Cinta orang tua kepada anak melebihi cinta anak kepada orang tuanya. Sehingga modal cinta ini yang sebenarnya mendorong untuk selalu berbuat yang terbaik kepada anaknya. Karena itulah Al Quran tidak banyak menuntut ibu dan bapak berbuat kepada anaknya.
Setiap manusia termasuk Nabipun mendambakan anak, seperti Nabi Ibrahim. Orang tua mempunyai anak bukan sekedar untuk dapat mengambil manfaat dari anaknya, bahkan jika dianggap tidak bermanfaat pun, orang tua tetap membutuhkan sang anak. Pokoknya ada anak. Ini kita temukan di beberapa ayat Al-Quran, seperti isteri Firaun menemukan Musa kecil di sungai, berkata di dalam ayat Al-Quran : “ Siapa tahu dia bermanfaat buat kita atau kita angkat dia sebagai anak”.
Itu menunjukkan seorang ayah atau ibu sangat mendambakan anak. Karena dambaannya ini yang demikian besar, tuntunan tidak terlalu banyak dalam Al-Quran.
Mari kita lihat kewajiban ayah kepada anak-anaknya.
Al-Quran menekankan sejak awal, bahwa pilih-pilihlah calon pasanganmu, bukan sekedar sebagai pendamping tapi juga sebagai penerus generasi. Karena itu Nabi bersabda : “Kawinlah dengan wanita yang bisa melahirkan (jangan yang mandul) dan yang menyenangkan kamu”. “Pilih-pilih tempat kamu meletakkan benihmu”. Karena kalau sampai salah pilih, bisa membahayakan generasi selanjutnya. Kalau tanah tempat menanam benih gersang, tidak akan ada gunanya, begitu pula dengan tanah yang penuh hama.
Ini adalah awal langkah dalam mendapatkan keturunan yang baik.
Kita kupas dan lihat lagi ayat AlQuran yang ditujukan pada ayah :
Dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 223 : “Isteri-isteri kamu adalah ladang buat kamu”. Maknanya apa ? Siapa yang menentukan jenis kelamin anak ? Betul memang Allah yang menentukan tapi Allah tentukan jenis kelamin anak melalui satu sistem. Siapa yang menentukan ini tomat atau apel ? Siapa yang menentukan jenis buah yang ditanam ? Tentu petani. Maka ketika Al-Quran berkata “Isteri-isteri kamu adalah ladang buat kamu”, otomatis para ayah adalah para petani. Jadi siapa yang menentukan jenis kelamin anak ? Tentunya adalah ayah.
Kita lihat petani, supaya dia bisa mendapatkan buah yang baik, dia harus bersihkan ladang, dia harus mengairi ladang. Setelah berbuahpun, dia tetap harus perhatikan ladang, diberinya pupuk ladang tersebut. (Jangan pula ladang tersebut dituntut untuk terus menerus berproduksi, beri jeda sebagaimana ada jeda agar ladang siap untuk ditanami kembali). Setelah buah dipetikpun, harus dibersihkan sebelum dibawa ke pasar. Supaya buah ini jika dijual mendapatkan harga jual yang memuaskan, ataupun kalau buah itu hendak dimakannya maka dia dapat menikmatinya dengan lezat. Itulah tugas bapak, jadi petanilah Anda, jangan jadi ladang.
Perhatikanlah isteri, jangan sampai ada hama di sana atau kotoran yang mengganggu. Begitu dia hamil, perhatikanlah. Begitu dia melahirkan, tetap perhatikan dan pelihara.
Perlu kita lihat beberapa hal tentang kewajiban ayah :
1. Begitu anak lahir, ayah dituntun untuk meng-adzankan anaknya di telinga kanan, dan qomat di telinga kiri. Apa maknanya ini ? Kalaupun anak belum mampu mendengarkan dengan baik, paling tidak, itu sudah menggambarkan bahwa ayah berusaha menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anak. Ayah sudah mendidik anak. Disini jelas tugas ayah sudah mendahului ibu.
2. Masyarakat kita terutama di pedesaan mempunyai sedikit kekeliruan. Nabi pernah didatangkan seorang anak yang baru lahir, kemudian Nabi mengambil kurma, mengunyah kurma itu, lalu menggosok kurma tersebut ke bibir atau langit-langit mulut anak tersebut. Di beberapa daerah menerapkan seperti ini, namun sayang keliru. Seperti kita ketahui, disini (Indonesia) tidak banyak kurma, kalaupun ada kurma setelah berlalu bulan Ramadhan sehingga kurma-kurma kita sudah kering. Mereka pikir bayi itu harus diberi makan kurma. Kurma yang sudah keras, dimasukkan dulu ke dalam cuka. Ini keliru apalagi bayi belum kuat mencerna cuka dan memakan kurma. Sebenarnya Nabi tidak mengajarkan seperti ini. Bahwa bayi-bayi yang baru lahir ini telah terputus sumber makanannya dari ibunya sehingga boleh jadi dia kekurangan zat gula dan kalori. Sehingga Nabi ketika itu mengoleskan kurma, yang kaya mengandung zat gula dan kalorinya yang sangat tinggi, kepada bayi. Dengan demikian cairan zat gula yang ada pada kurma dapat diserap oleh bayi. Kesalahan masyarakat adalah menganggapnya Nabi memberi makan korma kepada bayi, padahal Nabi tidak memberi makan kurma tapi memberikan cairan zat gula kurma itu dengan cara mengoleskan saja kurma yang sudah dikunyah agar dapat masuk ke dalam mulut sang bayi.
Terlihat dari contoh Nabi tersebut, Nabi mengajarkan bahwa mendidik kepada anak juga diberikan secara fisik dan memperhatikan kesehatan anak disamping mendidiknya secara mental dan spiritual.
Ada pula ayat Al-Quran dalam QS. Al-Israa (17) ayat 31 : “Jangan bunuh anak-anak kamu”. Jangan membunuh anak itu bukan hanya berarti merenggut nyawanya, tapi juga jangan membunuhnya secara mental.
Keliru sekali lagi anggapan bahwa ibu adalah pendidik, dan ayah lepas tangan. Yang benar adalah ayah ikut berkewajiban mendidik anak. Bahkan di dalam Al Quran banyak merekam bahwa kewajiban mendidik anak justru dari bapak. Seperti kisah Luqmanul hakim dalam Surat Luqman (31) ayat 13: ”Berkata Luqman kepada anaknya, “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah dosa yang besar”. Di sini jelas, terlihat ayah mendidik anak.
Kita baca lagi Nabi Ya’qub mendidik anaknya, ditemui dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 133 : “Siapa yang akan kamu sembah setelah aku (meninggal) ?” . Jadi ayah bertugas mendidik anak.
3. Memberi nama kepada anak-anaknya. Ada yang keliru dalam budaya masyarakat kita, yaitu anggapan bahwa ketika bayi lahir, kata pertama yang ayah lihat di dalam Al-Quran itulah menjadi nama anaknya. Jika dilihat kata “wasyarikatu” maka namanya dinamakan “Syarik” padahal artinya pencuri. Bukan dengan begitu cara memberi nama. Nama itu adalah doa dan keinginan seseorang agar anaknya meneladani tokoh yang namanya diambil. Sewaktu anak diberi nama Muhammad, maka anaknya diharapkan mau meneladani Nabi Muhammad. Nama juga bisa mempengaruhi anaknya. Jika nama anaknya jelek, bisa membuat anak minder.
4. Hari ketujuh, kewajiban ayah untuk meng-aqiqahkan anaknya. Menyembelih kurban untuk anak, sebagai tanda bersyukur atas kehadiran anak, tanda bersedia juga demi karena Allah dalam rangka melaksanakan tuntunan2 Allah.
Itu tugas ayah, di awal-awal dimana anak masih bayi dan masih banyak lagi tuntunan2 ayah dalam mendidik anak-anak.
Al Quran pernah menggambarkan ketika Nabi Ya’qub memberikan kasih sayang yang lebih kepada salah satu anaknya yaitu Yusuf (yang kemudian menjadi Nabi) yang sangat beliau cintai. Anak-anak yang lain merasakan perbedaan kasih sayang tersebut. Ayahnya membedakan mereka dengan Yusuf. Apa yang terjadi kemudian ? Suatu malapetaka yang dialami oleh Yusuf. Nabi Ya’qub saking cintanya kepada Yusuf, secara tidak sadar beliau berbohong menurut sebagian ulama. Ketika saudara-saudara Yusuf yang sudah menaruh rasa benci kepadanya, akan membawa Yusuf untuk bermain. Ayahnya (Nabi Ya’qub) menjawab, jangan nanti takut dimakan serigala. Hal ini diabadikan dalam QS Yusuf (12) ayat 13-17. Padahal kita tahu, bahwa serigala tidak makan orang/manusia. Tetapi saking cintanya, lahir ucapan ini dari Nabi Ya’qub, dan secara tidak sadar dia telah mengajarkan kepada anak-anaknya berbohong. Terbukti, ketika akhirnya Yusuf dijerumuskan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, dan ketika ayahnya menanyakan kemana Yusuf ? Anak-anaknya menjawab bahwa Yusuf telah dimakan oleh serigala.
Peristiwa Nabi Ya’qub ini menjadi pelajaran bagi kita, karena ada orang-orang yang saking cintanya kepada anak, maka mereka secara tidak sadar telah mengajarkan anaknya berbohong.
Ada pula orang tua yang mendidik anaknya menjadi minder. Sebagai contoh, ada orang yang mempunyai 2 anak yang tidak berbeda jauh umurnya. Ketika naik kereta, salah satu anaknya tidak dibelikan tiket karena nanti akan dipangku, namun yang satu lagi dibelikan tiket sehingga mendapat tempat duduk tersendiri. Secara tidak sadar, sang ayah telah mendidik dengan cara yang keliru yaitu dengan menanamkan rasa minder, rasa tidak berharga kepada anak yang tidak dibelikan tiket tersebut. Anak itu merasa dirinya tidak diberikan hak yang sama sebagaimana saudaranya padahal sebaya dengannya. Secara tidak langsung, sang anak tertanam rasa minder. Itu karena egoisme ayahnya.
Anak sejak kecil sudah mempunyai perasaan sehingga perlakuan orang tuanya dapat berpengaruh sampai dia dewasa. Sebagian besar dari kompleks-kompleks kejiwaan (rasa minder dsb) disebabkan adalah perlakuan orang tua atau lingkungan sekitarnya ketika orang tersebut masih kecil.
Itulah sebagian kewajiban-kewajiban ayah dalam mendidik anak disamping kewajiban utamanya adalah memberi nafkah kepada keluarganya.
Terkadang kita menuntut anak untuk dapat berbakti kepada orang tuanya namun kita sering lupa bahwa kita mempunyai kewajiban mendidik sang anak.
Pertanyaan :
1. Bagaimana dengan budaya patriarkat yang berkembang di masyarakat kita ? bagaimana agar peran ibu menjadi jelas begitu juga peran bapak menjadi jelas ?
Justru kita saat ini ingin meluruskan hal ini dimana bukan hanya kewajiban ibu saja mendidik anak namun juga menjadi kewajiban bapak. Ibu tetap memiliki tanggung jawab terhadap mendidik anak, seperti penyusuan terhadap anak. Sebenarnya ketika AlQuran berbicara tentang penyusuan maka diperintahkannya musyawarah antara ayah dan ibu. Perintah bermusyawarah dalam AlQuran ditemukan dalam urusan masyarakat dan juga urusan keluarga. Jadi pembagian kerja bapak ibu tidak sedemikian kaku. Harus ada kerjasama antara ibu dan bapak. Tidak ada salahnya pula, jika ibu boleh membantu ayah dalam mencari nafkah, asal telah ada musyawarah diantara keduanya.
2. Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh Ayah ? bagaimana menguranginya ?
Kekerasan dimanapun terjadi jika tidak ada komunikasi yang sehat sehingga tidak dicapai kesepakatan yang baik. Seorang anak harus pandai mengkomunikasikan kehendaknya kepada pihak lain. Kesulitan kita terkadang sering terjadi kalau tingkat pendidikan terlalu jauh, katakanlah ayahnya pintar ibunya tidak pintar. Karena itu, perkawinan diperlukan adanya equality (kesetaraan) supaya bisa berdiskusi/bermusyawarah. Kekerasan yang dilakukan ayahnya boleh jadi disebabkan ayahnya tidak pandai mengkomunikasikan manfaatnya tentang apa yang diinginkannya kepada ibu atau anaknya, begitu juga sebaliknya. Kekerasan harus kita hindari dengan cara semua permasalahan dimusyawarahkan dan dicarikan jalan keluar yang terbaik untuk semua.
Dan perlu dingatkan kembali, bahwa cinta itu bukan meleburkan kepribadian kita kepada orang lain. Cinta adalah hubungan dua ‘aku’. Ketika anda sudah memaksakan kehendak anda kepada orang lain, maka anda tidak mencintai dia. Ayah punya kepribadiannya, ibu mempunyai kepribadiannya sendiri pula begitu juga dengan anak, nah tinggal bagaimana ini bisa dikomunikasikan dengan baik.
Sekali lagi perlunya kesetaraan dalam perkawinan agar supaya bisa berdiskusi/bermusyawarah. Alangkah baiknya kalau budayanya sama sudah bisa mengurangi ketegangan. Semakin banyak perbedaan semakin besar peluang adanya ketegangan. Bisa dibayangkan jika prinsip hidupnya masing-masing pasangan sampai berbeda, agamanya berbeda, latar pendidikannya berbeda, budayanya berbeda, ini sulit untuk melakukan komunikasi yang sehat. Jangankan budayanya yang berbeda, hal-hal yang kecil seperti yang satu senang pedas yang lainnya tidak, bisa menimbulkan percekcokan. Jadi semakin dekat semakin baik.
3. Tadi disebutkan bahwa ‘isteri-isteri adalah sebagai ladang kita’, sedangkan ayah menjadi petani, yang berperan banyak menyemai sampai memelihara kembali ladang yang telah berbuah. Terlihat dominan sekali peranan ayah, lalu dimanakah letak kesetaraan tersebut ?
Kalau ladang saja, tanpa petani, tidak akan tumbuh tanaman. Anda punya jarum tidak punya bahan kain, tidak bisa jadi baju. Masing-masing memiliki keistimewaan dan masing-masing membutuhkannya. Jangan Anda anggap bahwa bisa terjadi kesempurnaan seorang pria tanpa wanita. Jangan Anda anggap bahwa wanita bisa sempurna tanpa ada pria. “Sebagian kamu dari sebagian yang lain”, maksudnya adalah sebagian kamu harus bekerjasama dengan sebagian yang lain. Disisi lain, jangan menganggap kuatnya cangkul dan lemahnya relatif tanah, menyebabkan penilaian tanah lebih rendah derajatnya dari cangkul yang kuat. Saya membutuhkan cangkul yang kuat karena saya ingin mendapatkan hasil buah yang baik. Jangan menganggap kuatnya lelaki lebih istimewa daripada lemah lembutnya wanita. Dua-duanya kita butuhkan, kerjasama ini yang kita butuhkan. Jadi tidak ada superioritas. Tidak bakal lahir buah tanpa adanya ladang atau petani saja.
Kesimpulan :1. Jangan beranggapan bahwa ayah lepas tangan dalam kewajiban mendidik anaknya. Ayah dan ibu bersama-sama berkewajiban mendidik anaknya.
2. Jangan memaksakan nilai-nilai yang dianut ayah terhadap anak, selama nilai-nilai yang ditawarkan sang anak (atau nilai-nilai global sekarang) tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal ajaran agama.
3. Jangan anggap kebaktian kepada ayah atau ibu, bertentangan dengan hak-hak kepribadian sang anak. Kehendak ibu dan ayah tidak boleh bertentangan dengan hak-hak anak. Karena itu, kalau seorang wanita dipaksa kawin oleh ayahnya padahal dia tidak setuju maka wanita itu tidak durhaka karena dia tidak mau. Jalan keluarnya adalah masing-masing punya hak veto.
0 komentar:
Posting Komentar