Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Senin, 15 November 2010

24. Tangis Aisya

Yang kulihat pertama kali adalah wajah Ismail ketika aku bangun. Kepalaku ada di atas pahanya. Ia tersenyum padaku. Aku merasa haus sekali. Sejak kemarin tenggorokanku belum terkena setetes air sama sekali.

“Aku haus sekali,” lirihku sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhku.

“Hamada, ambilkan susu itu!” Kata Professor Abdul Rauf.
Hamada mengambil botol berisi susu dan meminumkan padaku. Aku menenggak tiga teguk. “Sudah,” kataku.

“Minumlah lagi, biar tubuhmu segar!” paksa Ismail.

Aku menenggak tiga teguk lagi. “Sudah!” kataku.


“Apa yang mereka perlakukan terhadapmu?”
Dengan suara terbata aku menceritakan semua bentuk penyiksaan yang aku terima sejak kemarin sampai tadi pagi. Juga perlakuan mereka yang keji atas kemaluanku.

“Mereka sungguh biadab!” geram Ismail mendengar ceritaku.
“Mereka memang sangat biadab. Lebih biadab dari Iblis! Dan apa kau terima masih belum seberapa dibandingkan para ulama yang disiksa habis-habisan tahun enam puluhan. Bahkan ada dua orang ulama yang ditelanjangi dan dipaksa melakukan perbuatan kaum nabi Luth. Tentu saja mereka tidak mau melakukan perbuatan terkutuk itu. Akhirnya mereka berdua mati syahid jadi santapan anjing ganas yang lapar.” Kisah Professor Abdul Rauf dengan suara bergetar.
Aku bergidik mendengarnya. Perlakuan mereka yang keji padaku terbayang kembali. Membuat hatiku perih dan sakit sekali. Aku tak bisa membayangkan sakitnya seorang perempuan diperkosa. Kehormatannya dinodai. Betapa sakitnya mereka. Gilanya aku dituduh melakukan perbuatan bejat yang menyakitkan perempuan itu. Perbuatan yang sangat kubenci dan kukutuk, tidak mungkin aku lakukan. Rasa gilu dan sakit bergumul dalam hati bercampur marah, bertumpuk-tumpuk, mendera-dera, menyesak-nyesak dalam dada.

“Sudahlah kita makan dulu. Alhamdulillah, ada sedikit rizki dari Allah Swt.!” kata Professor Abdul Rauf.

Haj Rashed mengambil bungkusan dari pojok ruangan. Tiga roti isy yang empuk dan lebar, satu ayam panggang digelar dan satu plastik apel. Aku bangkit duduk perlahan.

“Apakah semewah ini jatah dari penjara?” tanyaku.

“Tak lama lagi kau akan tahu seperti apa jatah penjara,” sahut Hamada.
“Lebih kayak untuk santapan binatang!” tukas Marwan. Haj Rashed berkata:
“Yang kita makan ini adalah kiriman dari isteri Professor Abdul Rauf. Untuk bisa memasukkan makanan ini ke penjara dia harus membayar seratus pound kepada petugas. Kirimannya juga dirampas setengahnya. Aslinya adalah dua botol susu, enam lembar roti Isy, dua buah ayam bakar dan dua kilo apel. Tapi para sipir itu minta separo bagian. Tidak setiap saat keluarga kami boleh mengirim makanan. Satu bulan hanya diizinkan dua kali saja. Makanan ini sudah datang sejak tadi pagi. Beberapa menit setelah kamu dibawa keluar. Kami tidak mungkin makan tanpa menunggumu. Kami yakin kau pasti sudah lapar. Wajahmu sedemikian pucatnya. Rasulullah tidak mengizinkan perut kita kenyang sementara orang terdekat kita kelaparan.”
Penjelasan Haj Rashed membuat diriku terharu. Bahwa diriku berada di tengah-tengah orang baik. Mereka begitu perhatian padaku. Kami pun makan bersama penuh nikmat dengan diselimuti rasa persaudaraan yang kuat. Setelah makan dan minum beberapa teguk susu tubuhku terasa memiliki kekuatan kembali.
Tak lama setelah itu seorang sipir menggedor pintu dan dari jeruji atas ia melemparkan enam roti isy kering. Ia melempar roti itu seperti melempar makanan pada anjing. Isy itu melayang bertebaran. Ada yang mengenai muka Professor. Ada yang jatuh di kaki Ismail dan ada yang masuk air yang menggenang di sebagian lantai.

“Ini jubnahnya!”110 teriak sipir itu melempar bungkusan hitam.
Ismail memunguti isy itu dan mengumpulkannya. Yang jatuh ke genangan air ia pisahkan. Ia mengambil selembar Isya yang sudah kering itu serta bungkusan hitam dan menyerahkannya padaku.

110 Jubnah: keju putih seperti tahu.

“Inilah jatahnya. Sehari sekali. Coba kau lihat!” ujarnya padaku.
Aku pegang isy itu. Kering dan kaku. Kubuka plastik hitam, baunya sudah tidak karuan.
“Tapi kita tetap harus menerimanya dengan sabar. Yang jatuh ke dalam genangan air kotor itu pun suatu ketika ada gunanya. Dahulu baginda nabi dan para sahabat pernah sampai makan rerumputan dan akar pepohonan,” lanjut Ismail.
Kembali aku teringat hari-hari indah bersama Aisha. Makan tidak pernah kurang. Selama di Alexandria selalu di restoran hotel. Semua enak dan penuh gizi. Dan tiba-tiba kini aku harus siap dengan makanan yang layaknya untuk tikus dan kecoa. Aku masih merasakan Allah Maha Pemurah, makan pertama di penjara adalah ayam panggang lengkap dengan sebutir apel merah yang segar.
Malam harinya kami tarawih. Kami mengatur sedemikian rupa agar kami tetap bisa shalat tarawih berjamaah bersama. Haj Rashed minta satu juz dalam delapan rakaat. Inilah untuk pertama kalinya aku jadi imam tarawih di Mesir. Dan di dalam penjara. Setengah tiga kami bangun, tahajjud sebentar lalu sahur. Apalagi yang kami makan kalau bukan jatah tadi siang. Aku hampir muntah tapi kutahan-tahan. Kulihat Professor dan teman-teman lainnya makan dengan santai. Di pojok ruangan ada ember plastik. Kami bergantian minum dari air yang ada di ember itu.
“Kita beruntung minum dari ember. Di kamar paling pojok sana tempat airnya adalah kaleng bekas yang sudah karatan,” kata Hamada.
Aku teringat Aisha, bagaimanakah dia sekarang. Apakah juga sedang sahur, ataukah sedang menangis sendirian. Aku sangat merindukannya.

* * *

Sampai hari ketiga ditahan, belum juga ada yang menjengukku. Meskipun diinterogasi dan dipaksa seperti apapun aku tetap bersikukuh tidak mau mengakui dakwaan itu. Aku tetap memilih membuktikan tidak bersalah di pengadilan. Pengadilan pertama akan digelar tiga hari lagi. Aku cemas. Aku perlu pengacara dan saksi yang membelaku bahwa aku tidak bersalah. Teman-teman satu rumah di Hadayek Helwan. Kelurga Tuan Boutros. Nurul dan teman-temannya. Dan Syaikh Ahmad. Mereka bisa menjadi saksi. Tapi bagaimana aku bisa menghubungi mereka. Isteriku, Aisha yang sangat kurindukan belum juga datang menjenguk. KBRI atau PPMI belum juga tampak batang hidungnya. Aku sangat gelisah dan sedih. Aku kuatir mereka tidak mau mengerti karena termakan oleh fitnah keji itu. Aku takut Aisha tidak percaya padaku dan membenciku. Aku tak kuat memendam semua kegekisahan dan kekuatiran ini. Akhirnya kuutarakan semuanya pada Profesor Abdul Rauf dan teman-teman.
“Fahri, kau jangan kuatir. Aku yakin mereka semua sudah tahu dan sudah bergerak. Cuma memang pihak kepolisian yang sengaja mengulur waktu agar kau tidak segera bisa bertemu dengan mereka. Dulu, waktu aku ditangkap, satu bulan keluargaku mencariku ingin bertemu tapi tidak bisa. Baru bulan kedua mereka menemukanku. Isterimu mungkin sekarang sedang pontang-panting dipermainkan para polisi tidak bertanggung jawab itu. Mungkin sudah sampai di kantor penjara ini. Tapi pihak keamanan akan bilang sudah dipindah ke Tahrir. Nanti yang Tahrir akan bilang dipindah ke Nasr City. Dan seterusnya. Begini saja nanti ibuku mau menjengukku. Berikanlah nomor handphone isterimu, biar ibuku memberitahu dia bahwa kau ada dipenjara ini,” kata Ismail memberi saran. Untung aku ingat nomor handphone Aisha. Aku beritahu nomor itu pada Ismail sampai dia hafal betul. Dan nanti ibunya akan menghafal nomor itu. Jika satu angka saja salah maka nasibku akan semakin buruk.

* * *

Hari keempat.

Setelah menerima sarapan pagi dari sipir penjara berupa cambukan, pukulan dan tamparan aku mendapat panggilan. Seorang sipir menggelandangku dengan tergesa-gesa ke balai pengobatan penjara. Seorang dokter militer dan dua perawat membersihkan muka dan beberapa bagian tubuhku yang luka. Penampilanku mereka perbaiki sedemikian rupa. Lalu aku diajak ke sebuah ruangan. Di sana ada tiga sosok menungguku, Paman Eqbal, Magdi penjaga apartemen kami dan seorang perempuan bercadar yang aku yakin dia adalah Aisha. Begitu melihat sosokku perempuan bercadar itu berhambur ke arahku. Ia memelukku erat-erat sambil menangis. Aku pun menangis. Ia menatapku dalam- dalam dan meraba wajahku dengan kedua tangannya yang halus.

“Bagaimana keadaanmu, Fahri, Suamiku?”
“Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?”
Aisha menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. “Apa dosa kita berdua Fahri sampai kita harus menanggung cobaan seberat ini. Aku nyaris kehilangan sesuatu yang paling berharga yang aku miliki kalau seandainya tidak diselamatkan oleh Magdi. Kau harus berterima kasih padanya. Dia telah menyelamatkan kesucian isterimu ini Fahri.” Aisha berkata sambil terisak-isak.

“Apa sebenarnya yang terjadi setelah hari itu?” tanyaku penasaran.

“Aku tak sanggup menceritakannya. Tanyakanlah pada Magdi?” jawab

Aisha dengan tetap memeluk erat diriku.
Kami lalu duduk. Kutanyakan apa yang terjadi pada Aisha pada Magdi. Dengan tenang Magdi, polisi yang sering kujumpai shalat berjamaah di masjid dekat apartemen itu bercerita:
“Sebelumnya maafkan diriku, aku tidak bisa membantumu saat kau ditangkap. Karena mereka membawa surat penangkapan lengkap. Meskipun aku secara pribadi tidak yakin akan kebenaran tuduhan yang digunakan sebagai alasan penangkapanmu. Dan anggapanku ini agaknya benar. Satu hari setelah kau ditangkap, sekitar jam sepuluh pagi polisi berkumis yang ikut menangkapmu itu kembali datang. Ia minta izin mau bertanya sedikit pada Madame Aisha, isterimu. Aku menanyakan surat izinnya. Dia bilang tidak bawa tapi ini tugas penting yang harus dikerjakannya. Dia hanya akan bertanya beberapa hal pada Aisha, membutuhkan waktu tak lebih dari sepuluh menit saja. Akhirnya kuizinkan dia naik. Namun aku dan Hosam punya firasat tidak baik dan curiga dengan tindak- tanduknya. Diam-diam kami naik juga ke atas membuntutinya memakai lift satunya. Sampai di lantai 7 kami kaget oleh teriakan Madame Aisha. Kami berdua langsung mendobrak pintu sekuat tenaga. Dan kami melihat Si Kumis sedang mengejar Madame Aisha di ruang tamu hendak memperkosanya. Seketika itu juga dia kami bekuk!”
Darahku mendidih, aku nyaris tidak bisa menguasai amarahku mendengar cerita Magdi.
“Kurang ajar! Akan kucari dan kubunuh keparat itu!” teriakku dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Bagiku kehormatan isteriku adalah segala- galanya, jauh diatas kehormatan diriku sendiri. Kesucian isteriku sama dengan kesucian kitab suci, tidak boleh ada seorang pun yang menodainya apalagi menginjak-injaknya. Kesucian isteriku adalah nyawaku. Ketika ada orang yang berusaha menjamah kesuciannya maka nyawaku akan kupertaruhkan untuk membelanya. Seandainya aku punya seribu nyawa akan aku korbankan semuanya untuk menjaga kesucian isteriku tercinta. Mati seribu kali lebih ringan bagiku daripada ada orang yang menjamah kesuciannya. Malaikat maut pun akan aku hajar jika dia mencoba-coba menodainya. Aku rela dijuluki apa saja untuk membela kesucian isteriku tercinta.
“Insya Allah, kau tidak akan lagi bertemu dengannya!” kata Magdi sambil tersenyum.

“Maksudmu?” tanyaku.
“Dia sedang diproses ke tiang gantungan. Dia terlalu bodoh. Dia salah perhitungan. Dia mengira isterimu adalah orang Indonesia. Dan kau tentu tahu banyak perempuan Indonesia diperkosa di mana-mana, di Saudi, di Singapura, di Malaysia, di Hongkong, di Taiwan, juga beberapa kali di Mesir dan para pemerkosanya tidak tersentuh hukum sama sekali. Diplomasi Indonesia sangat lemah. Si Kumis itu beranggapan begitu. Dia merasa perbuatannya akan aman- aman saja sebab yang akan ia perkosa adalah perempuan Indonesia. Dia menganggap kami berdua seperti penjaga apartemen biasa yang tidak akan berani mengusiknya. Tapi dia keliru. Kami tidak akan membiarkan siapa pun berbuat jahat di apartemen yang kami jaga. Dia langsung kami bekuk begitu tertangkap basah hendak melakukan perbuatan jahat itu. Madame Aisha langsung mengontak Mr. Minnich, Atase Politik Kedutaan Jerman. Kedutaan Jerman langsung mengontak kementerian luar negeri meminta agar penjahat yang mencoba menyakiti warganya ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku di Mesir yaitu hukuman gantung. Si Kumis itu dalam tahanan kami masih bisa tertawa karena ia yakin akan ada yang membebaskannya. Benar, lima jam setelah itu ada perintah untuk membebaskannya. Namun belum sempat kami bebaskan sudah ada perintah lagi untuk memprosesnya secara hukum. Yang kami tahu Jerman mengancam akan mengopinikan di negaranya dan di Eropa bahwa Mesir tidak aman jika polisi brengsek itu tidak ditindak tegas. Jerman juga mengancam akan membatalkan beberapa kerjasama perdagangan dan perindustrian dengan Mesir. Menurut Mr. Minnich keselamatan seorang warganya sama dengan keselamatan presidennya. Tak ada pilihan bagi pemerintah Mesir kecuali menindak tegas seorang oknum tidak bertanggung jawab itu. Tapi setelah kami selidiki agaknya memang ada skenario jahat yang ingin menghancurkan dirimu dan keluargamu, Fahri!” jawab Magdi.

“Maksudmu?”
“Aku sudah bertemu Syaikh Ahmad. Beliau meyakinkan padaku bahwa kau tidak mungkin melakukan hal itu. Selama tiga hari kemarin di samping menangani kasus Si Kumis, aku dan Eqbal berusaha mencari di mana kau berada. Si Kumis bilang di serahkan ke penjara Tahrir. Pihak Tahrir bilang sudah dibawa ke Nasr City. Nasr City bilang sudah diambil Abbasea. Pihak Abbasea bilang sudah dibawa lagi ke Tahrir. Ada orang yang cukup punya kuasa yang mendalangi semua ini, kemungkinan dia seorang oknum dari Keamanan Negara, sampai aku nyaris tidak berdaya dan para polisi itu juga takut memberikan keterangan jelas mengenai keberadaanmu. Pihak Kedutaan Indonesia juga alot di Tahrir. Untung tadi pagi Aisha mendapat telpon dari seorang perempuan yang mengatakan anaknya satu sel denganmu. Dan kami langsung meluncur kemari. Kasus Aisha sudah beres, kau tinggal menunggu kabar penjahat itu digantung. Sekarang tinggal masalahmu. Masalah yang tidak mudah. Coba ceritakanlah padaku bagaimana sebenarnya yang terjadi sampai kau dituduh memperkosa gadis bernama Noura itu?”
Aku lalu menjelaskan semua yang terjadi malam itu, dimulai dari kabar kelulusanku, makan ayam panggang di Sutuh bersama teman-teman, jeritan Noura, minta tolong Maria, sampai menitipkan Noura pada Nurul di Masakin Utsman. Juga aku ceritakan sepucuk surat cinta dan ucapan terima kasih dari Noura.

“Di mana surat itu sekarang?”

“Aku berikan pada Syaikh Ahmad.”
Seorang polisi memberi tahu waktu berkunjung telah habis. Aisha memberikan bungkusan berisi makanan. Dia mengajakku ke pojok ruangan. Di sana dia membuka cadarnya sehingga aku bisa menatap wajahnya. Dia menangis dan tampak sedih. Aku mencium pipinya. “Jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu dan kandunganmu, teruslah berdoa dan mendekatkan diri pada Allah agar semua masalah ini dapat teratasi. Aku sangat mencintaimu, isteriku.”
Aisha terisak, “Aku juga sangat mencintaimu. Kau besarkanlah jiwamu suamiku, aku berada disampingmu. Aku tidak akan termakan tuduhan jahat itu. Aku yakin akan kesucianmu. Kalau seandainya kau mengizinkan aku ingin dipenjara bersamamu agar aku bisa menyediakan sahur dan buka untukmu.”
“Kau jangan berpikir seperti itu. Kau tenangkanlah pikiranmu. Yakinlah semuanya akan selesai dengan baik. Banyak orang baik yang akan membantu kita. Sekarang yang harus kau prioritaskan adalah perhatianmu pada kandunganmu. Sekarang kau tinggal di mana? Apa sendirian di Zamalek?”

“Tidak. Sejak kejadian itu aku tinggal bersama bibi Sarah dan paman Eqbal.”

“Bagus. Kau akan lebih tenang di sana.”
Aisha kembali memasang cadarnya. Paman Eqbal dan Magdi mendekati kami. Mereka pamitan. Aku merangkul paman Eqbal dan minta doanya. Juga merangkul Magdi dan mengucapkan banyak terima kasih padanya. Mereka lalu keluar. Aku beranjak mengambil bungkusan besar berisi makanan. Tiba-tiba Magdi kembali.

“Sst..Fahri ceritakan padaku kau diinterogasi bagaimana?”
Aku menceritakan semuanya. Paksaan untuk mengakui perbuatan itu dan aku bersikukuh tidak mau mengakuinya.
“Keputusan yang tepat sekali. Sebab jika kau mengaku dan menandatangani berkas pengakuan maka sangat sulit diselamatkan. Aku dan Eqbal akan mencari pengacara yang baik untukmu. Kapan sidangnya?”

“Tiga hari lagi.”

“Siksaan apa yang kau terima selama tiga hari ini?”
Aku menceritakan semuanya. Termasuk kekurangajaran Si Kumis mempermainkan kemaluanku. Juga siksaan setiap pagi.
“Tapi kumohon kau jangan ceritakan siksaan-siksaan ini pada Aisha atau paman Eqbal mereka akan sedih. Biarlah nanti kuceritakan sendiri setelah keluar dari penjara ini.”

“Yang kau terima itu masih termasuk ringan. Jangan kuatir. Sakit hatimu pada Si Kumis itu biar teman-temanku yang nanti membalasnya. Dia memang polisi kurang ajar. Aku akan mencoba berbicara pada kepala penjara ini. Dan makanan ini, jika dirampas sama sipir penjara nanti bilang. Terus ciri-ciri sipir itu bagaimana? Aku akan mengurusnya. Sudah ya satu hari sebelum sidang, insya Allah aku dan pengacara yang akan membelamu akan datang kemari. Aku pamit dulu. Selamat beribadah oh ya ada salam dari Syaikh Abdurrahim Hasuna, imam masjid kita. Beliau ikut berbela sungkawa atas musibah yang menimpamu dan beliau akan ikut serta mendoakanmu.”

“Terima kasih atas segalanya Magdi, salam balik untuk beliau.”
Magdi pergi. Aku kembali ke sel. Aku beritahu mereka apa yang terjadi. Mereka semua ikut senang dan berdoa semoga aku cepat bebas dari penjara ini. Bisa kembali belajar dan pulang ke Indonesia mengamalkan ilmu yang kudapat di bumi para nabi ini. Ismail membuka bungkusan besar yang kubawa. Ia heran bagaimana aku bisa membawa makanan sebanyak itu. Kujelaskan semuanya.

“Alhamdulillah, di dunia ini masih ada polisi baik seperti Magdi,” gumam Ismail.

“Dia SLTA di ma’had Al Azhar Damanhur,” sahutku.

“Pantas.”
“Tapi Si Noura, gadis itu juga ma’had Al Azhar, kenapa dia bisa berbuat sejahat itu?” heranku.
“Aku yakin itu bukan semata-mata kemauan Noura. Setidaknya ada sesuatu yang menekannya. Puteriku yang nomor tiga juga di Al Azhar, dan dia sangat jujur,” tukas Haj Rashed.
Belum puas kami berbincang terdengar langkah sepatu bot dan pintu kami digedor.

“Tahanan 879!” teriaknya seperti anjing menyalak.

“Ya!” jawabku dengan suara keras.

“Ayo ikut!”
Aku dibawa ke ruang penerimaan tamu. Di sana sudah ada Staf Konsuler KBRI dan Ketua PPMI. Keduanya memelukku erat-erat. Mereka berdua ingin tahu sebenarnya apa yang terjadi denganku. Aku ceritakan kronologis penangkapanku dan dakwaan yang dialamatkan kepadaku. Staf konsuler berjanji akan membantu sekuat tenaga membebaskan aku dengan upaya diplomatis, meskipun dengan nada yang agak pesimis,
“Tahun 1995 pernah ada mahasiswa kita yang mengalami nasib mirip denganmu. Dia naik lift. Di dalam lift ada anak kecil Mesir. Entah kenapa anak kecil itu menangis. Anak kecil itu melapor pada kedua orang tuanya takut pada mahasiswa kita itu. Orang tuanya melapor pada polisi menuduh mahasiswa kita mencoba mencabuli anaknya. Padahal mahasiswa kita tidak berbuat demikian, dia hanya menyapanya dan mengajaknya bicara seperti kalau bertemu dengan anak- anak di Indonesia. Polisi lebih percaya pada pengaduan orang tua anak itu. Orang Mesir jika sudah menyinggung kehormatan perempuan sangat sensitif. Menyiul perempuan berjalan saja bisa ditangkap polisi jika perempuan itu merasa terhina dan tidak terima. Akhirnya mahasiswa kita itu dipenjara beberapa bulan. Ia dikeluarkan dari Al Azhar dan dideportasi. Ia tidak dihukum gantung karena setelah divisum anak kecil itu memang tidak apa-apa. Bayangkan, hanya karena mengajak bicara anak kecil di dalam lift, mahasiswa kita dipenjara. Dan pihak KBRI tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya mahasiswa kita itu harus keluar dari Mesir. Sekarang ia belajar di Turki. Bahkan ikut membantu staf KBRI di sana. Juga menjadi pemandu travel bagi orang Indonesia yang melancong ke Turki yang biasanya satu paket dengan umrah. Di sana dia malah kaya dan makmur sekarang. Untuk kasusmu ini, kita akan berusaha sekuat tenaga. Tapi kita tidak bisa menjamin keberhasilannya.”
Kata-kata staf konsuler KBRI itu membuat hatiku ciut. Aku tiba-tiba ingin jadi warga negara Amerika saja. Jika aku warga negara Amerika pasti polisi Mesir tidak berani berbuat macam-macam. Menyentuh kulitku saja mereka tidak akan berani apalagi mengancam hukuman gantung. Jika aku jadi warga negara Amerika, mungkin seandainya benar-benar memperkosa pun, tetap selamat. Sebab presiden Amerika akan ikut bicara membela warganya seperti ketika Clinton membela warganya yang dicambuk di Singapura. Lain Amerika lain Indonesia. Apa yang dibela oleh presiden Indonesia kalau bukan jabatan dan perutnya sendiri? Mana mungkin dia mendengar rintihan dan rasa sakitku dicambuk tiap pagi dan membeku kedinginan di bawah tanah dalam musim dingin yang membuat tulang ngilu? Apalagi diriku yang jauh di Mesir. Sedangkan ribuan gadis Indonesia dijual, dirobek-robek kehormatannya dan diperlakukan seperti binatang di Singapura saja presiden diam saja? Kapan dalam sejarahnya ada Presiden Indonesia membela rakyatnya? Kecuali Soekarno di zaman mempertahankan kemerdekaan.

“Kalau kami, apa yang bisa kami bantu menurut Mas Fahri?” kata Ketua PPMI.

“Pertama, aku ingin dukungan seluruh teman-teman dari Indonesia. Demi Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi di langit dan di bumi, aku tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadaku itu. Aku ingin dukungan moral dari teman-teman semua. Tolong disosialisasikan kisah yang sebenarnya. Orang satu rumah denganku dan Nurul tahu akan hal itu. Jika nanti ada wartawan Mesir mewawancarai tolong opinikan yang baik mengenai diriku, tolong! Juga teman- teman yang jadi koresponden media massa di tanah air tolong kisahkan yang sebenarnya jangan yang malah menimbulkan interpretasi yang macam-macam. Kedua, kepada PPMI dan KBRI mohon kerjasama dengan pengacaraku nanti. Sekarang isteriku dan seorang polisi Mesir yang baik sedang mencari pengacara untuk membelaku. Tolong bantu mereka. Ketiga, mohon doa teman-teman Indonesia semuanya, ketika sahur, ketika tarawih, ketika shalat malam. Doakan aku selamat dari ujian berat ini. Itu saja harapanku saat ini.” Jelasku dengan sedikit terisak, sebab masalah yang aku hadapi sangat serius. Nyawaku sedang terancam. Staf KBRI dan Ketua PPMI berjanji akan memenuhi keinginanku itu. Aku mengucapkan terima kasih atas kunjungan mereka. Mereka minta maaf terlambat tapi itu karena pihak kepolisian Mesir yang membuat urusan berbelit- belit.
Sesedih apapun, kunjungan KBRI dan PPMI menambah kekuatan dalam diri. Kedatangan mereka berdua seolah berisi dorongan moral dari seluruh saudara setanah air di Indonesia. Di negeri orang, orang satu tanah air yang berlainan pulaupun menjadi seperti saudara sendiri. Apalagi yang satu pulau. Satu propinsi. Satu kabupaten. Satu kecamatan. Aku merasa diperhatikan oleh dua ribu lima ratus lebih mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir. Rasa cintaku pada mereka semakin membulat, juga pada segenap saudara di KBRI.

* * *

Satu hari menjelang sidang Aisha, paman Eqbal, dan Magdi datang membawa seorang pengacara bernama Amru. Dia menginginkan diriku menceritakan semua hal yang kira berkaitan dengan masalah yang sedang aku hadapi. Aku menceritakan semuanya dari kejadian ribut malam itu sampai berita terakhir dari Syaikh Ahmad bahwa Noura telah menemukan orang tuanya yang asli setelah melalui test DNA. Amru dan Magdi akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskan aku dari segala tuduhan itu. Semua saksi dan bukti yang kira-kira bisa membela diriku akan dia gunakan. Amru juga mengingatkan diriku agar dalam sidang besok bersikap tenang dan tidak terpancing emosi. Sebab jaksa penuntut akan menggunakan teror kata-kata dan psikologis untuk melemahkan diriku dan menjebakku. Aku mungkin akan sangat dihina oleh kepandaiannya bersilat lidah dan berargumentasi tapi aku tidak boleh terbawa oleh irama permainannya. Kemungkinan besar besok adalah sidang untuk mendengarkan pengakuan Noura dan pengakuanku. Serta teror investigasi dengan perkataan dan pertanyaan di depan sidang. Aku mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Amru tersenyum.
“Meski berliku, aku yakin kebenaran akan menang. Apa pun yang terjadi pada akhirnya kebenaran akan menang. Jangan kuatir, Saudaraku. Nanti malam perbanyaklah shalat dan memohon pertolongan kepada Allah.” Kata Amru mengingatkan. Mereka pamitan. Seperti saat mengunjungi sebelumnya sebelum pergi, Aisha mengajakku ke pojok ruangan. Dia membuka cadarnya agar aku dapat melihat wajahnya. Kami berangkulan dalam tangis.
“Fahri, kuatkanlah dirimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayiku ini lahir tanpa dirimu disisiku.” Isak Aisha yang membuat hatiku bagai diremas-remas. Aku merasa langit-langit ruangan itu basah, dan dinding-dindingnya melelehkan air mata. Kuusap air matanya dengan ujung jilbabnya, pelan kubisikkan padanya sebuah harapan:

Sayang, tancapkan dalam hati
walau tak kini
esok insya Allah terjadi
kita akan bulan madu lagi
berkali kali
lebih indah dari yang telah kita lalui
apalagi di sorga nanti
walau tak kini
esok insya Allah terjadi
selama cinta kita tak pernah mati
selama iman masih terpatri dalam diri

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design