Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian
rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar
permasalahan itu.
Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut
berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang
India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri
demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.
Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi
para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia
ada aliran yang bernama Mani’; dan di negeri-negeri lainnya
banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling
baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta
penggunaan akal.
Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu
terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing
dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya.
Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya
berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera
ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin
Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka,
sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta
meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw.
menegurnya dengan sabdanya:
“Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk
tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul),
dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya.”
Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada
istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar
biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, “Kami amat
jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh
Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang
belum dilakukannya.”
Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan
beribadat sepanjang malam.” Sedang yang lainnya mengatakan,
“Aku tidak akan menikah.” Kemudian hal itu sampai terdengar
oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah
saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau:
“Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan
makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu;
tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan
sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak
senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk
golonganku.”
Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang
berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu
luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati
setiap bagian dalam hidup ini.
Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya
terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan
terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah
dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya
negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan
masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang
dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan
Islam).
Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam
(perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak
lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka
hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.
Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi
kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan
sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan
iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari
kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti
jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan
As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang
menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.
Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak
orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa
mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam,
yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama
di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam
rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau
mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang
lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang
dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang
halus dijadikan sumber hukum mereka.
Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya
ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh
ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang
menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an;
dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan
mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang
menulis sebuah buku yang berjudul: “Madaarijus-Saalikin ilaa
Manaazilus-Saairiin,” yang artinya “Tangga bagi Perjalanan
Menuju ke Tempat Tujuan.” Dalam buku tersebut diterangkan
mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak,
sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail
Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat
Al-Fatihah, “Iyyaaka na’budu waiyyaaka nastaiin.”
Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca
yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.
Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya
dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan
hukum-hukum dari kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang
murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta
kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada
pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan
pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan
jiwa ke tingkat yang murni.
Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan
terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh
tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui
ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama
ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
0 komentar:
Posting Komentar