Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Minggu, 17 Oktober 2010

Biar Q dngan'Y. . .

“Tiara... Kamu sakit?” tanya Ilman cemas sambil menempelkan tangannya ke dahi Tiara. Tiara menggeleng pelan. Ia melepaskan tangan Ilman, lembut. Ditatapnya cowok yang telah menjadi pacarnya sejak sepuluh bulan yang lalu itu dengan tatapan kosong.


“Kalo nggak sakit, jadi kamu kenapa, Ra? Ada masalah?” tanya cowok berambut agak ikal dan berkulit kuning langsat ini. Jam di tangan Ilman menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Itu tandanya waktu istirahat pertama akan habis.

Tiara menghela napas dan menunduk. Membuat rambut sebahunya menutupi mukanya yang sendu. Tiara kembali menatap Ilman, kali ini dengan menggenggam tangan Ilman, “Man...” Ilman mengernyitkan keningnya, menunggu Tiara selesai berbicara.

Dengan tersenyum dan menggenggam erat tangan Ilman, Tiara kembali berkata lembut, “Ilman, suatu saat Tiara pasti bakal ceritain ke kamu. Tapi nggak sekarang. Kasih Tiara waktu ya, Man?” Walaupun bingung, Ilman hanya bisa mengangguk pelan.

***
Di kamar Tiara yang sejuk, ia tampak termenung memandangi layar laptopnya. Tiara benar-benar tidak fokus dengan layar laptopnya yang menampilkan window-window chat Yahoo! Messengernya. Ia kembali mengingat obrolannya dengan Mama tiga hari yang lalu.

“Ra... Kamu gimana dengan Ilman? Udah berapa lama?” tanya Mamanya ketika mereka lagi menonton TV.

Tiara yang lagi konsentrasi menonton TV, terkejut. Tidak biasanya Mamanya bertanya tentang hubungannya dengan Ilman.

“Mmm... Udah sepuluh bulan, Ma. Kenapa, Ma?”

“Nggak ada, Mama nanya aja. Dia bentar lagi tamat kan, Sayang?” tanya Mama lagi. Ilman memang seniornya Tiara di sekolah. Saat ini, Tiara kelas XI dan Ilman kelas XII.

“Iya, Ma. Dua minggu lagi,” jawab Tiara pelan. Tak dapat dibayangkan bagaimana hari-hari Tiara nanti bila Ilman sudah lulus dari SMA mereka.

“Rencananya dia mau kuliah dimana?”

“Mmm... Dia bilang sih, mau coba di UGM sama di UNPAD, Ma.”

“Ooh... Berarti dia kuliah di luar Sumatera ya, Sayang?”

“Iya, Ma. Memangnya kenapa sih, Ma?” Tiara benar-benar heran dengan pertanyaan ‘tak biasa’ dari Mama.

“Oh iya, Ra. Besok kamu ada acara nggak? Rencananya besok malam kita mau pergi makan ke Jatra,” tanya Mamanya tanpa memedulikan pertanyaan Tiara.

“Besok malam? Kosong kok, Ma. Tumben kita mau makan malam di hotel? Papa nginap disana lagi?” Papa Tiara bekerja di sebuah perusahaan minyak yang beroperasi di beberapa daerah. Papa

Tiara bekerja di Duri. Kadang-kadang bila ada acara, Papa Tiara diberi penginapan di Hotel Jatra.

“Nggak. Kebetulan ada teman lama Papa menginap disana. Dia yang mengajak kita sekeluarga makan malam bersama.”

Tiara mengangguk-angguk. Ia kembali berkonsentrasi menonton TV.Besok malam, mereka sekeluarga pergi menuju hotel Jatra. Sesampainya di hotel, Papa Tiara langsung menuju restorannya dan melihat temannya yang melambaikan tangan ke arahnya. Beliau langsung mengajak keluarganya untuk bergabung dengan teman lamanya tersebut.

“Pak Widodo! Wah, sudah lama kita tidak berjumpa! Apa kabar, Pak?” sapa teman lama Papa Tiara yang bernama Pak Suryana.

“Baik, Sur. Ngapain kamu manggil saya, ‘pak’. Kita ini teman lama, Sur. Jangan segan-segan," ucap Papa Tiara santai.

“Hahaha. Baiklah, Wid. Oh iya, silahkan duduk. Kenalkan, ini istri saya, Rasti dan ini anak saya, Dani,” Pak Suryana memperkenalkan keluarganya. Mereka pun saling berjabat tangan.

“Ayo Wid, Bu, Tiara, silahkan pesan makanannya. Tadi kami udah pesan juga tapi belum juga diantar-antar. Mungkin mereka mengejar ayamnya dulu baru dikuliti terus dimasak. Hahahaha.” ucap Pak Suryana yang berusaha melucu untuk mencairkan suasana yang terkesan formal tersebut.

Keluarga Widodo hanya tersenyum mendengar ucapan garing tersebut.

“Jadi, Tiara sekarang kelas XI ya? Berarti bentar lagi mau lulus dong,” kata Pak Suryana selagi mereka makan.

“Masih lama, Om. Satu tahun lagi.” kata Tiara sopan.

“Oh iya, Dani udah dapat kerja belum?” gantian Pak Widodo bertanya pada anak laki-laki Pak Suryana.

“Alhamdulillah, udah, Om. Dani diterima di Conoco Phillips Jakarta,” jawab Dani sopan.

“Wah, hebat kamu ya.” puji Mama Tiara.

Cowok berumur 22 tahun ini hanya tersenyum menanggapi pujian Mama Tiara. Mereka kembali diam sampai acara makan malam selesai.

“Oh iya, Wid, bagaimana dengan rencana itu?” tanya Pak Suryana sambil mengambil sepotong buah pir.

“Astaghfirullah. Aku sampai lupa, Sur. Untung kamu ingatkan,” pandangan Pak Widodo beralih ke Mama Tiara seakan memberi kode. Mama Tiara langsung menangkap pesan tersirat tersebut dan menghadapkan pandangannya kepada Tiara.

“Tiara... Mama mau minta tolong sama kamu, tolong belikan buah di Lucky. Kamu mau kan, Sayang? Ditemenin sama Dani kok,” ucap Mama Tiara lembut.

Tiara diam sebentar sambil melirik ke arah Dani. Dani yang merasa sedang diminta persetujuannya, hanya mengangguk kecil.

“Iya deh, Ma.” setelah diberikan uangnya, Tiara dan Dani segera keluar menuju Mall Pekanbaru yang berdempetan dengan hotel Jatra, tempat supermarket tersebut berada.

Sepanjang jalan, Tiara dan Dani hanya diam. Sampai Dani berusaha mengajak ngobrol Tiara.

“Tiara, kamu sekolah dimana?” tanya Dani.

“Di SMA Cendana. Kamu kuliah dimana?” tanya Tiara pula.

“Hah? Kuliah?? Aku kan udah kerja. Kamu lupa ya?”

“Ha? Oh iya, ya. Hehehe, Tiara lupa,” ucapnya dengan muka polos, lalu ia melanjutkan, “Oh iya, Tiara manggilnya apa nih? Bang Dani?”

“Mmm ... Jangan abang deh. Aa’ aja gimana? Hehehe.”

“Hah?? Aa’?? Tiara nggak biasa manggil orang aa’,” ucap Tiara sambil menatap Dani dengan wajah polos.

“Terserah kamu deh, asal jangan abang aja,” kata Dani sambil tersenyum. Tubuhnya yang tinggi berkacamata ditambah memakai kemeja warna abu-abu metalik membuatnya kelihatan berwibawa. Apalagi dengan rambut jabriknya. Membuat cewek-cewek di sekeliling mereka menatap Dani dengan terpesona.

“Yaudah, Tiara panggil kakak aja ya. Hehehe,” Tiara lalu mengalihkan pandangannya ke keranjang jeruk. Ia mulai sibuk memilih-milih jeruk yang bagus. Dani ikut membantu Tiara memilih jeruk.

Setelah selesai memilih jeruk dan membayarnya, mereka segera kembali ke hotel. Kali ini, tidak dengan berdiam lagi. Mereka sudah mulai mencoba untuk mengobrol.

***
Tiara menghela napas. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orangtuanya bermaksud menjodohkan dia dengan Dani.

Laptop Tiara sudah menampilkan screensaver. Artinya sudah satu jam lebih Tiara termenung tak bergerak mengingat kejadian tiga hari lalu tersebut. Ia benar-benar bingung bagaimana menceritakannya kepada Ilman. Dan bagaimana caranya menolak perjodohan tersebut. Perkataan Mama itu benar-benar selalu terngiang di telinga Tiara. Membuatnya tidak bisa fokus pada satu hal.

Tiba-tiba Mamanya masuk ke kamar Tiara. Beliau segera menghampiri Tiara ketika melihat anaknya tersebut seperti diam tak bernafas.

“Tiara... Kamu kenapa? Masih memikirkan perjodohan itu?”

Tiara tetap diam.

“Sayang... Kamu kenapa?”

Tiara menolehkan kepalanya menghadap ke arah Mama. Dengan mata berkaca-kaca, ia memohon, “Ma... Tiara sayang sama Ilman. Tiara nggak bisa ninggalin Ilman begitu aja. Apa Mama lupa kalo Ilman yang selama ini buat hidup Tiara lebih bahagia? Apa Mama lupa sebelum Tiara jadian dengan Ilman, hidup Tiara benar-benar kosong? Ma... Mama sendiri yang bilang kalo Ilman anak baik. Tapi kenapa sekarang Mama berubah pikiran? Kenapa Mama menjodohkan Tiara sama Dani? Ma... Tiara mohon ... Jangan pisahkan Tiara sama Ilman. Tiara sayang dia, Ma...,”

Mama Tiara terdiam, beliau bisa merasakan kesedihan anaknya itu.

“Ma... Lagian umur Tiara sama Kak Dani kan beda jauh, Ma...” protes Tiara.

“Tiara... Kamu tau, Mama sama Papa ingin yang terbaik buat kamu. Bukannya Mama menganggap Ilman itu nggak baik buat kamu, Mama senang kok sama Ilman. Tapi Mama nggak terlalu kenal sama dia kan, Sayang? Sedangkan Dani itu sudah Mama kenal dengan baik. Begitu juga orangtuanya. Mama lebih tenang kalo kamu sama dia. Perbedaan umur kamu sama dia nggak terlalu jauh, Sayang. Lebih baik kalo dia lebih tua beberapa tahun dari kamu. Biar bisa membimbing kamu nanti.”

Mama Tiara mengelus rambut anaknya penuh kasih sayang, “Tiara... Dani itu baik buat kamu. Rencana perjodohan ini sudah lama dibicarakan, Sayang. Jauh sebelum kamu jadian sama Ilman.”

“Ma, kalo Mama memang setuju dengan perjodohan ini sejak lama, kenapa Mama nggak melarang Tiara pacaran dengan Ilman? Kalau Mama melarang Tiara pacaran dengan dia, pasti Tiara nggak bakalan sedih kayak gini, Ma...,”

“Sayang... Apa Mama tega membiarkan kamu kembali ke hidup kamu yang kosong? Mama senang sekali melihat kamu bahagia ketika kamu cerita tentang Ilman, Nak. Mama tidak tega menceritakan hal ini ke kamu...,”

“Ma... Tapi sekarang Mama lebih menyakiti Tiara. Tiara nggak bisa pisah dari Ilman, Ma. Ilman udah baik banget sama Tiara...,” ucap Tiara sambil menangis. Mama pun merangkul anaknya, berusaha menenangkan Tiara.

“Tiara... Kamu pasti bisa menjalani ini semua. Kamu udah bicarakan ini ke Ilman?”

Tiara menatap Mamanya sambil menggelengkan kepala, “Belum, Ma. Tiara nggak tega.”
***

“Hai, Ra! Tau nggak, aku bawa apa buat kamu?” tanya Ilman ketika ia menghampiri Tiara yang lagi duduk bersama teman-temannya di depan kelas Bahasa Inggris 2. Ia langsung duduk disamping Tiara sambil menyembunyikan tangannya di belakang. Tiara yang awalnya kaget dengan kedatangan mendadak Ilman, langsung menatap Ilman tersenyum. Teman-teman Tiara langsung sibuk berbatuk-batuk ria. Setelah itu mereka langsung pada tahu diri, segera menyingkir agar Ilman dan Tiara bisa berduaan.

Sambil tersenyum, Tiara bertanya pada Ilman, “Apaan, Man?” Dengan sumringah, Ilman menyodorkan aqua botol kecil, dua buah pir hijau kesukaan Tiara dan panadol. Tiara heran, kok aneh-aneh gini bawaannya?

“Ilman, buat apa ini semua?” tanyanya.

“Kemarin kan aku liat kamu kayaknya sakit, yaudah aku bawain panadol. Mana tau kamu butuh hari ini. Trus, pir ini biar kamu nggak sakit lagi kayak kemaren. Biar kamu mau makan. Kan buah favorit kamu. Hehehe,” ucapnya polos. Padahal udah jadi anak kelas XII dan bentar lagi lulus, tapi kadang tingkahnya masih seperti anak kecil.

“Kalo Tiara sakit kan, bisa ke UKS. Kamu nggak perlu repot-repot bawain obat,” ucap Tiara sambil tersenyum geli melihat tingkah Ilman.

“Mmm ... Sebenarnya sih obatnya aku ambil di UKS, Ra...,” ucap Ilman sambil menggaruk-garuk kepalanya, malu. Ia melanjutkan ucapannya dengan penuh semangat, “Penuh perjuangan loh, Ra, buat dapatin nih obat. Aku sampai harus mohon-mohon sama anak kelas XI. Untung aja aku kelas XII, jadi dia agak takut sama aku. Makanya akhirnya dia mau ngasihin. Walopun diwanti-wanti sama dia agar nggak ketahuan sama yang lain. Kan nggak boleh minta obat kalo nggak ada yang sakit. Hehehe...,”

“Kalo pir kamu dapat darimana?”

“Mmm... Kalo pir sih, kebetulan mama aku beli ini kemarin. Ya aku ambil aja dua buah. Aku udah minta izin kok, Ra, sama Mama buat bawain kamu pir. Mama malah bilang biar kamu cepat sembuh, hehehe. Kamu makan ya, Sayang? Aku nggak tega ngeliat kamu nggak semangat gini. Ya?”

Tiara diam menatap Ilman. Bagaimana bisa Tiara melepas Ilman kalo dia sebaik ini sama Tiara?

“Iya, nanti Tiara makan. Mmm ... Ilman, kita ke tribun yuk? Ada yang mau Tiara omongin ke kamu,” ajak Tiara sambil menggandeng tangan Ilman.

Di tribun, sambil memakan pir hijau, Tiara berpikir bagaimana cara membicarakan masalah ini ke Ilman.

“Mmm ... Katanya tadi ada yang mau kamu omongin? Kok jadi diem aja, Ra?” tanya Ilman sambil menatap cewek berambut sebahu tersebut.

“Tiara bingung gimana bicarain ini ke kamu.”

“Kamu... Kamu nggak minta putus kan, Ra?” tanya Ilman dengan muka tegang. Ia benar-benar takut kehilangan Tiara.

Spontan, Tiara langsung menoleh ke Ilman.

“Kayaknya lebih buruk daripada putus, Man. Tiara benar-benar bingung mau mulai darimana.” Mata Tiara mulai berkaca-kaca.

Ilman menghela napas. Ia menggenggam erat tangan Tiara, seolah ingin menguatkan cewek tersebut, “Ngomong aja, Ra. Daripada kamu pendam terus. Kan kasian kamunya, Sayang...,” Tiba-tiba saja airmata Tiara merebak. Ia mulai menangis tersedu-sedu.

“Ra, Tiara. Duuuh, jangan nangis dulu, Sayang. Duuh, kamu kayak nggak tau kalo aku paling gelisah ngadepin cewek nangis. Tiara... Udahan ya nangisnya. Kamu pasti bisa nyelesaiin ini kok, Sayang. Kamu pasti kuat, Ra...,” Ilman menggenggam erat tangan Tiara. Tidak mungkin ia memeluk Tiara disini, disekolahnya.

“Gimana Tiara bisa kuat ngadepinnya kalo Tiara dijodohin sama cowok lain, Man?? Gimana Tiara bisa kuat kalo kamu harus jauh dari Tiara??” Tiara menatap Ilman dengan wajah sendu. Airmatanya masih terus keluar.

Ucapan Tiara barusan membuat Ilman tersentak. Perkataan ceweknya itu seperti gelombang air laut yang sangat besar menghempaskan badannya. Terasa sakit, terasa pedih. Ia tak menyangka itu masalahnya.

Genggaman Ilman yang awalnya melonggar mendengar berita tersebut, kembali menguat lagi. Ia berusaha melihat wajah Tiara yang terus menunduk. Dengan suara pelan, Ilman berkata, “Pasti ada jalan keluarnya, Ra. Pasti.”

***
“Tiara udah cerita ke Ilman, Ma,” ucap Tiara ketika mereka berdua lagi makan malam. Papa Tiara sedang dinas keluar kota.

“Tanggapan dia apa, Sayang?”

“Dia kaget, Ma. Tiara nggak tega ngeliat wajahnya waktu Tiara mengatakan hal itu.”

“Ra... Seandainya Mama bisa menolak perjodohan itu, pasti Mama sudah melakukannya dari dulu. Tapi, Ra, kamu tau kalau Papa kamu itu tidak bisa ditentang. Sekali iya, ya iya. Kamu harus nurut dengan orangtua, Ra. Mama yakin, kamu juga bakal bahagia sama Dani, Ra. Dia baik untuk kamu, dia juga udah punya masa depan yang bagus, Sayang. Kamu harus percaya sama Mama...,”

“Ma... Tiara nggak bisa ngelepasin Ilman. Tiara sayang dia, Ma. Tiara nggak mau dijodohin!”

“Tiara... Mama nggak bisa bantuin kamu. Papa itu sangat susah untuk ditentang. Kamu harus nurut, Ra. Pilihan orangtua kamu itu yang terbaik buat kamu, Sayang. Mama sama Papa tidak mungkin tega menjodohkan kamu dengan orang yang tidak baik. Walaupun kamu tidak pacaran lagi dengan Ilman, kamu masih bisa berteman dengan dia kan, Sayang? Tiara... Ini pilihan terbaik buat kamu, Nak...,”

Tiara kembali terdiam.

***

Sudah berkali-kali Tiara berusaha membicarakan masalah ini pada Papanya. Dan sudah berkali-kali pula Papanya menjawab, “Perjodohan ini tetap berlanjut, Tiara. Dani baik buat kamu.” Tiara benar-benar nggak tahu harus melakukan apa lagi. Ia sudah pasrah dengan takdir. Biarlah takdir yang menentukan jalannya. Mungkin ia memang tidak berjodoh dengan Ilman. Dan mungkin memang udah takdirnya ia harus bersama Dani walaupun ... terpaksa.

“Bentar lagi kamu UAN, Man.” ucap Tiara ketika mereka lagi duduk berdua di depan kelas Matematika 3.

Ilman yang lagi sibuk memakan tempenya menatap Tiara dengan wajah polos, “Ya trus kenapa, Ra?”

“Kamu harus belajar, Man. Kamu harus fokus sama UAN. Kamu harus fokus sama UAS, sama tes universitas. Biar kamu dapatin cita-cita kamu, Sayang...,” kata Tiara gemas melihat sikap Ilman yang santai.

“Oooh... Iya, ntar deh tuh.” ucapnya cuek. Ia kembali memakan tempe keduanya.

“Ilmaaan. Kamu kok cuek gitu? Apa kamu mau nggak lulus nanti?” tanya Tiara sambil mencoba memperhatikan wajah Ilman yang hanya fokus dengan tempenya.

Ilman menyelesaikan makannya, ia menatap Tiara.

“Nggak papa kalo aku nggak lulus. Yang penting aku masih ada disini sama kamu.” ucapnya menatap tajam pada Tiara lalu melanjutkan makannya.

“Kok kamu gitu, Man? Kamu harus fokus buat lulus! Tiara nggak mau liat kamu nggak lulus!”

“DAN AKU LEBIH NGGAK MAU NGELIAT KAMU DIJODOHIN SAMA COWOK LAIN, RA!” teriak Ilman sambil pergi meninggalkan Tiara.

Tiara menahan tangan Ilman. Ilman menoleh ke arah Tiara, menatap cewek yang berusaha menahan tangisnya. Ilman menjadi tidak tega melihat wajah Tiara yang sangat disayanginya itu. Ia kembali duduk, berusaha menahan emosinya.

“Ilman... Tiara juga nggak mau dijodohin kayak gini. Tiara udah berusaha ngomong sama Papa tentang masalah ini. Tapi Papa selalu teguh pada pendiriannya. Apalagi yang bisa Tiara lakukan buat menentangnya, Man?”

“Ra... Aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kamu jadi milik orang lain. Sudah beberapa hari ini aku memikirkan masalah ini. Aku nggak siap kehilangan kamu, Sayang. Aku nggak tau gimana caranya lagi buat menyelesaikan masalah ini kecuali kalau aku selalu ada disisi kamu, Ra. Aku rela kuliah disini biar aku ada disisi kamu terus. Biar kamu nggak dijodohin.”

Tiara diam. Ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Berusaha mendapatkan solusi yang terbaik. Tapi ia merasa buntu. Sampai akhirnya ia memutuskan pilihan yang terbaik untuk semuanya.

“Ilmaaan.. Kalo... Kalo kamu memang sayang sama Tiara, kamu... kamu harus relain Tiara pergi, Man,” ucap Tiara dengan suara tercekat.

Ilman menatap ceweknya itu dengan muka tanpa ekspresi, “Ra... Aku nggak mau ngelepasin kamu...,”

“Tapi, Man, cuma itu satu-satunya cara. Sebentar lagi kamu lulus dan kita nggak bakal ketemu lagi, Man. Kamu pasti bisa cepat ngelupain Tiara. Tiara tau ini berat buat kamu, Man. Buat kita jalani. Tapi Tiara bener-bener nggak tau apalagi yang harus Tiara bilang ke Papa biar Papa percaya sama kamu,” pinta Tiara sambil menggenggam erat tangan Ilman.

“Nggak, Ra! Aku nggak mau relain kamu pergi! Nggak akan pernah!” ucap Ilman tegas.

“Ilmaaan... Kamu ngertiin posisi Tiara ya? Tiara nggak bisa membantah Papa. Tiara yakin, pasti bakal ada Tiara-Tiara yang lain nanti di hati kamu. Tiara juga nggak siap pisah sama kamu. Tapi apalagi yang bisa Tiara lakuin, Man? Udah nggak ada lagi...,” Ilman diam.

“Ilman... Kalo kamu benar-benar sayang sama Tiara, kamu pasti bisa ngerelain Tiara. Tiara juga nggak mau ngeliat kamu sedih kalo kamu masih nggak relain Tiara. Tiara juga nggak bakalan bisa tenang, Man...,” pinta Tiara memelas.

“Apa sih alasan orangtua kamu menjodohkan kamu sama cowok itu?” tanya Ilman kesal.

“Bagi mereka, dia yang terbaik untuk Tiara, Man. Salah satu alasan Tiara menyuruh kamu belajar, karena itu, Man. Karena bagi mereka, Dani mempunyai masa depan yang lebih bagus. Makanya Tiara nyuruh kamu buat fokus belajar, Man. Karena Tiara pengen buktiin ke orangtua Tiara kalo kamu nggak kalah hebat dari Dani. Mungkin suatu saat Papa bisa luluh dengan keberhasilan kamu, Man. Kamu pasti bisa, Man. Kamu pasti bisa jalanin ini semua... tanpa Tiara,” kata Tiara pelan.

“Aku sayang banget sama kamu, Ra. Kamu tuh satu-satunya mutiaraku di dunia ini. Nggak bakal ada mutiara-mutiara lain di hati aku nanti,” Ilman masih nggak merelakan Tiara. Ia berusaha untuk tetap mempertahankan Tiara.

“Ilman... Tiara mohon pengertian dari kamu. Kita pasti bisa jalanin ini sendiri-sendiri. Biarkan aku dengannya ya, Man?” pinta Tiara lembut. Suaranya bergetar mengucapkan kalimat tersebut. Ia tahu, hati Ilman pasti sakit mendengar kalimatnya. Tapi Tiara benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Ilman bergeming. Tangannya terkepal. Ia ingin bisa membantu Tiara menolak perjodohan itu. Tapi orangtua Tiara memang benar, ia belum mempunyai rencana untuk masa depannya sendiri. Apa yang bisa ia jamin ke orangtua Tiara kalau ia sendiri belum punya rencana masa depan? Orangtua Tiara tidak mungkin mau merelakan anaknya ke orang yang tidak mempunyai masa depan jelas walaupun orang tersebut sangat mencintai Tiara.

Tiara memegang pipi Ilman, berusaha menghadapkan wajah Ilman ke wajah Tiara, “Kamu pasti bisa, Man. Kamu cowok Tiara yang kuat. Yang bisa ngadepin semua masalah dengan tersenyum. Kamu yang ngajarin Tiara buat menghadapi semua masalah dengan senyuman. Kamu yang selalu semangatin Tiara buat bangkit lagi. Kamu yang selalu bilang, ‘fighting, Tiara!’. Mana omongan kamu itu, Man? Kamu harus bisa mengatakan pada diri kamu sendiri seperti itu. Jangan pernah merubah pandanganku tentang kamu, Ilman. Kamu cowok kuat. Ya, Man?”

Ilman tersenyum pedih, “Aku akan coba, Ra. Aku ngerelain kamu sama dia. Seenggaknya, kita masih bisa berteman.”

Tiara ikut tersenyum pedih, airmatanya kembali keluar, “Makasih ya, Sayang. Makasih udah ngertiin Tiara. Makasih atas semua kenangan yang udah kamu berikan ke Tiara. Makasih udah selalu semangatin Tiara. Makasih udah mau sayang sama Tiara. Tiara nggak akan pernah lupa sama kamu. Kamu bakal selalu ada dihati Tiara. Karena kamu satu-satunya orang yang nggak pernah nyerah buat semangatin Tiara. Nggak pernah nyerah buat ngelepasin Tiara dari hidup Tiara yang datar. Cuma kamu yang bisa buat hidup Tiara selalu optimis, Sayang. Makasiiih... Makasih udah selalu ada disamping Tiara ya, Sayang. Tiara sayang banget sama kamu. Sekarang Tiara bisa sedikit lebih tenang ngadepin ini semua.”

Muka Tiara memerah, jelas sekali ia menahan tangis. Jelas sekali ia sama sekali tidak rela berpisah dari Ilman.

Ilman mencoba tersenyum, ia tidak ingin melihat tangis Tiara. Baginya, melihat Tiara menangis semakin membuat hatinya sakit. Ia seakan bisa merasakan kepedihan yang dirasakan Tiara.

“Tiara... Kamu jangan nangis ya, Sayang. Kita putus bukan berarti kita juga harus putus komunikasi. Kamu tetap bisa nelpon aku, kita tetap bisa ketemu kan, Ra. Aku nggak bakalan pernah benar-benar ninggalin kamu, Sayang. Aku akan tetap selalu menjaga kamu. Untuk buat kamu tersenyum. Dan... aku akan berusaha mewujudkan keinginan kamu buat belajar dengan rajin. Kalo kamu nggak semangat, gimana aku juga bisa semangat, Ra? Percayalah, Ra, aku bakal tetap baik-baik aja,” ucap Ilman berusaha memberikan senyuman terbaiknya.

“Makasih, Man. Makasih banget kamu udah sangat pengertian sama Tiara walaupun semua ini nggak adil buat kamu,” seketika itu juga setetes air mata Tiara jatuh. Ia benar-benar tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Wajah Ilman memerah. Ia juga tidak bisa menahan tangis. Tapi ia tidak ingin menangis di depan Tiara. Itu akan membuat Tiara semakin merasa bersalah dengan keputusan yang diambilnya sendiri. Ilman mencoba menyeka airmata Tiara. Setelah itu ia mengacak-acak rambut Tiara dengan senyuman pedih. Ditatapnya wajah Tiara sepuas mungkin sebelum ia menarik kepala Tiara ke dadanya. Diletakkannya dagunya di atas kepala Tiara. Ia berusaha menerima kenyataan terpahit dalam hidupnya. Berusaha melalui detik-detik terakhirnya di sekolah dengan tersenyum. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Agar Tiara tidak merasa terbebani lagi. Agar Tiara lebih merasa tenang melihatnya tersenyum. Ilman juga tidak ingin melihatnya sedih. Hanya satu yang Ilman inginkan sekarang, senyuman Tiara yang hilang semenjak masalah ini. Walaupun semua ini terasa tak adil bagi Ilman, tapi takdir telah menentukan jalannya sendiri. Kini ia harus berusaha bangkit sendiri tanpa ada Tiara lagi disisinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design