Tiga hari berturut-turut aku shalat istikharah. Yang terbayang adalah wajah ibu yang semakin menua. Sudah tujuh tahun lebih aku tidak berjumpa dengannya. Oh ibu, jika engkau adalah matahari, aku tak ingin datang malam hari. Jika engkau adalah embun, aku ingin selalu pagi hari. Ibu, durhakalah aku, jika ditelapak kakimu tidak aku temui sorga itu.87
Maka kuputuskan untuk minta persetujuan ibu. Ibu adalah segalanya bagiku. Jika beliau meridhai maka aku akan melangkah maju. Jika tidak maka aku pun tidak.
87 Dari penggambungan dua petikan sajak Fatin Hamama berjudul ‘Aku ingin ibu’ dan ‘Ibu (3)’ yang terdapat dalam kumpulan puisinya “Papyrus”.
Aku telpon ke Indonesia. Ayah dan ibu tinggal jauh di desa. Tak ada telpon di sana. Aku menelpon ke rumah Pak Zainuri, mertua paman yang penilik sekolah dan tinggal di kota kecamatan. Rumah paman tak jauh dari beliau. Selama ini, jika aku ingin menghubungi ayah dan ibu caranya memang lewat Pak Zainuri dulu. Pak Zainuri akan menghubungi paman dan paman akan menghubungi ayah ibu. Kalau aku mengirim surat pun aku lebih suka mengalamatkannya ke rumah Pak Zainuri lebih cepat sampainya. Sebab jika dialamatkan ke desa, suratku bisa bertapa dulu di balai desa, atau di rumah Pak RW dalam waktu tak tentu. Masalah transportasi dan komunikasi global memang agak susah jika hidup di desa.
Kepada paman aku jelaskan semuanya. Siapa Syaikh Utsman dan apa yang beliau tawarkan kepada diriku. Paman adalah orang yang wawasannya luas, ia guru SMP teladan se kabupaten. Paman banyak bertanya tentang seandainya benar-benar menikah dengan muslimah yang bukan dari Indonesia. Aku jelaskan, jika dia gadis yang shalihah semuanya akan mudah. Aku jelaskan pada paman, tidak semua orang mendapatkan tawaran sedemikian terhormatnya dari Syaikh Utsman. Di Indonesia, kalau mendapatkan tawaran untuk menikah dengan anak seorang kiai mushalla saja dianggap suatu keberuntungan yang luar biasa. Juga kujelaskan hasil istikharahku. Aku minta pada paman agar mengajak musyawarah ayah dan ibu. Disamping itu aku juga minta ayah ibu juga melakukan shalat istikharah. Apa pun hasilnya itulah keputusan yang akan aku ambil. Dua hari lagi pada jam yang sama aku akan menelpon menanyakan hasilnya. Dan aku ingin langsung mendengar dari lisan ibu.
Dua hari kemudian. Pada waktu yang dijanjikan aku menelpon ke tanah air. Aku mendengar suara ibu,
“Jika isterimu nanti mau diajak hidup di Indonesia, tidak terlalu jauh dari ibu, maka menikahlah dan ibu merestui, ibu yakin akan penuh berkah. Tapi jika tidak bisa dibawa ke Indonesia tidak usah, cari saja gadis shalihah yang dari Indonesia!”
Air mataku meleleh mendengar keputusan ibu. Sebuah keputusan yang sangat bijaksana. Aku memang tidak mungkin hidup dan berjuang selain di tanah air tercinta. Hari itu juga aku menemui Syaikh Utsman dan memberitahukan keputusanku. Beliau berpesan agar hari berikutnya datang ke tempat beliau lagi, untuk mengetahui kabar selanjutnya. Hari berikutnya aku datang. Syaikh Utsman menyambutku dengan senyum dan pelukan penuh kehangatan. Aku seperti seorang cucu yang beliau sayangi.
“Semoga gadis shalihah ini menjadi rizkimu di dunia dan di akhirat. Dia siap kau bawa berjuang di mana saja dan walinya menyetujuinya. Ini ada dua album foto dia, kau bawalah pulang! Kau lihat-lihat. Kau istikharah lagi. Jika kau mantap kau akan aku pertemukan dengan gadis shalihah ini dan walinya.”
Aku pulang dengan membawa dua album foto yang kumasukkan dalam tas cangklongku. Aku merasa seperti memikul beban satu ton. Tas cangklong itu terasa berat sekali.
Sampai di kamar aku memegang album itu dengan tangan gemetar, dan hati bergetar. Aku akan melihat wajah calon bidadari yang menemani hidupku selamanya. Aku akan melihat wajah calon belahan jiwa. Tapi entah kenapa aku tidak berani membukanya sama sekali. Dua album itu cuma aku pegang dan tanpa kubuka sedikitpun. Aku tersentak, aku belum tahu namanya. Kenapa tidak aku tanyakan namanya pada Syaikh Utsman? Aku ingin membukanya, siapa tahu di dalam Album itu ada namanya. Tapi urung. Aku tidak berani. Entah kenapa. Aku shalat istikharah, yang datang adalah ibunda tercinta. Beliau berkata singkat,
“Menikahlah ibu merestui.”
Hari berikutnya aku kembali menemui Syaikh Utsman dan kukatakan kemantapanku untuk menikahi gadis itu. Syaikh Utsman berkata,
“Aku sudah menduga dan aku sangat yakin kau akan mengatakan itu. Aku memang belum melihat gadis itu, tapi isteriku, Ummu Fathi, yang melihat foto- foto dalam album itu memuji-muji kecantikannya. Ummu Fathi malah bilang jika kau sampai tidak mau, maka ia memintaku agar menjodohkan dengan cucuku yang sedang kuliah di Perancis. Aku geli sekali mendengar perkataan Ummu Fathi. Dan kau nanti akan kaget karena tadi malam walinya bilang gadis itu sangat mengenalmu, dan kau mungkin telah mengenalnya. Kau sudah melihatnya, kau mengenalnya bukan?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sama sekali belum melihat album itu dan aku sama sekali tidak tahu namanya. Aku diam saja. Gadis itu jadi rasa penasaran dalam hati yang luar biasa. Aku telah menyatakan kemantapanku tapi aku belum tahu siapa dia. Aku menjadi orang yang paling penasaran di dunia. Syaikh Utsman minta kepadaku agar besok datang tepat setelah shalat Ashar, kalau bisa shalat Ashar di Shubra. Jadwal mengaji qiraah sab’ah diundur hari berikutnya. Besok aku akan dipertemukan dengan gadis itu bersama walinya. Untuk saling melihat dan saling mengenal sebelum kata sepakat untuk akad nikah diputuskan.
Malam itu, malam sepulang dari rumah Syaikh Utsman adalah malam paling menyiksa dalam hidupku. Namun ada kesejukan yang sedemikian lembut mengaliri relung-relung hatiku. Kesejukan itu apa aku tidak tahu namanya. Saiful rupanya sangat memperhatikan kesibukkanku selama ini. Dia bertanya ini itu tapi masalah diriku sedang proses ke gerbang pernikahan sama sekali tidak aku beritahukan padanya, juga pada siapa saja. Malam itu aku tidak bisa tidur, aku menutup kamar, dan berada di kamar seperti orang linglung. Siapa gadis itu? Dia mengenalku dan aku mengenalnya, siapa dia? Jangan-jangan gadis itu bukan gadis Mesir. Aku membodoh-bodohkan diriku kenapa tidak melihat dua album yang telah berada di tanganku. Jangan-jangan dia gadis Indonesia. Walinya tahu aku mengaji pada Syaikh Utsman dan minta agar menjodohkan keponakannya denganku. Tapi, siapa gadis Indonesia yang kecantikannya layak dipuji oleh isteri Syaikh Utsman dan dia memiliki wali di sini?
Seingatku mahasiswi Indonesia yang disertai kerabatnya hanya ada tiga orang. Raihana disertai kakak kandungnya. Fauzia disertai adiknya. Dan Nurul, ia disertai pamannya, tapi paman jauh. Tiba-tiba hatiku berdesir, jantungku mau copot. Yang paling cantik memang Nurul. Tapi aku merasa itu tidak akan terjadi. Tidak mungkin. Dia adalah puteri seorang kiai besar, pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Dan seorang kiai biasanya telah memilih besan sejak anaknya masih belum bisa berjalan. Tapi kenapa Ustadz Jalal memintaku datang? Aku semakin didera badai kegelisahan yang dahsyat. Aku mengumpat diriku sendiri. Seandainya aku melihat foto dalam album aku tidak akan dirajam penasaran yang menggila ini. Aku berusaha mengurangi rasa gelisah dan penasaran dengan bersujud dan menangis kepada Tuhan. Dalam sujud aku berdoa sebagaimana doa nabi hamba pilihan Allah dalam Al-Qur’an,
“Rabbana hab lana min azwaajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun wal’alna lil muttaqiina imaama! Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa!”88
88 Surat Al-Furqaan: 74
Senin, 15 November 2010
14. Badai Kegelisahan
Posted by Dini Ariani on 20.16
0 komentar:
Posting Komentar