Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Jumat, 15 Oktober 2010

Bolehkah Wanita Haidh Masuk Ke Mesjid??

Pertanyaan:

Bagaimana hukumnya wanita yang sedang haidh masuk masjid untuk suatu keperluan, misalnya mengikuti taklim? Sementara ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam bersabda:

“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid kepada wanita yang haidh dan orang yang junub.”

‘Athiyyah, Purwokerto

Jawab :

Dalam permasalahan ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang berpendapat tidak boleh. Kata Imam Asy Syaukani: “Zaid bin Tsabit berpendapat boleh bagi wanita haidh masuk ke dalam masjid kecuali bila dikhawatirkan darahnya menajisi masjid. Al Imam Al Khaththabi menghikayatkan kebolehan ini dari Malik, Asy Syafi`i, Ahmad dan Ahlu dzahir. Sedangkan yang berpendapat tidak boleh adalah Sufyan dan Ashabur Ra’yi, dan pendapat ini yang masyhur dari madzhabnya Al Imam Malik.” (Nailul Authar, 1/320).

Namun yang kuat dari pendapat yang ada, wallahu ta‘ala a‘lam bisshawwab, wanita haidh dibolehkan masuk masjid. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab beliau Al Muhalla (2/184-187), karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan akan hal ini, sementara Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalamtelah bersabda :

Sesungguhnya orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Al Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)

Di masa hidupnya Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalam ada seorang wanita hitam bekas budak yang biasa membersihkan masjid Nabi dan ia memiliki tenda di dalam masjid. Sebagai seorang wanita tentunya ia mengalami haidh namun tidak didapatkan adanya perintah Rasulullah Shalallahu a’laihi wassalamagar dia keluar dari masjid ketika masa haidhnya. (Haditsnya disebutkan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya no. 439).

Sementara hadits yang anda tanyakan adalah hadits yang dha’if (lemah), dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm sisi kelemahan hadits ini, sebagaimana dalam Al Muhalla. Demikian pula Asy Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (118-119).

Batasan kufu dalam pernikahan

Apakah batasan kufu dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan ?

Dianwati

ummuyusuf@myquran.com

Jawab :

Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Beliau t berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya :

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)

Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)

“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)

Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)

Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam:

Tidak ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah”.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun”.

Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.

Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).

Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul Ma‘ad, 4/22) .

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design