Kita semua sepakat bahwa semua agama memberikan kehormatan dan kebaktian kepada ibu. Tidak ada hal yang disepakati apapun agamanya melebihi kesepakatan mereka bahwa ibu harus dihormati. Salah satu ciri seseorang dinamai gentleman, adalah seseorang yang menghormati wanita, tentu terlebih lagi pada ibu. Kita juga sudah seringkali mendengar betapa Islam menempatkan kewajiban berbakti kepada ibu melebihi kewajiban berbakti terhadap ayah. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi, siapa yang paling wajar untuk mendapatkan kebaktian saya, dijawab Nabi 3 kali berturut-turut dengan kata-kata “ibumu”, kemudian “ibumu”, lalu “ibumu” baru kemudian dijawab “bapakmu” setelah ditanya untuk keempat kalinya.
Kewajiban anak terhadap ibunya tidak dapat membalas kebaikan ibu terhadap anaknya. Satu orang bersedia gendong ibunya sepanjang hidupnya belum bisa membalas satu tetes air susu ibunya yang diminumnya waktu kecil. Lantas saya (pak Quraish) bertanya, apa sekarang seorang ibu mau memberikan air susunya ?
Pernah ada seorang ayah dan ibu bertengkar menyangkut anaknya, siapa yang berhak terhadap anaknya. Sang bapak berpendapat, “Saya mengandung anak ini sebelum ibunya”, karena memang benihnya ada padanya. Dijawab oleh ibu, “betul kamu telah mengandungnya, tapi kamu mengandungnya ringan, tapi saya mengandungnya berat. Kamu melahirkan / mengeluarkannya dalam keadaan nikmat, saya melahirkannya dalam keadaan sakit”. “Saya”, kata ibu itu, “lebih wajar memiliki anak itu”.
Semua ini dikemukakan sebagai mukaddimah, karena pembicaraan tentang ibu selama ini tidak seimbang. Selama ini kita banyak menuntut hak, lupa kewajiban. Setiap hak ada kewajiban. Hak dan kewajiban itu dua sisi dari satu mata uang. Makin banyak hak anda maka sebanyak itu pula kewajiban anda. Jangan hanya tuntut hak anda pada orang lain, padahal anda melupakan kewajiban anda pada orang lain.
Kita sekarang berbicara kewajiban ibu terhadap anak. Ada satu ungkapan yang sangat menarik, “Anakmu bukanlah anakmu, lewat engkau mereka lahir tapi bukan dari engkau”. Anak adalah amanat Tuhan, mereka ada padamu tapi bukan milik ibu. Beri mereka kasih sayang tapi jangan paksakan anak dengan fikiranmu. Engkau boleh menyerupai dia tapi jangan paksa dia menyerupaimu. Katakanlah saya (pak Quraish) belajar agama karena memang bidang saya, tapi saya tidak bisa paksa anak-anak saya untuk menjadi kyai/ustadz seperti saya Seorang dokter jangan paksa anaknya menjadi dokter pula.
Buatlah anak bisa mencintai ibunya sebagaimana ibunya mencintai anaknya. Cinta adalah hubungan dua ‘aku’, hubungan dua pihak yang berbeda. Biarkan anak tumbuh sesuai dengan kepribadiannya.
Bagaimana lahirnya pertama kali cinta anak kepada ibu ? Itu terjadi saat ibu pertama kali menyusukan anaknya. Dia dengar detak detik jantung ibunya, bayi sudah bisa merasakannya dan itu hal yang luar biasa.
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 223 : ”Ibu-ibu kandung menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuan”. Ayat ini redaksinya tidak memerintahkan tapi berupa berita, tapi tujuan sebenarnya adalah perintah. Yang mana lebih keras tekanannya, perintah atau berita ?
Sebagai contoh ada sebuah perintah : “Hai anak, pergilah ke pasar”. Bisa jadi anaknya pergi, bisa pula tidak. Tapi jika dikatakan “Anakku pergi ke pasar”. Jika anaknya tidak pergi, maka ibunya itu telah berbohong. Maka penekanannya lebih kuat perintah yang diredaksikan seperti berita.
Karena itu sewaktu Tuhan memberitakan kepada kita dengan berkata “Ibu-ibu menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh”, seakan-akan Tuhan berkata “Jangan sampai Anda wahai ibu-ibu, tidak menyusukan anak-anakmu, karena itu berarti ibu telah berkata bahwa Aku (Tuhan) telah berbohong”. Kalau Tuhan sudah memberitakan tentang sesuatu peristiwa maka seakan-akan itu sudah terjadi, sehingga jika tidak terjadi maka Tuhan telah bohong. Maka kepada ibu-ibu berhati-hatilah jangan sampai tidak menyusui sang anak. Tapi kalau firman Tuhan berupa perintah, mungkin akan terjadi karena ada yang melaksanakan perintahNya, bisa pula tidak terjadi karena tidak ada yang melaksanakanNya. Maka lebih berat berita daripada perintah.
Di ayat lain, Tuhan berfirman QS. Al-Ahqaaf (46) ayat 15 :”Dikandung dan disapihnya dalam 30 bulan”. Kalau sang anak dikandung selama 9 bulan maka disusuinya seharusnya 21 bulan berikutnya.
Dengan demikian, begitu pentingnya ASI (Air Susu Ibu) bagi sang bayi. Kalau ibu tidak menyusukan anaknya, berarti ibu telah menyia-nyiakan anugerah Tuhan. ASI itu tersedia, tidak pake biaya untuk membuatnya, tidak repot-repot, namun sayang jika tidak digunakan. Ini namanya tidak mensyukuri nikmat Allah. Padahal bayi itu lebih sehat jika dia minum ASI. Walaupun pada prinsipnya, semua orang senang yang manis, tapi bayi akan berpaling ke bantal yang terkena air susu ibunya daripada ke bantal yang terkena susu formula walaupun itu lebih manis. Tuhan sudah ciptakan sedemikian rupa, sehingga ASI itu sesuai dengan perkembangan anaknya. Kalau anak itu lahir, ASI-nya pasti sesuai dengan kondisi bayinya. Minggu pertama usia bayi tersebut, ASIpun menyesuaikan usia sang bayi.
Wahai ibu-ibu, apakah mau dicintai anak ? Biarlah dia sejak kecil menyusu pada ibunya. Jangan sia-siakan ini. Anak yang menyusu pada ibunya itu lebih cepat berjalan daripada menyusu dari yang lain. Yang mana yang lebih disenangi, dan yang mana yang lebih dalam cintanya, apakah anak yang lahir melalui proses normal atau anak yang lahir dengan Caesar ? Tentu yang lahir normal, karena ada hubungan batin.
Jadi kita biasa nuntun anak kita agar mencintai kita, tapi kita tidak pandai mencintai mereka. Kita tidak tanamkan cinta kepada dia, sejak dia bayi, sejak dia kecil. Makin besar anak itu, kita punya kewajiban antara lain, dengan tidak membeda-bedakannya. Salah satu contoh, salah bila kita mengatakan “Ooo kamu anak perempuan, tidak usahlah berbuat ini itu” (yang padahal boleh jadi itu biasa dilakukan oleh anak perempuan di tempat yang lain, red).
Sedemikian dalam perhatian agama tentang kewajiban orang tua terhadap anaknya sampai-sampai wanita yang dicerai sedang dia dalam keadaan hamil, suaminya tetap berkewajiban memberi nafkah dan kalau sang isteri menuntut bayar kepada suaminya untuk menyusu anaknya, maka suami wajib memenuhinya walaupun ibu itu dikritik. Bermusyawarahlah, dan jika kalian saling berkeras dan ibu menuntut lebih dari kemampuan suaminya, maka ibu itulah yang perlu dikecam sehingga sampai ada yang lain yang mau menyusukan.
Jadi mengenai kewajiban ibu terhadap sang anak, kita melihat bahwa :
1. Pada saat kita menuntut penghormatan dan cinta dari anak kepada kita, kita lebih dulu harus memberikan penghormatan dan cinta kepada anak.
2. Anak harus berbakti kepada orang tua. Apa arti berbakti ? Apakah berbakti di luar batas kemampuan ? Apakah berbakti itu berarti mencabut hak-hak anak ? Tentu tidak. Tidak bisa ibunya meminta anaknya untuk menceraikan menantunya, suami/isteri anaknya, misalnya si ibu tidak menyukai pasangan anaknya. Anak tidak dikatakan durhaka jika tidak menuruti perintah ibunya. Kilah para ibu, “Saya kan berbuat demi cintaku pada anakku”. Padahal cinta itu hubungan dua “aku”. Jangan paksakan yang anda cintai menjadi seperti anda, dan harus memenuhi kehendak anda sehingga mengorbankan dia. Itu bukan bakti namanya bagi anak. Dan itu bukan cinta namanya bagi ibunya.
Memang tidak ada ibu dan bapak yang benci kepada anaknya, walaupun anaknya nakal. Karena itu disisi lain, betapapun salahnya ibu atau bapak, anaknya tidak boleh durhaka kepada orang tuanya. Betapapun ayah dan ibunya melanggar ajaran agama, dalam arti kafir, anak tetap patuh. Tetapi sisi lain, orang tua tidak boleh mengambil hak-hak anak.
Kalau begitu, jika ingin mendapatkan penghormatan dan pengabdian anak, tuntutlah apa yang mereka mampu lakukan, dan beri kebebasannya dalam batas-batas yang diberikan oleh agama. Al-Quran menyebut dalam QS. Al-Israa (17) ayat 23 : “Jangan berucap kepada salah seorang dari orang tua kamu, “uff, cis”, jangan membentak mereka dan temani mereka (-dalam kehidupan dunia selalu dengan baik walaupun mereka tidak beragama Islam-). Lanjut firman-Nya dalam QS. Al-Israa (17) ayat 25 : “Tuhan tahu apa yang ada dalam hati kamu”. Sekali-kali kita pernah tercetus dalam hati “ah bapak begini, ibu begitu”. Karena itu Tuhan tahu, dan jika tercetus seperti itu segera mohon ampun kepada Allah dan mohon maaflah kepada ibu bapak.
Ini baru seimbang dan agama mengajarkan keseimbangan, dingatkan kedua belah pihak kepada anak dan kepada orang tuanya. Kalau anaknya tidak dididik, pantas jika anaknya kurang ajar dan tidak ber-akhlaq.
Pertanyaan :
1. Bagaimana sikap seorang anak apabila ibunya yang tidak beriman menuntut anaknya untuk berbuat baik kepada kepadanya ?
Prinsip umumnya adalah seseorang tidak boleh taat kepada makhluk kalau ketaatan itu mengantar pada kedurhakaan kepada Tuhan. Untuk anak, terhadap perintah orang tua yang tidak mengantar kepada kedurhakaan kepada Tuhan maka hendaknya anak memenuhi ajakan kebaikan itu dan temani dia dengan baik walau dia kafir.
2. a. Apa maksudnya surga di bawah telapak kaki ibu ? Jadi ibu harus bagaimana terhadap anaknya?
b. Bagaimana dengan berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal ?
c. Bagaimana pula sikap kita terhadap ibu tiri ?
Surga dibawah telapak kaki ibu, adalah ilustrasi, yang berarti salah satu sarana untuk mengantar seseorang dapat masuk ke surga. Oleh karena itu ada hadits yang mengatakan “Rugilah orang yang masih hidup orang tuanya sedang dia tidak dapat masuk surga”. Karena orang tua adalah sarana terdekat untuk dapat masuk ke dalam surga. Ada diungkapkan pula, “Ridhanya Allah ada pada ridhanya orang tua”, tentu dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama (serta tidak melanggar hak-hak anak, red).
Berbakti kepada orang tua yang telah meninggal adalah dengan mendoakan mereka, memperhatikan teman-temannya. Ibu tiri walau tidak sepangkat ibu kandung, tetapi ibu tiri adalah isteri ayah, kita tetap mempunyai kewajiban untuk menghormati ayah, menghormati pilihan ayah.
3. Apakah berdosa sang suami, apabila menceraikan isterinya yang sedang hamil ?
Kita lihat dulu apa sebab perceraian itu. Tentu menjadi kurang bermoral, seorang yang hamil dicerai oleh suaminya. Seringkali kita harus membedakan sisi hukum dan sisi moral. Dari segi hukum, perceraian adalah sesuatu yang halal namun dibenci Tuhan, suami diizinkan menceraikan isteri kalau ada alasan yang dibenarkan agama. Jika sang isteri tidak punya salah apa-apa, kemudian suami menceraikannya maka suaminya berdosa. Jangankan yang sedang hamil, suami yang sewenang-wenang menceraikan isterinya tanpa alasan yang sah itupun bisa berdosa, karena telah menyia-nyiakan orang. Kita tidak bisa mengatakan suami berdosa atau tidak, karena harus diselidiki dulu kasus per kasus.
Kesimpulan :Ibu-ibu mempunyai hak dan kewajiban terhadap anaknya. Anakpun mempunyai hak dan kewajiban kepada ibunya. Bakti kepada ibu tidak berarti mencabut hak-hak pribadi anak. Bakti kepada orang tua adalah upaya sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan anak
0 komentar:
Posting Komentar