Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Kamis, 09 Desember 2010

Hajinya Para Kekasih Allah

Panggilan haji telah bergema ke segenap penjuru dunia. Panggilan ini bukan berupa genderang yang terdengar saat berperang. Bukan pula tiupan terompet pada saat penggantian tahun. Ini langsung dari Sang Pencipta alam semesta, Sang Pemeberi Rahmat dan kehidupan di seluruh jagat raya.

Jutaan umat pun menyambutnya. Dari berbagai negeri mereka beramai-ramai datang dengan berbagai cara, menuju satu titik, dengan satu tujuan, satu seruan kerinduan…, “Labbaik Allahumma Labbaik… Labbaika La Syarika Laka Labbaik…”

Ribuan malaikat ALLAH pun mengangkut di pundak-pundak mereka kidung jawaban para hamba ALLAH atas panggilan cinta, untuk dihamparkan di Arasy Laisa Kamitslihi Syaiun.

Betapa bahagianya mereka kerana terpilih sebagai tamu ALLAH yang tertulis langsung di Lauhil Mahfuz. Bukan kerana kaya, tampan, ataupun berpangkat. Tetapi kerana taqwa dan percaya akan ALLAH Yang Esa.

Mereka bukan saja akan mencium Hajar Aswad, mengitari Ka’bah, dalam luapan cinta yang mendalam. Mereka bukan saja akan berjajar memenuhi Masjidil Haram. Tetapi mereka juga akan shalat berjemaah dengan semua nabi dan rasul, segenap awliya’, jin-jin mukmin-muslim, bahkan dengan debu-debu dan kehangatan matahari, yang semuanya bertasbih.

Siapa pun yang pernah merasakan kehangatan kasih Sang Khaliq, pastilah ingin senantiasa berkunjung ke rumah-NYA. Dan rasa inilah yang senantiasa menyelimuti hati hamba-hamba-NYA yang shalih, yang tinggi derajat taqwanya serta sangat dekat dengan ALLAH, para kekasih ALLAH.

Bagi mereka, haji bukan sekadar ritus untuk mematangkan dan menyempurnakan rukun Islam. Melainkan, lebih daripada itu, sebuah kunjungan kepada Sang Kekasih Sejati.

Sebagaimana dijelaskan oleh seorang sufi pada abad pertengahan Islam (1000-1250 M) asal Nishafur, Iran, Syaikh Abu Qasim Al-Qushairi, dalam kitabnya, Lathaif Al-Isyarah, ibadah haji laksana mengunjungi rumah seorang sahabat, bahkan kekasih. Tujuannya bukanlah rumah itu, melainkan pemilik rumah itu sendiri.

Demikian pula dengan menasik haji bagi para sufi dan wali, mempunyai erti tersendiri. Misalnya, berangkat dari tanah air ke Tanah Suci Makkah bukan semata-mata berangkat meninggalkan rumah menuju Baitullah. Melainkan, yang lebih penting lagi, meninggalkan semua perbuatan yang mengakibatkan dosa.

Ihram pun demikian. Mereka tidak hanya memakai pakaian yang tidak dijahit. Tetapi, lebih dari itu, melepaskan semua atribut kemanusiaan, dan menganggap manusia sederajat di hadapan Tuhan, kecuali dalam taqwa kepada-NYA.

Wuquf dan bermalam di Padang Arafah, yang dipandang sebagai inti ibadah haji, bagi para kekasih ALLAH, merupakan momen untuk mengalami kehadiran Tuhan dan menyaksikan tanda-tandanya. Hal yang sama juga berlaku untuk wuquf di Muzdalifah, yang secara simbolis merupakan upaya untuk melepaskan diri dari hawa nafsu.

Demikian pula dengan wuquf di Mina. Ia simbol kesediaan diri untuk meninggalkan kesenangan duniawi dan kehendak diri yang tercela.

Ketika sampai di Makkah, para peziarah haji berthawaf mengelilingi Ka’bah, rumah Tuhan, yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Bagi para kekasih ALLAH, Ka’bah merupakan simbol arah dan penunjuk menuju jalan Tuhan.

Thawaf adalah simbol cinta dan kasih sayang. Ia adalah gerakan yang menunjukkan kepemilikan diri manusia kepada Pusat Perputarannya. Makna thawaf hanya dapat diraih oleh orang-orang yang mengetahui kebenaran sejati, yakni para ‘arifin (mereka yang mengenal Tuhan) dan muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan dengan benar).

Tentang sa’i antara Safa dan Marwah, berlari kecil dari Bukit Safa bermakna bahawa peziarah haji mendaki untuk meraih kesucian batin dan pertemuan dengan Tuhan melalui cahaya ilmu pengetahuan. Sementara, Bukit Marwah merupakan pendakian menuju penyucian ruh melalui jalan pertaubatan.

Berkaitan dengan melempar jumrah, para kekasih ALLAH itu memandang bahawa manasik merupakan upaya untuk melemparkan jauh-jauh fikiran dan kehendak yang mementingkan diri sendiri dari hati dan fikiran.

Begitu juga dengan dhahiyyah (berqurban), yang secara formal adalah menyembelih binatang qurban, bagi para kekasih ALLAH itu adalah upaya untuk mengorbankan keinginan-keinginan peribadi untuk meraih cinta dan kedekatan dengan ILLAHI RABBI.

Mereka melaksanakan setiap rukun ibadah Haji itu dengan segenap jiwa dan perasaannya. Berharap-harap cemas, bahkan waswas, jangan-jangan Sang Kekasih menolak cintanya. Seperti yang dialami oleh Imam Ali Zainal Abidin RA, cicit Baginda Nabi Muhammad Sallahu Allaihi wa Sallam.

Ketika itu, ia hendak mengenakan pakaian ihram. Tiba-tiba wajahnya memucat. Bibirnya pun gementar, tidak bisa mengucapkan kalimat Talbiyah. Orang-orang di sekitarnya hairan, hingga beranikan diri bertanya.

“Wahai dzuriyat Rasulullah, mengapa Tuan tidak mengucapkan ‘Labbaik’ saat permulaan ihram?”

Imam Ali RA menjawab, “Aku sangat takut, jangan-jangan dijawab ‘La Labbaik’ (Kehadiranmu tidak diterima).”

Setelah itu, Imam Ali mencuba mengucapkan “Labbaik” dengan beratnya sampai-sampai ia jatuh pengsan dan terjatuh dari untanya.

Setelah siuman, ia mencuba mengucapkan “Labbaik”. Lagi-lagi, ia pengsan

Begitu seterusnya, hingga seluruh amalan hajinya disempurnakan dalam keadaan seperti itu.

Dalam buku Hajinya para Kekasih ALLAH, karya Syaikh Muhammad Zakariya, dikisahkan, seorang waliyullah, yang tinggal di Makkah selama 70 tahun, setiap tahunnya menunaikan ibadah haji atau umrah. Akan tetapi, bila memulai ihram untuk haji atau umrah dan mengucapkan “Labbaik”, ia mendapatkan jawapan “La Labbaik”.

Suatu ketika ada seorang pemuda yang memulai ihram bersamanya. Ketika sang wali mendapatkan jawapan “La labbaik”, pemuda itu juga mendengarnya. Si pemuda berkata, “Wahai Syaikh, engkau mendapat jawapan ‘La labbaik’?”

Sang wali bertanya, “Apakah engkau juga mendengarnya?”

“Ya, aku mendengarnya.”

Mengetahui hal itu, sang wali menangis dan berkata, “Wahai pemuda, sudah 70 tahun aku mendengar jawapan seperti itu.

Sang pemuda bertanya dengan penuh tanda tanya, “Lalu, mengapa Paman selalu bersusah payah seperti ini?”

“Wahai pemuda, pintu siapa lagi yang harus aku ketuk kalau bukan pintu-NYA? Dan mahu pergi ke mana lagi selain kepada-NYA? Tugasku hanyalah berusaha. Akan diterima atau ditolak, itu terserah DIA. Hanya kerana masalah ini, tidaklah baik seorang hamba lari dari rumah Tuannya.”

Setelah berkata demikian, sang wali menangis dengan kuatnya sehingga dadanya basah oleh tetesan air mata.

Setelah itu, ia kembali mengucapkan “Labbaik” sekali lagi. Dan ia mendengar, “Kami telah menerima kehadiranmu. Dan Kami pun berbuat seperti ini kepada setiap orang yang berhusnuzhan kepada Kami. Bukan orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, tetapi mengharapkan rahmat Kami.”

Si pemuda juga mendengar jawapan itu, maka ia berkata, “Syaikh, apakah engkau mendengar jawapan itu?”

“Ya, aku mendengarnya,” kata sang waliyullah. Kemudian ia menangis dengan kuatnya sehingga meninggal dunia.

Kehausan di Tengah Hutan

Dalam melaksanakan ibadah haji, bukan bererti para kekasih ALLAH itu bebas dari cubaan dan ujian. Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, yang intinya, cubaan bagi seorang mukmin, apabila dihadapi dengan kesabaran, akan menaikkan derajatnya di sisi ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Dan ujian yang dihadapi para kekasih ALLAH itu bukanlah ujian biasa. Ini sudah sebagaimana mestinya. Makin tinggi ketaqwaan seseorang, makin berat ujiannya. Seperti yang dialami Abu Abdurrahman Khafifi, seorang waliyullah asal Iraq.

Suatu hari, ia berjalan untuk menunaikan haji. Ketika sampai di Baghdad, ia berfikir layaknya seorang waliyullah, yang menunaikan ibadah haji dengan keteguhan aqidah, mujahadah, dan meninggalkan segalanya selain ALLAH Subhanahu wa Ta’ala.

Selama empat puluh hari ia tidak makan dan minum, dan ia selalu menjaga wudhunya. Ia juga tidak berziarah kepada waliyullah termasyhur di kota itu, Syaikh Junaid Al-Baghdadi, sebagaimana tradisi para sufi waktu itu.

Ia terus melanjutkan perjalannya hingga melintasi perbatasan Baghdad, dan sampailah di sebuah hutan.

Di hutan tersebut, ia melihat seekor rusa yang minum air sumur. Kerana ia juga kehausan, ia pun mendekati sumur itu.

Melihat kedatangan Abu Abdurrahman Khafifi ini, rusa itu merasa terusik dan pergi.

Sesampainya di sumur, saat Abu Abdurrahman hendak menciduk airnya, tiba-tiba air itu surut, hingga tidak terjangkau oleh tangan. Padahal, ketika diminum oleh rusa tadi, air itu bisa minum.

Dalam keadaan haus dan sedih, Abu Abdurrahman berkata, Wahai Tuhanku, ternyata kedudukanku tidak sederajat dengan seekor rusa di sisi-Mu.”

Tiba-tiba saja ada suara di belakangnya, “Wahai Abu Abdurrahman, Kami sebenarnya mengujimu, tetapi kamu tidak sabar, dan kamu mulai mengadukan nasibmu. Pergilah ke sumur itu, dan minumlah airnya. Ketahuilah, rusa datang tanpa membawa kantung air dan tali.”

Ketika sampai di sumur itu, ternyata air sumur kembali seperti semula. Abu Abdurrahman pun minum sepuasnya, kemudian berwudhu, setelah itu memenuhi kantung airnya. Anehnya, hingga sampai di Kota Nabi, Madinah, air itu tidak pernah habis, padahal selama dalam perjalanan airnya selalu diminum dan dipergunakan untuk wudhu.

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia kembali ke kampung halamannya melewati Baghdad. Di Masjid Jami’ Baghdad, ia melihat Syaikh Junaid Al-Baghdadi. Syaikh itu pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdurrahman, seandainya saja engkau bersabar, air yang engkau kantungi itu akan melimpah ruah sampai di telapak kakimu…”

Kelaparan di Masjidil Haram

Cubaan lain yang dihadapi para waliyullah adalah kelaparan. Tidak hanya dalam ukuran jam, tetapi berhari-hari, dan sering. Namun mereka menghadapinya dengan kesabaran dan ketawakalan yang penuh. Seperti yang dialami Syaikh Abu Ya’qub Bashri. Dalam kitab karya Syaikh Muhammad Zakariyya itu, ia bercerita:

Suatu ketika di Masjidil Haram aku mengalami kelaparan selama sepuluh hari, sehingga aku sangat lemah. Hatiku memaksaku untuk keluar dari Masjidil Haram, barangkali aku mendapatkan sesuatu untuk dimakan.

Setelah keluar, aku mendapatkan makanan sejenis lobak yang telah dibuang ke tanah. Aku pun mengambilnya, tetapi aku rasakan di dalam hatiku perasaan tidak enak, seperti ada yang mengatakan “Sudah sepuluh hari kelaparan dan akhirnya hanya mendapatkan masakan sejenis lobak yang sudah hampir busuk”. Oleh kerana itu, aku membuangnya kembali dan kembali ke dalam masjid.

Ketika aku sedang duduk di dalam masjid, muncullah seseorang yang tidak aku kenal mendatangiku dan meletakkan sebuah tas di hadapanku sambil berkata, “Ambillah ini. Di dalamnya ada kantung kulit kecil yang berisi lima ratus dinar. Aku telah bernadzar untuk memberikannya kepadamu.”

Aku pun terheran-heran dan berkata, “Tetapi mengapa khusus untukku? Bukankah engkau tidak mengenalku?”

“Selama sepuluh hari kami tersesat di lautan, sehingga kapal kami hampir tenggelam. Pada waktu itu, setiap orang di antara kami bernadzar. Aku bernadzar kepada ALLAH, jika DIA menyelamatkan aku, aku akan memberikan tas beserta isinya ini kepada orang yang pertama kali aku lihat di antara orang-orang yang ada di Masjidil Haram. ALLAH menyelamatkan kami. Dan engkau adalah orang yang pertama kali aku lihat di masjid ini.”

Aku membuka tas itu. Ternyata di dalamnya, selain wang yang disebutkan tadi, juga ada gula putih, roti, buah badam yang telah dikupas, dan gula merah. Lalu, aku mengambil segenggam dari masing-masing makanan itu. Sisanya aku kembalikan, dan aku berkata, “Aku telah menerima hadish ini. Kuambil sebahagian, ambillah kembali sisanya, dan bagi-bagikanlah kepada anak-anakmu.”

Berjalan Kaki

Di zaman sekarang, pejalanan haji ke Tanah Suci bisa hanya dalam hitungan jam, dan dengan transportasi yang nyaman serta aman. Sedang dulu, jarak tempuhnya sangat jauh. Alat transportasinya pun masih minim. Paling canggih dengan menggunakan kapal layar. Dan waktunya, bisa berbulan-bulan.

Begitu pula yang dialami para kekasih ALLAH Subhanahu Ta’ala. Demi meraih kedekatan dengan-NYA, mereka ada yang mengendarai unta, berjalan kaki, bahkan ada yang merangkak, kerana lumpuh.

Seorang sufi asal Iraq, Syaikh Ali bin Muwaffaq RA, bercerita:

Pada suatu hari, aku pergi haji dengan mengendarai unta. Di tengah jalan, aku bertemu orang yang berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji. Aku senang melihat mereka berjalan. Aku pun turun dari untaku dan berjalan kaki bersama mereka, dan aku biarkan orang lain mengendarai untaku.

Kami berjalan di jalan yang tidak biasa dilewati. Di sebuah tempat, kami berhenti untuk beristirahat. Di dalam tidur, aku bermimpi melihat gadis-gadis mendekati kami dengan membawa air dalam wadah emas dan perak. Mereka membasuh semua kaki orang yang berjalan kaki, kecuali kakiku.

Salah seorang di antara mereka berkata kepadaku, “Kemari….”

Lalu, ia berbicara kepada yang lain, “Ia adalah salah seorang di antara mereka.”

Yang lain menjawab, “Bukan, ia bukan salah seorang di antara mereka, kerana ia mempunyai binatang tunggangan yang bisa dikendarai.”

Gadis itu mendesak, “Tidak, walaupun mempunyai kendaraan, ia memilih berjalan kaki dengan mereka.”

Kemudian mereka datang dan membasuh kakiku sehingga seluruh keletihanku hilang.

Bertahun-tahun Merangkak

kisah yang lebih mengharukan diceritakan oleh seorang sufi asal Iraq, Syaikh Syaqiq Balkhi RA, beliau bercerita:

Dalam perjalanan menuju Makkah, aku melihat seorang yang lumpuh, yang berjalan dengan merangkak. Aku bertanya kepadanya, “Engkau dari mana”?

Beliau menjawab, “Dari samarkand.”

“Sudah berapa lama engkau berjalan meninggalkan samarkand?”

“Sudah lebih dari sepuluh tahun.”

Aku melihat dengan penuh kehairanan dan takjub.

Lalu beliau kembali berkata, “Wahai Syaqiq, mengapa engkau melihatku seperti itu?”

“Aku takjub dengan kelemahanmu dan jauh perjalananmu.”

“Syaqiq kerinduanku telah membuat perjalanan yang jauh menjadi dekat, dan kelemahanku ditanggung oleh Tuanku. Wahai Syaqiq, engkau merasa hairan dengan orang yang lemah yang dibawa oleh ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Wahai Tuhanku, aku sedang berjalan untuk menziarahi-MU, dan tempat-tempat kecintaan sangat sulit untuk dicapai. Akan tetapi, kerinduan akan selalu menolong orang yang tidak pernah ditolong oleh harta.

Orang yang takut binasa di jalan, bukanlah pecinta. Dan dia bukanlah seorang pecinta yang kehendaknya dihalangi oleh kerasnya perjalanan…”

Jalan Menuju Sang Kekasih

Seorang waliyullah lainnya juga bercerita: Aku melihat Syaik Syamnun ketika melakukan thawaf. Beliau berjalan terhuyung-huyung ke kanan dan ke kiri dengan penuh kegembiraan. Aku memegang tangannya dan bertanya, “Demi berdirimu di hadapan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, beritahukanlah kepadaku bagaimana agar sampai kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala?”

Ketika mendengar kata-kata “Berdiri di hadapan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala”, beliau jatuh pengsan. Dan saat sedar, beliau membaca dua bait syair:

Banyak orang tertimpa musibah
Dan badannya penuh penyakit
Hati mereka lebih sakit
Dari hati orang lain

Jika mereka mati
Kerana takut dan gentar
Itu lebih baik baginya
Kerana berdiri di hadapan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala
Pada hari hisab sangatlah sulit

Lalu syaik samnun berkata, “Aku telah memegang lima perkara, telah mengukuhkanya di dalam hatiku.

Pertama, nafsu telah aku bunuh. Dan sesuatu yang telah mati, iaitu hati, telah aku hidupkan.

Kedua, akhirat. Ia kuletakkan di hadapan mataku setiap waktu. Dan sesuatu yang ada di hadapanku, yakni dunia, telah aku campakkan dari diriku.

Ketiga, taqwa. Ia kupelihara dalam diriku. Dan sesuatu yang terkumpul dalam diriku, yakni hawa nafsu, telah aku hapuskan.

Keempat, sesuatu yang aku akrab dengannya, dan sesuatu yang kalian senangi aku takut kepadanya.”

Pada mulanya, beliau menyebutkan lima perkara, tetapi yang dijelaskan hanya empat. Tetapi semuanya itu mempunyai pokok bahasan yang sama, iaitu bagaimana mengendalikan hawa nafsu. Itulah sebabnya, ulama’ mengatakan bahawa jalan menuju ALLAH tidak lebih dari dua langkah. Jika seseorang meletakkan kakinya yang satu di atas hawa nafsunya, yang kedua telah berada di lorong jalan menuju Sang Kekasih.

Bertemunya para Wali

Bagi sebahagian waliyullah, pergi haji ke Tanah Suci pun merupakan sebuah reuni besar. Sebab, di tanah yang penuh berkah itu, tepatnya di Masjidil Haram, para waliyullah, bahkan para nabi dan para malaikat, senantiasa berkumpul, terutama di waktu subuh dan Jum’at, untuk shalat berjemaah.

Hal ini diungkapkan oleh Abdullah bin Shalih, seorang wali yang dikarunia ALLAH nikmat-nikmmat yang khusus. Ia selalu berpindah dari satu kota ke kota yang lain untuk lari dari manusia.

Suatu hari, sampailah ia di Makkah Al-Mukarramah. Ia tinggal di kota suci ini dalam waktu yang sangat lama. Ia berkata kepada sahabatnya, “Mengapa aku tidak pernah tinggal di kota ini, padahal aku tidak pernah melihat kota yang banyak turun rahmat dan keberkahan di dalamnya selain kota ini. Di kota ini, malaikat turun pada waktu pagi dan petang. Di kota ini, aku melihat perkara-perkara ajaib yang sangat besar. Malaikat-malaikat dengan bentuk yang berbeza-beza melakukan thawaf di Baitullah, dan hal itu terjadi terus-menerus tiada henti. Seandainya aku menjelaskan apa yang aku lihat di sini orang yang imannya tidak sempurna, akalnya tidak akan menerimanya.”

Lalu ada seorang sahabatnya bertanya kepadanya, “Demi ALLAH, wahai Abdullah bin Shalil, ceritakanlah kepadaku sebahagian kecil yang telah engkau lihat di sini.”

“Tidaklah seorang wali yang telah sempurna kewaliannya, melainkan ia datang ke kota ini setiap malam Jum’at. Untuk melihat orang-orang itulah maka aku tinggal di kota ini.

Di antara mereka aku mengenai orang bernama Malik bin Qasim Jili RA. Beliau datang, dan dari tangannya keluar bau daging. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Malik, apa engkau baru makan dan langsung datang kemari?’

Ia menjawab, ‘Astaghfirullah, sudah satu minggu aku tidak makan. Aku tadi baru saja memberi makan ibuku, lalu datang kemari. Dan aku cepat-cepat kemari supaya bisa shalat Subuh berjemaah di Masjidil Haram.’

Ketahuilah, wahai sahabatku, jarak antara tempat tinggal Malik dan Makkah Al-Mukarramah adalah 2.700 mil!”

Abdullah pun kembali berkata kepada sahabatnya itu, “Sahabatku, apakah engkau percaya dengan kisah yang aku ceritakan ini?”

“Ya. Aku percaya.”

“Syukurlah, ternyata aku telah berjumpa dengan seorang mukmin. Ketahuilah, terkadang aku melihat para malaikat, para nabi, dan para wali berada di sekitar Ka’bah. Kebanyakan mereka hadir pada malam Jum’at, malam Senin, dan malam Kamis.”

Saling Belajar

Di Tanah Suci, saat para waliyullah dipertemukan oleh ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, di antara mereka pun terjadi komunikasi yang unik dan menarik. Mereka sama-sama saling belajar dan mengingatkan.

Seperti kisah Syaikh Ibrahim bin Adham, seorang sufi yang terkenal dengan kezuhudannya:

Suatu ketika, aku pergi haji pada musim yang sangat panas sehingga aku harus berjalan dengan susah payah. Ketika sampai di Hijaz bahagian tengah, aku terpisah dari kafilah, dan aku sedikit mengantuk. Maka aku pun tertidur.

Ketika mataku terbuka, di hutan itu aku melihat seseorang. Aku buru-buru berjalan ke arahnya.

Setelah dekat, aku melihat seorang anak yang masih belia. Dia sangat tampan, seperti bulan purnama. Wajahnya bersinar.

Aku mengucapkan salam kepadany. Dan dia menjawab, “Ibrahim, Wa’alaikumussalam.”

Aku kehairanan, kerana dia menyebut namaku. Maka aku tidak bisa diam. Dengan penuh kehairanan aku bertanya kepadanya, “Wahai anakku, dari mana engkau tahu namaku, padahal engkau belum pernah melihatku?”

Dia menjawab, “Wahai Ibrahim, sejak mendapat ma’rifat, aku tidak pernah lupa. Dan sejak aku bertemu dengan-NYA, aku tidak pernah berpisah dengan-NYA.”

“Apa yang menyebabkan engkau datang ke hutan ini pada waktu yang sangat panas ini?”

“Sekali-kali aku tidak pernah akrab dengan siapa pun kecuali dengan-NYA. Aku telah mengkhususkan diriku untuk-NYA. Dan aku telah berikrarbahawa DIA-lah Ma’bud (Yang Disembah).”

“Makan minummu dari mana?”

“Kekasih-KU telah menjaminnya.”

“Demi ALLAH, aku khuatir engkau akan binasa kerana perkara-perkara yang aku sebutkan tadi.”

Kemudian dia menangis. Air matanya mengalir di pipinya seperti mutiara yang berjatuhan. Dia lalu bersyair:

Siapakah yang bisa menakut-nakutiku
Dengan kengerian hutan ini?
Padahal hutan ini telah aku jelajahi
Untuk menuju Kekasihku
Dan aku telah beriman kepada-NYA

Kerinduan kepada-NYA
Telah membuatku gelisah
Dan keghairahan semakin penuh

Orang yang menghendaki ALLAH
Sekali-kali tidak takut
Kepada siapa pun

Bila aku lapar
Dengan berdzikir
Perutku akan kenyang
Dan dengan pujian-pujian kepada ALLAH
Aku tidak akan kehausan

Apabila aku lemah
Kerinduan kepada-NYA
Akan membawaku
Dari Hijaz sampai ke Khurasan
Kerana aku masih kecil
Engkau menganggapku remeh

Tinggalkanlah caci makianmu itu
Apa yang seharusnya terjadi
Telah terjadi…

“Demi ALLAH, sebutkan dengan jujur, berapakah umurmu?”

“Engkau telah bersumpah, dan itu aku rasakan sesuatu yang besar. Umurku 12 tahun. Wahai Ibrahim, apa perlunya engkau menanyakan umurku?”

“Aku sangat takjub dengan ucapan-ucapanmu.”

Dia berkata, “Segala puji bagi ALLAH, DIA telah memberiku nikmat yang sangat besar. Dan ini adalah kurnia dari ALLAH.”

“Aku sangat takjub dengan ketampananmu, kelakuanmu, dan perkataan-perkataanmu. SubhanALLAH, alangkah indahnya ciptaan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala.”

Kemudian anak itu mengangkat kepalanya dan memandangku dengan tajam. “Apabila balasanku adalah neraka, itulah kebinasaanku. Pada waktu itu ketampananku menjadi buruk. Dan harus menangis di neraka dalam waktu yang sangat lama. Dan ALLAH, Yang Maha Perkasa, akan berfirman,

“Wahai anak yang paling buruk, kamu tidak taat kepada-KU, dan di dunia kamu selalu melawan-KU.”

Wahai Ibrahim, orang yang ditinggal adalah orang yang telah dipisahkan dari teman-temannya. Dan orang yang sampai adalah orang yang taat kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi Ibrahim malah ketinggalan dari teman-temannya.”

Aku pun berkata, “Ya, aku telah tertinggal dari teman-temanku. Demi ALLAH, aku meminta kepadamu agar berdoa untukku supaya aku bisa menyusul rombonganku.”

Mendengar permintaanku, dia menadahkan tangannya ke langit dan mulai berdoa. Sungguh pelannya, aku hanya melihat gerak bibirnya.

Ketika itulah, aku mengantuk sekali dan tertidur.

Ketika sadar, aku dapati diriku berada di atas untaku di tengah-tengah rombongan. Temanku yang menaiki untaku berkata, “Wahai Ibrahim, hati-hati, jangan sampai engkau jatuh dari unta.”

Aku sendiri tidak tahu ke mana perginya anak itu…

Ketika kami telah menempuh seluruh perjalanan dan sampai di Mekkah, aku masuk ke Masjidil Haram.

Begitu masuk, aku lihat anak lelaki itu sedang menangis sambil memegang kelambu Ka’bah. Dalam tangisannya, dia bersyair:

Aku sedang memegang
Kelambu Ka’bah
Dan sedang menziarahi Baitullah
Tetapi ENGKAU lebih tahu
Apa yang ada dalam hatiku

Aku berjalan kaki menuju Baitullah
Tidak menaiki kenderaan
Meskipun aku masih kecil
Semua itu kerana aku dimabuk cinta

Waktu kanak-kanak
Aku hampir meninggal kerana-MU
Padahal waktu itu
Aku belum mengenal cinta

Apabila orang-orang
Mencaci maki aku atas sesuatu perkara
Aku adalah
Taman kanak-kanaknya cinta

Ya ALLAH, bila ajalku telah tiba
Mungkinkah aku bisa bertemu
Dengan-MU?

Setelah itu, dia bersujud.

Aku mendatanginya. Dan ketika aku goyangkan badannya, ternyata dia telah meninggal dunia.

Aku sangat sedih. Aku kembali ke tempat penginapanku untuk mengambil kain kafan untuknya, dan aku meminta orang-orang untuk membantuku.

Setelah sampai di tempat jenazahnya terletak, ternyata jenazahnya telah hilang.

Aku bertanya kepada jemaah haji yang lain yang ada di tempat itu. Tetapi tidak seorang pun mengetahuinya.

Maka, fahamlah aku bahawa ALLAH Subhanahu wa Ta’ala telah menutupinya dari pandangan manusia.

Hingga pada suatu ketika, tatkala aku tertidur, aku bermimpi melihat anak lelaki itu berada di tengah kumpulan manusia. Dia yang paling tampan. Wajahnya penuh dengan cahaya. Pakaiannya pun sangat indah.

“Nak… bukankah engkau anak lelaki yang aku temui itu?”

“Ya, Ibrahim. Akulah anak lelaki itu.”

“Bukankah engkau telah meninggal dunia?”

“Benar.”

“Aku datang untuk mengkafanimu, tetapi jenazahmu tidak ada.”

“Dengarkanlah, Ibrahim… Dzat yang telah mengeluarkan aku dari kampung halamanku dan telah memikat aku untuk mencintainya, dan telah memisahkan aku dengan sanak saudaraku, sesungguh-NYA DIA-lah yang telah mengkafani aku, dan tidak membiarkan aku menyusahkan orang lain.”

“Apa yang telah dilakukan ALLAH Subhanahu wa Ta’ala kepadamu?”

“ALLAH Subhanahu wa Ta’ala memanggil aku di hadapan-NYA, dan berfirman,

“Apa yang kamu inginkan?”

Maka aku pun menjawab, “ENGKAULAH maksudku dan tujuanku.”

Lalu DIA kembali berfirman, “Engkaulah hamba-KU yang sejati. Tidak ada yang menghalangi segala apa yang kamu minta.”

Aku lalu berkata, “Aku menginginkan supaya syafaatku untuk orang-orang yang hidup pada zamanku ini diterima.”

Lalu ALLAH berfirman, “Syafaatmu untuk mereka semua diterima.”

Setelah bercerita, anak lelaki itu menjabat tanganku. Dan aku terbangun dari tidur. Kemudian aku menyempurnakan rukun-rukun haji yang tersisa. Namun hatiku selalu gelisah manakala mengingat anak lelaki itu.

Setelah selesai haji, aku kembali ke kampung halamanku. Akan tetapi, dalam perjalanan, teman-teman berkata bahawa mereka merasa hairan akan bau wangi di tanganku yang semerbak. Dan bau wangi itu terus keluar dari tangan Ibrahim bin Adham RA hingga dia meninggal dunia.

Demikianlah kisah para wali-wali ALLAH melaksanakan ibadah haji. Mereka menunaikannya dengan penuh kerinduan yang meluap-luap, datang dari berbagai tempat yang jauh dengan berbagai keadaan. Berbagai macam rintangan dan kesulitan pun mereka lalui dengan penuh kesabaran dan tawakal.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design