Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an yang semua ayatnya diterima secara mutawãtir. Dilihat dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an periwayatan semua ayat-ayatnya secara mutawătir,sedang hadis Nabi, sebagian periwayatannya secara mutawătir dan sebagian lagi secara ãhăd.Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qaţ’ī al-wur ūd dan sebagian lagi zannī al-wurūd[1], sehingga tidak diragukan lagi orisinalitasnya. Berbeda dengan hadis Nabi yang berkategori ãhăd, diperlukan penelitian terhadap orisinalitas dan otentisitas hadis-hadis tersebut. Untuk hadis-hadis yang periwayatannya secara mutawătir, setelah jelas kesahihannya, maka diperlukan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif terhadap hadis tersebut melalui beberapa kajian, di antaranya kajian linguistik,[2] kajian tematis komprehensif,[3] kajian konfirmatif[4] dan kajian-kajian lainnya dalam rangka pemahaman teks hadis tersebut.[5] Hadis dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Tekstual dan kontekstual adalah dua hal yang saling berseberangan, seharusnya pemilahannya seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan secara dikotomis, sehingga tidak semua hadis dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual. Di samping itu ada hal yang harus diperhatikan yang dikatakan Komaruddin Hidayat[6]bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya terdapat, sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar mendekati kebenaran mengenai gagasan yang disajikan oleh pengarangnya. Asbãbul wurūd hadis akan mengantarkan pada pemahaman hadis secara kontekstual, namun tidak semua hadis terdapat asbãbul wurūdnya. Pengetahuan akan konteks suatu hadis, tidak bisa menjamin adanya persamaan pemahaman pada setiap pemerhati hadis. Menurut Komaruddin Hidayat, hal ini disebabkan oleh keadaan hadis yang pada umumnya merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan sahabat. Oleh karena itu, menurutnya pemahaman ulama yang mengetahui sejarah hidup Rasul akan berbeda dengan yang tidak mengetahuinya.[7] Di samping itu muatan sejarah secara detail telah banyak tereduksi, sehingga dalam sejarah pun sering didapatkan perbedaan informasi. Permasalahan makna adalah konsekuensi logis dari adanya jarak yang begitu jauh antara pengarang, dalam hal ini Rasulullah dengan pembaca, yaitu umatnya, yang kemudian dihubungkan oleh sebuah teks yaitu hadis. Dengan terpisahnya teks dan pengarangnya serta dari situasi sosial yang melahirkannya maka implikasinya lebih jauh yaitu sebuah teks bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca. Di samping itu adanya jarak, perbedaan bahasa, tradisi dan cara berpikir antara teks dan pembaca, merupakan problematika tersendiri bagi penafsiran teks, karena bahasa dan muatannya tidak bisa dilepaskan dari kultural.[8] Menurut Dilthey, satu peristiwa itu, termasuk peristiwa munculnya teks, dapat dipahami dengan tiga proses; yaitu memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah dan menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.[9] Senada dengan pandangan Dilthey tersebut, Carl Braaten berpandangan bahwa berusaha memahami suatu teks berarti mencoba memahami horizon zaman yang berbeda untuk dipahami dan diwujudkan dalam situasi konteks masa kini.[10] Hadis yang disebut sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an telah mengalami perjalanan yang panjang, bukan hanya dalam kodifikasi dan penelitian validitasnya, tapi juga berkembang pada “pemaknaan” yang tepat untuk sebuah matan hadis yang dapat membumikan keuniversalan ajaran Islam. Pemaknaan hadis merupakan probematika yang rumit. Pemaknaan hadis dilakukan terhadap hadis yang telah jelas validitasnya minimal hadis-hadis yang dikategorikan bersanad hasan.[11] Dalam pemaknaan hadis diperlukan kejelasan apakah suatu hadis akan dimaknai dengan tekstual ataukah kontekstual. Pemahaman akan kandungan hadis apakah suatu hadis termasuk kategori temporal, lokal atau universal, serta apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapan saja atau mencakup mitra bicara kondisi sosial ketika teks itu muncul. Memahami hadis itu tidak “mudah” khususnya jika terdapat hadis-hadis yang saling bertentangan. Terhadap problem yang demikian, para ulama hadis menggunakan metode al-jam’u, al-tarjīh, al-nãsikh wa al-mansūkh, atau al-tawaqquf.[12] Dari berbagai problem-problem pemahaman hadis secara global tersebut, maka penulis meneliti dan mengkaji pemaknaan dan pemahaman yang tepat terhadap hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Identifikasi awal adalah apa makna salat dan bagaimana tata cara pelaksanaan salat menurut ketentuan syariat termasuk hal-hal yang dapat membatalkan salat menurut syariat. Para fuqaha memberikan pengertian shalat adalah “Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadat kepada Allah, menurut syarat-syarat yang ditentukan”.[13] Salat merupakan ritual ibadah bagi muslimin sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan ketakwaan kepada Ilahi Rabbi. Dalam salat itu terdapat aturan-aturan pelaksanaannya sesuai ketentuan syariat, di antaranya syarat sah salat, rukun-rukun salat dan hal-hal yang dapat membatalkan salat. Adapun syarat-syarat sah salat adalah mengetahui telah masuk waktu salat, suci dari hadas besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempat salat, menutup aurat dan menghadap kiblat.[14] Selain itu ada beberapa hal yang membatalkan salat, yakni makan, minum dengan sengaja, berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan salat, mengerjakan pekerjaan yang banyak dengan sengaja, meninggalkan (merusakkan) suatu rukun atau dan syarat dengan sengaja dan tak ada udzur.[15] Di sisi lain ada beberapa hadis yang menjelaskan bahwa salat dapat terputus karena melintasnya anjing, keledai dan wanita. Menurut al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfăz al-Hadīs al-Nabawī[16], hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita didapatkan dalam kitab sebagai berikut : Şahīh Bukhărī sebanyak 2 buah, Şahīh Muslim sebanyak 4 buah, Sunan al-Tirmiżīsebanyak 2 buah, Sunan Abū Dăwud sebanyak 3 buah, Sunan an-Nasă’ī sebanyak 2 buah dan Sunan Ibn Măjah sebanyak 5 buah, Sunan ad-Darimī sebanyak 1 buah dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbalsebanyak 15 buah. Sehingga jumlah keseluruhan hadis-hadis tentang terputusnya salat karena melintasnya anjing, keledai dan wanita dalam Kutub al-Tis’ah sebanyak 34 buah. Di antara bunyi redaksi hadis – hadis tersebut yang didapatkan dalam Şahīh Bukhărī adalah[17] : حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ ح قَالَ الْأَعْمَشُ وَحَدَّثَنِي مُسْلِمٌ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ ذُكِرَ عِنْدَهَا مَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ فَقَالَتْ شَبَّهْتُمُونَا بِالْحُمُرِ وَالْكِلَابِ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي عَلَى السَّرِيرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةً فَتَبْدُو لِيَ الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَجْلِسَ فَأُوذِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْسَلُّ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafs bin Ghiyãs berkata, telah menceritakan kepada kami Abi (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada kami al-A’masy berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahīm dari al-Aswãd dari ‘Āisyah: Disebut dekat ‘Āisyah beberapa hal yang dapat memutuskan salat adalah anjing, keledai dan wanita, jika melintas di hadapan orang yang salat, maka berkata ‘Āisyah: “Tuan-tuan samakan (wanita) dengan keledai dan anjing. Sesungguhnya saya lihat Nabi saw. salat dan aku berbaring di atas tempat tidur antara Nabi dan kiblat (di hadapan Nabi), kemudian ada bagiku suatu keperluan dan saya tidak suka duduk mengganggu Nabi saw., lalu aku turun dengan perlahan-lahan ke dekat kaki Nabi.” Adapun hadis yang dimuat Sunăn Ibn Măjah sebagai berikut[18] : حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ وَالْمَرْأَةُ الْحَائِضُ Artinya: Telah mewartakan kepada kami Abū Bakar bin Khallãd al-Bãhilī, telah mewartakan kepada kami Yahyã bin Sa’īd, telah mewartakan kepada kami Syu’bah, telah mewartakan kepada kami Qatãdah, dari Jãbir, dari Ibnu Abbãs, dari Nabi saw., beliau bersabda: Dapat memutuskan salat, yaitu anjing hitam dan wanita yang sudah balig-usia haid-. Dengan melihat hadis di atas, perlu kiranya menemukan pemaknaan yang tepat terhadap hadis tersebut. Problemnya adalah apakah melintasnya anjing, keledai dan wanita dapat memutuskan salat (membatalkan salat). Kedudukan hadis-hadis tersebut adalah hadīs hasan sahīh sehingga pemasalahan selanjutnya adalah memberikan pemaknaan yang tepat, proporsional dan representatif terhadap hadis tersebut. Apakah hadis yang sahih akan selalau representatif untuk dijadikan hujjah yang kemudian mampu diaplikasikan dalam realitas kekinian.اَقْوَالٌ وَاَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِمُخْتَتَمَة ٌبِالتَّسْلِيْمِ يَتَعَبَّدُ بِهَا بِشَرَائِطِ مَخْصُوْصَةٌ
Minggu, 25 Juli 2010
HADIS-HADIS TENTANG TERPUTUSNYA SALAT KARENA MELINTASNYA ANJING, KELEDAI DAN WANITA
Posted by Dini Ariani on 02.30
0 komentar:
Posting Komentar