Syanda tercenung menatap lembar-lembar diarinya. Belakangan ini dia seolah menorehkan kenangan biru dan kelabu semata. Biasanya, hari-hari yang dicatatnya adalah hari penuh bunga, penuh tawa dan canda ceria bersama Aditya. Tapi kini?
Dihelanya napasnya yang kian hari terasa berat. Bahkan ada sekelumit rasa enggan untuk mengisi diarinya lagi.
Diari, tulisnya. Entah apa lagi yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan depan, seratus hari lagi, dan... ratusan hari yang lain lagi. Ah, sepertinya semua mendadak hilang. Begitu tiba-tiba dan tanpa sisa untukku!
Apa yang tengah dilakukan Aditya di panti sana? Apakah dia merasakan sepi yang menggigit nurani ini? Apakah dia juga tengah bergumul dengan keragu-raguannya? Apakah dia juga mulai bimbang? Ya, Tuhan! Kenapa petaka itu harus ditanggungnya?!
Rasanya Aditya berada jauh. Sangat jauh. Karena biasanya, tidak ada jarak di antara kami. Tapi sekarang? Hanya tiga puluh menit seminggu. Betapa singkatnya. Betapa pendeknya setiap detik yang berlalu untuk bertukar kasih dan sayang. Waktu seolah musuh yang menakutkan buatku! Waktu pulalah yang memisahkan aku dengan Aditya. Aku benci, aku benci waktu! Syanda membatin pilu.
Tapi, apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu. Selama ini pikiranku belum sampai ke sana . Aku hanya kadang merasa takut kehilangan Aditya. Aku rindu. Aku kangen. Tapi, aku bimbang....
Mungkin cinta memerlukan pengorbanan. Apakah aku siap menderita untuk Aditya?! Jawabnya masih kucari, entah di mana. Bahkan, di hari-hari belakangan ini pun aku mulai ragu. Apakah aku masih memiliki kesetiaan untuknya?! Apakah aku masih harus setia menunggunya?!
Kami masing-masing sudah menjauh. Tidak lagi saling mengetahui. Tidak lagi saling berbagi. Setiap perjumpaan, yang hadir hanyalah airmata kesedihan. Tidak ada lagi derai tawa. Tidak ada lagi senyum Aditya yang membuatku rindu. Semua telah berubah....
Syanda menghela napas. Direbahkannya dirinya ke sandaran kursi.
"Syan...," panggil Santi yang tiba-tiba saja sudah masuk dalam kamar.
"Ada apa?" Syanda menghapus dua titik airmatanya. Ditenangkannya dirinya. Dia tidak ingin Santi mengetahui kalau dia kembali menangisi Aditya. Cowok yang sudah rusak segala-galanya di mata orang-orang.
"Boleh mengganggu?" Santi duduk di bibir ranjang. "Sudah selesai menulisnya?"
Syanda mengangguk. Menutup diari merah mudanya.
"Tadi aku ketemu Nimo di Pondok Indah Mall. Kamu masih ingat dia? Katanya, teman SMA-mu."
Syanda termenung sesaat. Nimo?! Geronimo Panggabean?!
"Ya, ya. Aku masih ingat."
Syanda tersenyum. Siapa yang tidak kenal Nimo. Anak Batak bandel yang gencar mengejarnya itu. Dia cukup cute. Tajir. Royal. Dan yang pasti, dia anak pejabat berstatus sosial baik-baik. Syanda terkenang masa SMA-nya dulu. Waktu itu, semua tahu Nimo tergila-gila kepadanya. Tapi itu dulu. Sebelum dia mengenal Aditya. Meski Nimo baik kepadanya, tapi ada sesuatu yang sama sekali membedakannya dengan Aditya. Itulah sebabnya lantas dia lebih memilih Aditya.
"Nimo nanyain kabarmu," gugah Santi.
"Oya?" Syanda pura-pura cuek. "Dia masih ingat aku?"
Santi mengangguk mengiyakan.
"Katanya juga, salam buat Aditya."
"Nimo, Nimo...." Syanda tersenyum kembali.
"Sebetulnya kenapa dulu kamu menolak Nimo sih, Syan?" tanya Santi ragu.
"Kenapa? Aku juga tidak tahu kenapa. Kalau kamu kelak menghadapi masalah seperti aku, kamu akan mengerti sendiri, San."
"Tapi, Nimo memiliki hampir segalanya," bantah Santi.
"Aku tahu."
"Lalu... ah, aku heran sama kamu. Padahal, Nimo.... Duh, kenapa sih kamu masih mengharap Aditya?!"
"Aku aku hanya bersikap dewasa, San! Berkomitmen dengan janji-janjiku kepada Aditya selama ini. Terlepas dari semua itu pun, aku menemukan sesuatu dalam diri Aditya yang sama sekali tidak dimiliki oleh cowok-cowok lain. Juga tidak dalam diri Nimo," jawab Syanda dengan suara paruh tangis.
"Apa itu?!" Santi bertanya sinis. Melecehkan.
"Kejujuran. Aditya memang nakal. Bandel. Tapi, dia jujur. Dia tidak malu orang lain mengetahui tingkah-lakunya. Dia tidak menutup-nutupi apa pun dariku. Aku salut!"
"Kamu juga salut dong, dengan keberhasilannya masuk panti rehabilitasi?!" serang Santi memojokkan.
"Ka-kamu...." tukas Syanda gusar. "Dia bukan junkies, San! Harus berapa kali aku bilang, kalau itu bukan salah Aditya! Dia hanya ikut terjaring saat operasi berlangsung. Dia tidak tahu apa-apa!"
"Apakah kamu tidak memikirkan apa yang bakal terjadi padanya bila kelak dia keluar dari panti rehabilitasi itu? Dia akan terkucil, Syan!" teriak Santi, berdiri dari duduknya. "Apakah kamu mau ikut-ikutan dikucilkan orang? Oh, Syanda, kakakku sayang! Berpikirlah rasional. Kamu terlampau sentimentil. Sok idealis tanpa memperhitungkan untung-ruginya."
"Cinta tidak pernah memperhitungkan untung-rugi, San!" Syanda menggigit bibir.
"Kamu kelewat mencintainya! Oh, betapa beruntungnya cowok itu, dicintai kakakku yang berhati bidadari."
Syanda tercekat. Setulus itukah cintanya kepada Aditya?! Padahal, sejujurnya dia mulai ragu dengan kesetiaan cintanya kepada Aditya! Cuma cinta emosi, mungkin. Syanda mengusap wajahnya.
"Syan, lupakanlah Aditya-mu itu. Tinggalkan Aditya sekarang, dan mulai lagi dengan harimu yang baru. Masih banyak kok, cowok yang lebih baik dari dia." Santi masih berusaha membujuk.
"Tinggalkan aku sendirian di sini, San!" pinta Syanda lemah.
"Oke, oke," Santi mengembangkan senyumnya sembari menjawil hidung kakak semata wayangnya itu, jelas untuk meringankan suasana hati. Kemudian dilangkahkannya kakinya dengan melompat-lompat kecil sampai ke bawah bingkai pintu kamar. "Tapi janji lho, kamu tidak akan nangisin Aditya-mu itu lagi."
Syanda ikut tersenyum. Dan mengangguk perlahan.
"Eh, Syan, Nimo janji akan meneleponmu, lho," Santi menghentikan langkahnya di bawah bingkai pintu kamar Syanda. "Jangan marah, ya. Tanpa seizinmu, aku sudah ngasih dia nomor HP-mu."
Syanda kembali tersenyum.
"Dia sudah tahu semuanya tentang Aditya. Sori, aku cerita semua kepadanya. Dia juga janji akan datang kemari untuk menghiburmu, kapan-kapan." Santi berlalu tanpa merasa bersalah.
Menghiburku?!
Syanda tersenyum kecut. Satu-satunya hiburan bagiku adalah kembalinya Aditya. Bersamaku, mengisi hari-hariku yang terasa hampa. Dan barusan Santi bilang Nimo akan datang menghiburku. Untuk apa? Untuk melupakan Aditya? Untuk menghapus namanya dari dalam hatiku? Tidak! Tidak ada yang bakal dapat menggeser posisi dia. Aku tidak bakal dapat melupakan dia! Bukankah aku sudah berjanji padanya untuk tetap setia?! Menunggunya hingga dia keluar dari panti rehabilitasi seberapa lama pun?! Tidak! Aku bukan cewek tukang ingkar janji. Aku bukan cewek tipe kutu loncat. Aku tidak bakal melupakan Aditya hanya karena sekarang namanya telah tercemar.
Aku akan tetap menunggunya.
0 komentar:
Posting Komentar