekas-bekas pukulan berwarna hitam meratai sekujur badannya.

Di masa hidupnya, apabila mendengar ayat tentang azab dan neraka, Umar menangis tersedu-sedu. Berbuat benar bukanlah tidak pernah berbuat salah. Berbuat benar adalah menyesal andaikata berbuat salah, dan berniat tidak akan mengulangi kembali kesalahan itu.

Pernah suatu hari, Abdurahman, anak Umar bin Khattab, ketika berada di Mesir menenggak minuman keras. Hukuman yang berlaku bagi peminum minuman keras saat itu, sekalipun tidak sampai mabuk, digunduli kepalanya dan dicambuk 25 kali di depan umum.

Namun Gubernur Mesir Amru bin Ash, memberi dispensasi khusus, Abdurahman hanya digunduli, tidak dicambuk. Itu pun dilakukan di rumah gubernur. Mungkin karena yang melakukan pelanggaran itu anak seorang amirul-mukminin.

Timbullah desas-desus miring, yang akhirnya terdengar juga oleh Umar. Segera ia memanggil Gubernur Mesir, agar segera datang ke Madinah, membawa Abdurahman.

Setelah hadir, mereka dihadapkan ke depan majelis hakim. Umar sendiri yang memimpin persidangan. Sambil menunjukkan kemarahan, ia berkata kepada Abdurahman, “Kelakuanmu tidak menunjukkan status sebagai anak pemimpin orang beriman. Malah leluasa melanggar hukum karena merasa akan dilindungi. Tidak! Aku lebih takut dan malu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya jika membiarkanmu bebas dari hukum yang berlaku. Engkau meminum minuman keras, suatu hal amat terlarang. Sudah mendapat hukuman digunduli, tetapi tidak didepan umum dan belum dicambuk. Oleh karena itu, aku perintahkan agar Abdurahman anak Umar, dicambuk di depan umum 50 kali. Sebanyak 25 cambukkan untuk perbuatan meminum alkohol, sedangkan 25 cambukkan lagi untuk sikapnya merasa diistimewakan karena anak Umar.”

Kepada Amru bin Ash, Umar berkata tak kalah keras, “Wahai Amr, mengapa hanya karena engkau takut oleh Umar, maka engkau berani melanggar perintah Allah dan RasulNya? Apa arti seorang Umar anak Khattab di hadapan Allah dan Rasul-Nya jika membiarkan kelakuanmu pilih kasih dalam menegakkan hukum, sedangkan Alalh telah memerintahkan kita berlaku adil? Hanya karena yang berbuat salah Abdurahman anak Umar, engkau bedakan hukumannya daripada yang lain! Padahal Rasulullah SAW telah menyatakan tegas, seandainya Fatimah putri terkasih mencuri, akan tetap dipotong tangannya. Bahkan oleh beliau sendiri. Masih terngiang ucapan beliau tentang kehancuran umat di masa lampau, akibat bertindak pilih kasih dalam menetapkan hukum. Innana ahlakallohul ladzina min qablikum, innahu idza saraka fihimul syarifu tarakuhu, wa idza saraqa fihimul dla'ifu aqamu alaihil haddu (jika yang melanggar kalangan elite, hukum dipermainkan. Akan tetapi jika yang melanggar rakyat biasa, dihukum sebenar-benarnya hukuman).

Tanpa ragu lagi Umar menjatuhkan hukuman 50 kali cambukkan kepada Amru bin Ash, seorang sahabat yang berjasa menyebarkan syiar Islam ke Mesir dan benua Afrika, sekaligus memecatnya dari kedudukan gubernur.

Hukuman kedua dari ayahnya itu membuat Abdurrahman jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Hal yang sama terjadi kepada putra Umar yang lain, Abu Syahmah, dalam kasus pelanggaran zina. Umar menolak menghentikan hukuman 100 cambuk atas putranya, meskipun para sahabat mendesak agar beliau menunda sisa hukuman itu karena Abu Syahmah sudah terlihat kritis. Abu Syahmah akhirnya juga meninggal dunia karena hukuman yang diberikan oleh ayahnya sendiri.

Umar bin Khattab bukannya tidak sayang kepada putranya itu. Beliau begitu sayang, beliau menangis seraya memangku jenazah putranya. Tapi rasa cinta, taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya lebih besar lagi. Mungkin karena itulah Sayyidina Umar dikenal sebagai figur Lâ yakhâfu fil-lâhi laumata lâ’im, tidak takut terhadap siapa pun dalam mengucapkan dan menegakkan kebenaran.

Imam Al-Ghazali menyebut tokoh yang memiliki keistimewaan semacam ini sebagai pemilik predikat l-khawâsh al-aqwiyâ’ atau orang-orang istimewa yang kuat dalam menjalankan agamanya. Merekalah orang yang paling layak untuk mengemban amanat kekuasaan untuk mengatur rakyat. “Orang-orang khusus yang kuat, tidak selayaknya, menolak kekuasaan… Yang aku maksud dengan orang kuat di sini adalah orang yang tak tergoda oleh dunia, yang tak dikuasai oleh ketamakan, dan dalam melaksanakan perintah Allah tak takut sedikitpun terhadap cercaan orang,” demikian tegas Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.

Sayidina Umar mengucapkan kebenaran dan melakukan nahi munkar sepahit apapun itu. Maka oleh karena itu, setan pun takut kepada beliau. Maksudnya, kemunkaran merasa sangat takut untuk menampakkan diri di hadapan Umar, karena beliau pasti akan memberantasnya dengan keras. “Demi Allah, setiap kali setan menjumpaimu melintasi sebuah jalan, maka ia mengambil Shallallâhujalan lain yang bukan jalanmu,” demikian pujian Rasulullah untuk Umar.

Refleksi Pembakaran Al-Quran: “Al-Quran Sudah Tak Ada di Hati Kita”


PDF Print E-mail



“Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa isi Al-Quran sudah tidak ada lagi di hati kita, di hati kebanyakan kaum muslimin.”

Seusai liburan Syawwal, jajaran Redaksi alKisah kembali beraktifitas. Untuk mengawalinya, Senin, 20 September 2010, di Kantor Redaksi Majalah alKisah, Jalan Pramuka Raya No. 401, Jakarta, menggelar rapat cecking.

Keceriaan terpancar dari setiap wajah redaksi alKisah. Tentu saja, setelah 12 hari melepas penat, berkumpul dan bersilaturrahim bersama handai taulan, tenaga pun terasa terisi kembali, dan siap memulai aktifitas.

Kali itu, Habib Abdurrahman Basurrah, salah seorang penguru Rabithah Alawiyah, Jakarta, membuka rapat dengan komentarnya yang menarik tentang aksi pembakaran Al-Quran yang telah memicu kemarahan umat Islam di berbagai belahan dunia.

Katanya, televisi Al-Jazeera, stasiun televisi Qatar, salah satu negara di Timur Tengah, menayangkan interview antara Al-Jazeera dengan beberapa ulama dari Timur Tengah, mengenai rencana pembakaran Al-Quran oleh seorang pendeta asal Florida, Amerika Serikat, Terry Jones, pada 11 September lalu. Meski rencana tersebut urung dilakukannya, namun telah menimbulkan aksi protes dari umat Islam di berbagai belahan dunia.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pembakaran tersebut memang tindakan pelecehan terhadap umat Islam, namun tidak perlu ditanggapi secara berlebihan, apalagi sampai merugikan pihak lain.

Salah seorang ulama yang berasal dari Syiria itu mengatakan, “Kejadian tersebut merupakan refleksi buat kita, kaum muslimin. Kita jangan terlalu emosional menanggapi masalah tersebut. Tapi yang perlu kita perhatikan adalah bahwa isi Al-Quran sudah tidak ada lagi di hati kita, di hati kebanyakan kaum muslimin. Al-Quran yang akan dibakar itu kan cetakannya, mushafnya. Kita bisa mencetak lagi sebanyak-banyaknya. Tapi jika Al-Quran sudah tidak ada di hati kita, di hati kebanyakan kaum muslimin, itu yang harus kita permasalahkan....”

Apa yang dikatakan ulama dari Syiria itu benar. Kejadian tersebut juga merupakan cambuk bagi kaum muslimin untuk lebih intropeksi diri, sudahkah kita menjalankan isi Al-Quran? Marilah kita kembali kepada Al-Quran, mengkajinya, menghafalnya, dan mengamalkannya, sehingga setiap tindak tanduk kita diwarnai oleh isi Al-Quran. Meski mushafnya hilang dari muka bumi, namun Al-Quran tetap kekal di hati kita, di setiap aliran darah dan hembusan nafas kita. Bahkan Allah pun telah berjanji, bahwa Dia-lah yang akan menjaganya...

Panggilan Cinta Menuju Serambi Surga


PDF Print E-mail


Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah SWT, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, sesungguhnya Allah Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam (QS Ali Imran: 97).

Kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia setiap tahun diajak untuk berpartisipasi dalam hajatan kolosal dan akbar di Tanah Suci. Semua orang dianggap sama, tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, ataupun status sosial, sesuai dengan ajaran Islam, yang egaliter. Kaum muslimin menyambut panggilan Allah yang penuh cinta untuk menapaktilasi jejak langkah perjuangan Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim AS, dan Siti Hajar. Semata-mata karena Allah, untuk meraih ketaqwaan di sisi-Nya.

Dalam bukunya Makna Haji, Dr. Ali Syariati menjelaskan, berhaji adalah perjalanan menuju serambi surga. Siapa yang memaknai hajinya dengan benar, surga adalah ganjarannya. Ibadah haji berlangsung selama bulan Dzulhijjah, yang sangat mulia. Keadaan tanah Makkah hening dan damai, di sana tidak ada rasa takut, kebencian, ataupun perang. Yang terasa di gurun pasir itu hanyalah rasa aman dan damai. Suasana ibadah terasa lazim.

Tidakkah engkau dengar seruan Allah kepada Nabi Ibrahim AS, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji. Mereka akan datang padamu dengan bertelanjang kaki atau mengendarai unta yang lemah yang datang dari segenap penjuru gurun pasir yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27).

Wahai engkau yang tercipta dari lumpur! Cari dan ikutilah ruh Allah. Terimalah undangannya, tinggalkan kampung halamanmu untuk menjumpai Dia yang sedang menunggumu. Eksistensi manusia tidak akan bermakna jika mendekati ruh Allah bukan tujuannya. Singkirkan dirimu dari segala tuntutan dan ketamakan yang memalingkanmu dari Allah SWT. Maka bergabunglah dengan kafilah haji.

Sebelum berangkat melaksanakan ibadah haji, hendaklah kita melunasi dulu utang-utang, dan membersihkan diri dari rasa benci serta marah terhadap sanak saudara, teman, atau siapa pun. Jangan lupa, tulis pula surat wasiat untuk mereka yang hendak kita tinggalkan. Semua ini merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi kematian, dan menjamin kesucian pribadi dan finansial, serta melambangkan detik-detik perpisahan dan masa depan manusia.

Pada hari kebangkitan kelak, tidak ada yang dapat kita perbuat di hadapan mahkamah Allah. Di sana, mata, telinga, dan hati menjadi saksi yang sebenar-benarnya tentang apa yang telah kita perbuat. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’: 36).

Ibadah haji menggambarkan kepulangan kita kepada Allah, Yang mutlak, Yang tidak terbatas, dan Yang tidak ada yang menyerupai-Nya. Pulang kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan.

Wahai manusia, melalui perjalanan waktu dan pengaruh kehidupan, engkau pun telah banyak sekali berubah. Engkau telah mengingkari janjimu untuk hanya menyembah kepada Allah, Yang Mahakuasa, dan malah menjadi pemuja berhala-berhala, yang sebagian di antaranya ciptaan manusia.

Wahai manusia, kembalilah ke asalmu. Tunaikan ibadah haji, dan temuilah Kekasihmu, Yang menciptakanmu sebagai sebaik-baiknya makhluk, dan Dia sedang menantikan kedatanganmu. Tinggalkan istana-istana kekuasaan, gudang-gudang kekayaan, dan kuil-kuil yang menyesatkan.

Memasuki Miqat

Hajatan massal itu berawal dari Miqat, tempat mengenakan pakaian ihram. Di sini manusia harus berganti pakaian. Mengapa? Karena pakaian menutupi diri dan wataknya. Pakaian melambangkan pola, status, dan perbedaan. Semua itu menciptakan batas-batas palsu yang menyebabkan pemisahan di antara manusia. Sebagian besar pemisahan yang terjadi di tengah manusia melahirkan diskriminasi. Maka selanjutnya muncullah konsep “aku”, bukan “kita”. Aku digunakan dalam konteks rasku, kelasku, klanku, golonganku, jabatanku, keluargaku, nilai-nilaiku, dan bukan aku sebagai manusia. Begitu banyak batas tercipta dalam kehidupan kita.

Sekarang tanggalkan pakaianmu, dan tinggalkanlah di Miqat. Kenakan kain kafan yang terdiri dari kain putih polos. Pakaian yang engkau kenakan itu sama seperti pakaian yang dikenakan orang lain. Lihatlah betapa keseragaman terjadi. Jadilah sebuah partikel, lalu ikutilah massa, dan jadilah laksana setetes air yang larut ke dalam samudera.

Jangan bersikap angkuh, karena engkau di sini bukan untuk mengunjungi seorang manusia. Tapi bersikaplah rendah hati, karena engkau akan menjumpai Allah. Di Miqat, tidak peduli dari ras atau suku apa pun, engkau harus mengangkat semua penutup yang engkau kenakan dalam kehidupanmu sehari-hari.

Sebelum memasuki Miqat, yang merupakan awal perubahan dan revolusi besar, engkau harus menyatakan niat. Niat apa? Niat perpindahan dari rumahmu ke rumah umat manusia, dari sang diri kepada Allah, dari penghambaan kepada kemerdekaan. Dari diskriminasi rasial kepada persamaan, ketulusan hati, dan kebenaran. Dari berpakaian menjadi telanjang, dari kehidupan sehari-hari kepada kehidupan abadi, dan dari egoisme dan ketidakbertujuan kepada ketaatan dan tanggung jawab.

Oleh karena itu niatmu harus dinyatakan dengan tegas, engkau akan mencuat dari tempurungmu laksana biji kurma keluar dari dagingnya.

Setelah sadar sepenuhnya, engkau harus memiliki keyakinan dalam hati. Terangi hatimu dengan api cinta, bersinarlah, bersinarlah. Lupakan segala sesuatu tentang dirimu.

Dulu engkau hidup dalam kelalaian dan kebodohan dan tak berdaya dalam segala aspek kehidupan. Bahkan dalam dunia kerja pun engkau menjadi seorang budak yang bekerja karena kebiasaan atau karena terpaksa. Ketika di Miqat dan bersiap-siap untuk memulai prosesi haji, engkau sadar akan apa yang harus dikerjakan dan mengapa dikerjakan.

Dengan berpakaian ihram engkau melaksanakan shalat sunnah Ihram, dan menghadapkan dirimu kepada Allah, Yang Mahakuasa, seraya berkata, “Ya Allah, kini aku tidak lagi menyembah berhala-berhala, dan aku tidak lagi menjadi budak Namrud.

Ya Allah, sekarang aku berdiri di hadapan-Mu sebagaimana Nabi Ibrahim, bukan sebagai penindas, bukan sebagai penipu ataupun penimbun. Tidak! Aku menghadap-Mu sebagai seorang manusia yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang akan aku kenakan saat aku menjumpai-Mu di akhirat.

Wahai Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, yang keagungan dan belas kasih-Nya meliputi kawan maupun lawan, orang shalih maupun pendosa, orang beriman maupun kafir. Ya Allah, aku menyembah-Mu karena Engkau satu-satunya yang patut disembah. Aku tidak menyembah siapa pun selain Engkau, Pemilik hari pengadilan.”

Sungai Berwarna Putih

Kota Makkah menyerupai sebuah mangkuk raksasa yang dikelilingi gunung-gunung. Setiap lembah, jalan, dan lorong menghadap ke lantai rumah besar ini. Ka’bah berada di pusatnya. Kita akan menyaksikan rombongan manusia yang berpakaian serba putih turun membanjiri Masjidil Haram laksana sungai berwarna putih.

Semakin kita mendekati Ka’bah, semakin kita merasakan keagungannya. Ka’bah adalah kiblat kaum muslimin ketika shalat. Ka’bah adalah pusat eksistensi, keyakinan, cinta, dan kehidupan.

Ka’bah terbuat dari batu-batu kasar berwarna hitam yang disusun dengan pola yang sangat sederhana dan celah-celahnya diisi dengan kapur berwarna putih. Ka’bah “hanyalah” sebuah bangunan berbentuk kubus yang kosong, namun kita bisa terhenyak dengan apa yang kita saksikan. Tidak ada apa-apa, tidak ada apa pun yang bisa dilihat.

Alangkah baiknya menyaksikan Ka’bah, yang kosong. Melihat Ka’bah yang seperti itu akan mengingatkan kita bahwa kehadiran kita adalah untuk menunaikan ibadah haji. Ka’bah bukanlah tujuan, tapi sekadar pedoman arah. Ka’bah hanyalah sebuah rambu penunjuk jalan.

Ketika shalat di luar Ka’bah, kita harus menghadap bangunannya. Bangunan apa pun selain Ka’bah pasti menghadap ke utara, selatan, timur, barat, atas atau bawah. Ka’bah sebagai kekecualian menghadap ke segala arah tapi tidak menghadap apa pun. Sebagai simbol sejati yang datang dari Allah, Ka’bah mempunyai banyak arah namun ia tidak mempunyai arah tertentu.

Di sebelah barat Ka’bah terdapat sebuah dinding pendek setengah lingkaran yang menghadapnya yang disebut “Hajar Ismail”. Hajar berarti “pangkuan”, dan dinding berbentuk bulan sabit ini memang menyerupai sebuah pangkuan.

Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim AS, mempunyai seorang hamba perempuan berkulit hitam yang bernama Siti Hajar. Ia sangat miskin dan sedemikian sederhana. Siti Sarah tidak keberatan Siti Hajar menjadi istri Nabi Ibrahim agar memberikan seorang anak.
Dalam pangkuan Hajar-lah, Nabi Ismail dibesarkan. Allah SWT menghubungkan simbol pangkuan Hajar dengan simbol sejati yang datang dari-Nya, yaitu Ka’bah. Di sanalah rumah Siti Hajar, dan kuburannya terletak di dekat pilar Ka’bah yang ketiga.

Sungguh mengejutkan, karena tidak seorang pun, sekalipun para nabi, di kubur di dalam masjid. Namun dalam kejadian ini rumah seorang budak perempuan diletakkan di sebelah rumah Allah. Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail, di kubur di sana, Ka’bah melekat hingga ke kuburnya.

Ada lorong sempit di antara Hajar Ismail dan Ka’bah. Ketika kita tawaf mengelilingi Ka’bah, Allah mewajibkan kita mengitari Hajar Ismail. Jangan melewati lorongnya. Sebab, kalau tidak, ibadah haji kita akan batal.

Tawaf


Bagaikan sungai yang bergemuruh mengitari sebuah batu, lautan manusia yang sangat bergairah mengelilingi Ka’bah.

Tawaf menunjukkan makna ketauhidan. Allah adalah pusat eksistensi. Dia adalah fokus dari dunia, yang sementara. Kita adalah partikel bergerak yang mengubah posisi dari yang sekarang ke yang seharusnya. Namun dari segala posisi dan di setiap saat kita berada pada jarak yang konstan dengan Allah. Jarak tersebut tergantung pada jalan yang telah kita pilih.

Jalan Allah adalah jalan umat manusia. Untuk mendekati Allah, kita harus lebih dulu mendekati manusia. Untuk mencapai keshalihan, kita harus benar-benar terlibat dalam problematik manusia. Aktiflah terjun ke lapangan, melakukan kedermawanan, ketaatan, dan mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Pada saat tawaf, kita tidak boleh masuk ke Ka’bah ataupun berhenti di sekitarnya. Kita harus masuk dan lenyap dalam gelombang manusia. Kita harus terjun ke dalam arus manusia yang bergemuruh sedang bertawaf. Beginilah caranya menjadi seorang haji. Ini adalah undangan kolektif kepada siapa saja yang ingin datang ke rumah ini. Setiap orang mengenakan pakaian dengan warna dan pola yang sama, tidak ada perbedaan ataupun penonjolan pribadi, dan yang ditunjukkan adalah totalitas serta universalitas sejati.

Dengan bersikap dermawan, baik hati, kepada orang lain, dan mengabdi kepada umat, kita akan akan menemukan jati diri.
Setelah menyelesaikan tujuh putaran, prosesi tawaf berakhir. Mengapa tujuh putaran? Sebab angka tujuh mengingatkan kita pada tujuh lapis langit.

Di Maqam Ibrahim, kita harus shalat dua rakaat. Yang dimaksud dengan Maqam Ibrahim adalah sebongkah batu yang di atasnya terdapat bekas tapak kaki Nabi Ibrahim AS. Di atas batu itulah Nabi Ibrahim berdiri dan meletakkan batu pertama Ka’bah (Hajar Aswad). Ia berdiri di atas batu tersebut untuk membangun Ka’bah.

Berada di Maqam Ibrahim berarti berdiri di tempat beliau. Marilah kita tunaikan ibadah haji. Terjunlah ke dalam sungai manusia yang bertawaf dengan cara ikut bertawaf juga. Setelah satu jam berenang dalam aliran cinta ini kita akan meninggalkan eksistensi makhluk hidup yang egois dan memetik suatu kehidupan baru di tengah eksistensi abadi umat manusia dalam orbit abadi Allah SWT. Sekarang kita seperti Ibrahim.

Semua orang dalam keadaan memalukan dan rapuh, bumi telah berubah menjadi sebuah rumah besar bagi para pelacur, yang tak seorang pun memiliki kehormatan. Ia merupakan sebuah rumah penjagalan besar, dan yang berlaku hanyalah penganiayaan dan diskriminasi. Pada akhirnya, itulah Ka’bah, rumah yang bersih, aman dan kokoh, bagi seluruh manusia. Selamatkan umat manusia, keluarkan mereka dari kehidupan yang stagnan dan sia-sia. Bangunkanlah mereka dari tidur yang lelap. Bantulah mereka bergerak, pegang tangannya dan tuntunlah mereka. Ajak mereka beribadah haji dan bertawaf.

Antara Tawaf dan Sa’i

Usai menunaikan shalat sunnah Tawaf di Maqam Ibrahim, kita harus pergi ke Mas’a, yakni jalan antara Bukit Shafa dan Marwah. Berlari-lari di antara dua bukit itu tujuh kali, yang dimulai dari puncak Bukit Shafa. Pada saat berada di bagian tempat yang tingginya sama dengan Ka’bah, kita harus bergegas, selanjutnya berjalan seperti biasa ke kaki Bukit Marwah.

Sa’i adalah sebuah pencarian. Ia merupakan sebuah gerakan yang mempunyai tujuan dan digambarkan dengan berlari-lari dan bergegas-gegas. Pada saat tawaf kita berperan sebagai Siti Hajar. Di Maqam Ibrahim kita berperan sebagai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Begitu kita memulai sa’i, kita pun berperan lagi sebagai Siti Hajar.

Sa’i adalah kerja fisik, artinya mengerahkan segala upaya mencari air dan roti untuk memuaskan dahaga dan memberi makan anak-anak yang kelaparan. Sa’i adalah jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Selama proses sa’i, kita berjalan bolak-balik sebanyak tujuh kali. Angka 7 adalah angka ganjil, sehingga sa’i berakhir di Shafa, bukan di Marwah. Tujuh melambangkan bahwa seluruh kehidupan senantiasa menuju Marwah. Mulailah dari Shafa, yang berarti cinta sejati kepada orang lain. Tujuannya adalah Marwah, yang berarti rasa hormat, kedermawanan, dan sikap memaafkan orang lain.

Usai prosesi sa’i di Marwah, potonglah rambut dan kuku. Lepaskan pakaian ihram, lalu kenakan pakaian yang biasa. Dengan tangan hampa dan dalam keadaan dahaga, tinggalkanlah Marwah, pergilah temui Nabi Ismail.

Dengarkan dengan seksama. Ada gemuruh suara air di sana. Burung-burung yang haus melayang-layang di atas gurun pasir kering ini. Air Zamzam telah memuaskan dahaga Nabi Ismail. Suku kaum terasing yang berasal dari negeri yang sangat jauh telah menempati lembah tak berpenghuni ini. Penduduk bumi yang kehausan telah berkeliling di sekitar Zamzam. Sebuah kota yang rumah-rumahnya terbuat dari batu tumbuh dan berkembang di tengah gurun pasir yang gersang dan memayahkan. Di sana pernah diturunkan wahyu.

Setelah kembali dari melakukan sa’i dalam keadaan dahaga dan kesepian, kesendirian akan berakhir di sini. Zamzam memancar di bawah kaki Nabi Ismail. Umat manusia berkerumun di sekeliling Zamzam.

“Wahai manusia, setelah penat melakukan sa’i, bersandarlah pada cinta. Wahai manusia yang bertanggung jawab, berusahalah semampumu karena anakmu dalam dahaga. Wahai engkau yang mencinta, berharaplah selalu. Berharap semoga cinta dan harapan akan mendatangkan mukjizat,” demikian kata-kata Siti Hajar.

Pada tanggal 9 Dzulhijjah, haji besar telah mulai. Tinggalkanlah Makkah dan kenakan pakaian ihram. Untuk memulai haji besar, kita harus meninggalkan Makkah.

Memutuskan untuk pergi ke Makkah bukanlah totalitas aktualisasi haji. Dan Ka’bah atau kiblat pun bukan tujuan haji. Nabi Ibrahim telah mengajarkan bahwa haji tidak berakhir di Ka’bah, tetapi memulai dengan meninggalkan Ka’bah. Ka’bah bukan tujuan, melainkan tempat kita memulai. Ka’bah hanyalah arah, dan bukan tujuan. Kita memulai dengan datang ke Ka’bah tetapi tidak menetap di Ka’bah.

Dengan mengenakan pakaian ihram dan meninggalkan Makkah, kita akan memulai perjalanan ke arah timur, yaitu Arafah, dan di sana kita harus wukuf hingga matahari terbit pada 9 Dzulhijjah. Dalam perjalanan pulang dari Arafah, kita akan berhenti sejenak di Masy’ar dan kemudian di Mina.

Apabila dalam prosesi-prosesi sebelumnya kita diperintahkan untuk berjalan perlahan-lahan dan selangkah demi selangkah, kali itu kita harus berjalan tanpa henti dan dengan penuh semangat, bagaikan seorang pecinta sejati, sepanjang jalan menuju Arafah, tanpa istirahat. Dari pagi hari kesepuluh sampai hari ke-12 harus berdiam di Mina.

Tidak ada rambu-rambu yang membedakan tiga daerah ini satu sama lain. Sebuah jalan sempit sekitar 15 mil panjangnya menghubungkan ketiga daerah ini dengan lembah kota Makkah. Sepanjang jalan tidak ada monumen-monumen yang bersifat alamiah, historis, atau religius, dan juga tidak ada indikator yang memisahkan satu daerah dari daerah lainnya.

Pada saat menunaikan ibadah haji, gerakan pertama dimulai dari Arafah, wukuf di Arafah, yang dimulai pada tengah hari tanggal 9 Dzulhijjah, ketika matahari memancarkan sinarnya yang paling terik. Pada saat matahari terbenam, wukuf di Arafah pun berakhir. Tak ada yang bisa dilihat dalam kegelapan, dalam kegelapan tidak ada perkenalan maupun pengetahuan.

Berlatarkan mentari yang terbenam di padang Arafah, manusia berhijrah ke arah barat. Mereka terus berjalan hingga tiba di Masy’ar atau negeri kesadaran, dan mereka pun berhenti di sana.

Kita telah tiba di padang Arafah, yakni tempat terjauh dari kota Makkah dan merupakan daratan tandus yang seluruhnya ditutupi pasir halus, di tengahnya terdapat bukit batu kecil yang bernama “Jabbal Rahmah”, tempat Rasulullah SAW menyampaikan khutbah terakhirnya kepada para pengikutnya.

Matahari terbenam di padang Arafah dan kita pun harus pergi. Arafah lenyap ditelan kegelapan. Kita tidak bermalam di sini, tapi bergerak ketika matahari tenggelam. Kita akan pergi ke Masy’ar. Kita tidak bisa istirahat, karena setiap fase hanya berhenti sejenak lalu cepat-cepat pergi lagi. Dengan peristiwa itu kita diingatkan: Wahai manusia, engkau hidup dalam waktu singkat, engkau hanya sesaat.... Wahai manusia, engkau bukan apa-apa.

Kita harus sudah berada di Masy’ar menjelang senja. Manusia berjalan menuruni lembah dari Arafah menuju Mina dan kemudian ke Makkah. Di Arafah kita berwukuf selama satu hari, hilang terbawa banjir manusia yang bergemuruh. Dalam warna pakaian dan arah yang sama, umat manusia mengelilingi Jabal Rahmah, melambangkan takut akan kegelapan.

Istirahat yang terakhir dan paling lama berlangsung di Mina. Peristiwa ini menandakan harapan, cita-cita, idealisme, dan cinta. Cinta adalah fase terakhir setelah pengetahuan dan kesadaran.

Momen ibadah haji yang paling agung telah tiba, yakni hari ke-10, saat jatuhnya hari ‘Idul Qurban. Secara bertahap, kelompok-kelompok dari berbagai penjuru bergabung bersama dan membentuk sebuah aliran sungai yang besar.

Setelah membangun pasukan yang kuat, mereka bersiap-siap untuk meninggalkan Masy’ar lalu pergi ke tempat perhentian berikutnya di Mina.

Melontar jumrah adalah perlambang medan pertempuran dengan setan. Tiga setan yang terletak di sepanjang jalan itu jaraknya satu sama lain kurang lebih seratus meter, masing-masing melambangkan monumen patung atau berhala. Jama’ah memegang senjata berupa batu kerikil dan siap menyerang.

Ketika kita sampai pada berhala pertama, jangan melempar, tapi lewati saja. Ketika kita sampai pada berhala kedua, juga jangan melempar, tapi lewati saja. Ketika sampai pada berhala ketiga, jangan lewati, tapi lemparlah. Lemparlah yang terakhir dalam serangan pertamamu. Tujuh butir peluru berupa kerikil akan menembak wajah dan kepala.

Ketika berhala yang terakhir tumbang, berhala yang pertama dan kedua tidak bisa melawan, karena yang menopang mereka adalah berhala yang ketiga. Setelah itu mari kita rayakan kemenangan dengan mengadakan qurban. Lepaskan pakaian ihram, potong rambut, dan bersyukurlah kepada Allah SWT.

Pakaian Ihram dan Kafan

Hujjatul Islam Al-Ghazali berpendapat, di antara adab yang paling penting dalam perjalanan ini adalah bahwa seseorang mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia. Itu dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Allah dari semua perbuatan maksiat dan kezhaliman.

Apabila seorang yang menunaikan haji membeli dua pakaian ihram, hendaklah ketika itu ia mengingat kafan dan bahwa dengan kain itu ia nanti akan dibungkus. Sesungguhnya ia akan mengenakan pakaian ihram ketika dekat dengan Baitullah dan barangkali ia belum sempat menyempurnakan perjalanan kepada-Nya lalu ia akan menjumpai-Nya dalam keadaan dibungkus dengan kain kafan.

Sebagaimana ia tidak menjumpai rumah Allah kecuali dalam keadaan berbeda dengan kebiasaannya dalam berpakaian, ia juga tidak menjumpai Allah setelah mati melainkan dengan pakaian yang berbeda dengan pakaian dunia. Pakaian ihram ini mirip dengan pakaian untuk kafan, tidak ada jahitannya.

Al-Ghazali menjelaskan falsafah dari masuknya orang yang menunaikan haji ke Makkah, di sini kecenderungan harapan dalam jiwa seseorang lebih menonjol dibandingkan kecenderungan rasa takutnya. Ketika seseorang memasuki Makkah untuk menunaikan ibadah haji, hendaknya ia ingat bahwa ia telah sampai ke Tanah Haram dengan aman. Di saat itu hendaknya ia berharap bahwa dengan memasuki Tanah Haram ia aman dari siksa Allah. Hendaknya ia merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah.

Apabila pandangan seseorang tertuju pada Ka’bah, itu akan menghadirkan keagungan Baitullah di dalam hatinya. Al-Ghazali berkata kepada orang yang memandang itu, “Berharaplah agar Allah memberi rizqi kepadamu dan engkau melihat wajah-Nya yang mulia sebagaimana dia telah memberi rizqi kepadamu sehingga dapat memandang rumah-Nya yang agung.

Bersyukurlah kepada-Nya, karena atas izin-Nya engkau sampai pada kedudukan ini dan bergabung dalam kelompok orang yang mendatangi-Nya. Di saat itu ingatlah bagaimana manusia digiring pada hari Kiamat menuju surga, yang mereka terbagi ke dalam orang-orang yang diberikan izin untuk memasukinya dan orang yang dipalingkan, sebagaimana terbaginya para jama’ah haji menjadi orang-orang yang diterima dan ditolak hajinya. Dan teruslah mengingat perkara akhirat dalam segala yang dilihat, karena segala hal-ihwal haji menunjukkan hal-ihwal akhirat.”

Al-Ghazali memberikan penjelasan yang mendalam dalam menggambarkan amalan-amalan lahir haji. Melontar jumrah menunjukkan penghambaan dan perjalanan kita semata-mata karena menjalankan perintah-Nya, mengikuti Nabi Ibrahim ketika dibujuk oleh iblis di tempat itu untuk melakukan maksiat lalu Allah menyuruhnya agar melempar iblis laknatullah dengan batu untuk mengusirnya dan memutuskan harapannya.

“Seandainya terlintas dalam benakmu bahwa setan membujuknya (Ibrahim) dan ia menyaksikannya sehingga ia pantas melemparnya sedangkan engkau tidak dibujuk oleh setan, ketahuilah bahwa pikiran ini berasal dari setan dan dia yang memasukkan dalam hatimu untuk melemahkan niatmu dalam melontar dan membisikkan kepadamu bahwa itu suatu perbuatan yang tidak ada manfaatnya dan bahwa itu suatu permainan sehingga tidak perlu menyibukkan diri dengannya. Maka usirlah dia dari dirimu dengan sungguh-sungguh dan dengan sigap dalam melontarnya,” Al-Ghazali menjelaskan.

Ketahuilah, pada lahirnya kita melontar batu-batuan ke Aqabah, padahal hakikatnya kita melontar batuan itu ke wajah setan dan menghancurkannya. Setan tidak dapat dikalahkan kecuali kita melaksanakan perintah Allah sebagai pengagungan kepada-Nya dengan semata-mata mematuhi perintah-Nya.

“Kepergian kita menuju Baitullah semata-mata karena kecintaan dan kerinduan kepada Allah, maka tentulah Allah juga memandang kita dengan pandangan kasih sayang,” kata Imam Al-Ghazali.

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design