Keterbatasan Akal dan Kebutuhan Fitrah
Berbagai penemuan Ilmiyah dan berbagai produk teknologi hasil karya manusia selalu mengalami kelemahan dengan berjalannya waktu, teknologi canggih abad 18, akan menjadi teknologi tertinggal di abad 20. Demikian halnya teknologi saat ini, ia akan menjadi karya yang basi pada beberapa abad ke depan. Begitulah kiranya character otak manusia, ia terbatas dengan iringan waktu dan sangat berpotensi untuk memiliki kekurangan.
Akal adalah out put kerja otak. Dan otak manusia adalah salah satu organ yang serupa dengan organ lainnya. Ia memiliki keterbatasan jangkauan layaknya telinga yang tidak sanggup mendengar gelombang suara berfrekuensi rendah dan mata yang tidak sanggup menembus sitar benda yang menghalanginya. Keterbatasan radius yang dapat di jangkau akal, menyebabkan akal tidak sanggup menembus zat Tuhan, karena zat Tuhan berbeda dengan zat manusia.
Secara otomatis, manusia akan sulit memahami zat Tuhan jika hanya dengan kekuatan akal. Pemaksaan terhadap akal untuk memikirkan zat Tuhan hanya memplagiat pemikiran filsafat teologi Yunani yang tidak berakhir pada kesimpulan. Dengan berbagai eksperiment ilmiyah, Akal hanya mampu berkesimpulan bahwa dunia dan seisinya tidak mungkin timbul secara sendirinya, Ia pasti memiliki Pencipta. Kemudian akal mencoba mencari siapa Sang Pencipta tersebut.
Pada proses pencarian, akal-akal manusia hanya menunjukkan variabel ketidakpastian, variabel ini akhirnya tanpa sadar menundukkan akal itu sendiri. Ketika akal tunduk, hati (bac. keyakinan) mulai berperan dan seketika itulah muncul agama-agama yang berbeda Tuhan. Ada Tuhan roh, Tuhan patung, Tuhan matahari, Tuhan Api dan lain sebagainya. Secara logika, akal sangat sulit menerima bahwa roh, matahari, patung dan Api adalah Tuhan yang sebenarnya. Namun kesulitan akal untuk menerimanya diobati dengan kebutuhan fitrah. Fenomena ini mununjukkan bahwa terdapat Fitrah dalam hati manusia, yaitu fitrah pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Mengenal Tuhan Melalui Rasul
Akal telah gagal mencari siapa Tuhan sebenarnya, namun kegagalan akal tidak dapat menghentikan kebutuhan Fitrah untuk mencari-Nya. Dan Tuhan tentunya lebih mengetahui kondisi ciptan-Nya, ia memberikan akal yang tidak sangup memikirkan zat-Nya dan juga memberikan fitrah yang selalu mencari zat-Nya. Merespon kelemahan akal dan kebutuhan fitrah, Tuhan tidak meninggalkan manusia tersesat begitu saja. Dengan kasih sayang-Nya Ia mengutus delegasi untuk memperkenalkan Zat-Nya.Delegasi inilah yang kita kenal dengan sebutan Rasul dan Nabi.
Para delegasi pun tidak di utus tanpa bekal, mereka dibekali suatu hal –kemampuan- yang manusia biasa tidak bisa melakukannya, yaitu mukjizat. Kisah sayembara para penyihir Fir’aun dengan Nabi Musa ‘alaihissalam adalah contoh sederhana dari mukjizat ini. Ketika Fir’aun memerintahkan para penyihirnya untuk menampilkan atraksi, mereka segera melemparkan tongkat dan seketika itu tongkat berubah menjadi ula-ular yang sama besar denga tongkat tersebut.
Kemudian saat tiba giliran Musa melemparkan tongkatnya, tongkat berubah menjadi ular besar yang memakan semua ular-ular kecil milik penyirhir Fir’aun. Keajaiban itu, membuat para penyihir Fir’aun –yang ahli persihiran- mengakaui bahwa atraksi Musa adalah di luar kemampuan manusia biasa. Sketika itu juga, mereka tersungkur dengan bersujud seraya berkata: “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa. (Lih. Thaahaa: 65-71). Subhanallah..!!! demikianlah cermin reaksi Fitrah ketika menemukan Tuhan yang sebenarnya. Fitrah ini membuat manusia tersungkur dan bersujud.
Ketika Allah mengutus Rasul, keterbatasan akal terjawab dan kebutuhan Fitrah mansuia terpenuhi. Manusia mulai mengenal jalan kebenaran dan beribadah dengan tuntunan yang benar. Tata cara dan bacaan Ibadah langsung diajarkan Oleh Tuhan melalui delegasi-Nya. Praktek persembahan sesajen kepada roh, menaruh darah di tempat khusus, menyembah patung dan sujud kepada matahari serta api yang kesemuanya adalah bentuk ibadah produk manusia, telah digantikan dengan tata cara ibadah produk Ilahi. Yaitu, dengan cara yang suci, bacaan yang suci dan keadaan jasmani yang suci.
Mengenal Tuhan melalui Wahyu Ilahi
Para delegasi, selain dibekali mukjizat juga dibekali kitab suci yang menyimpan hakikat zat Tuhan. Kitab itu juga berisi tentang tata cara berinteraksi manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan manusia bahkan manusia dengan alam sekitarnya. Ibrahim dibekali dengan shuhuf, Daud dengan Zabur, Musa dengan Taurat, Isa dengan Injil. Kitab-kitab inilah sesungguhnya yang berperan sebagai pembimbing fitrah dan akal dalam mencari Tuhan-Nya pasca sepeningglan para Rasul. Karena Rasul juga adalah manusia biasa, ia pasti akan mengalami kematian, namun kitab akan tetap “awet” seiring perkembangan zaman.
Sepeninggalan Musa hanya Tauratlah yang mampu menjawab keterbatasan akal dan mememuni kebutuhan fitrah dalam menemukan Tuhan yang sebenarnya. Namun kitab tersebut mengalami distorsi oleh tangan-tangan generasi setelah nabi Musa ‘alaihissalam. Sehingga manusia kembali tersesat, Di saat tersesat Allah kembali menurunkan para Nabi; iLyas, Ilyasa, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Yunus, Zakariya, Yahya dan sampai akhirnya tiba masa Nabi Isa ‘alaihissalam. Pasca sepeninggalan Nabi Isa, Injil mengalami hal yang sama dengan Taurat. Penyimpangan yang dilakukan pengikut Musa dan Isa terhadap Injil dan Taurat, menghilangkan peran kitab-kitab tersebut sebagai petunjuk kebenaran. Hasilnya, manusia kembali tersesat
Eksperimen ilahi telah membuktikan. Pasca menigggalnya Nabi Isa ‘alaihissalam, selama 600 tahun Allah tidak mengutus Rasul untuk menunjukkan jalan kebenaran sementara kitab suci telah mengalami distorsi. Namun fakta mengabarkan, manusia gagal. Pada masa 6 abad ini, banyak manusia yang kembali menyembah patung-patung dan berhala. Kaum Masehi juga mengalami problema teologi pada akhir abad ketiga setelah kematian Isa.
Mengatasi Problema ini, terpaksa mereka selesaikan dengan cara melakukan Konfrensi Nicea pada 325 M. pada titik ini, suatu kesalahan besar dilakukan pengikut masehi, yaitu mengenyampingkan kitab suci dalam memahami Teologi. Sehingga timbul Konsep Trinitas yang selanjutnya dicantumkan ke dalam kitab suci mereka versi distorsi. Aliran Masehi yang masih berpegang keyakinan monoteisme seperti, Arius, Abiun dan Syimsyati, kian runtuh pasca penetapan konsep Trinitas di kalangan pemeluk Masehi.
Peralihan Konsep Tuhan yang dialami penganut Masehi dari monoteis menuju Trinitas adalah dampak dari kesalahan berpijak. Ketika akal dijadikan dasar berpijak dalam memahami teologi, kemudian kitab suci dijadikan notebook untuk mencatat buah pemikiran teologi yang dihasilkan, maka akan terjadi kesenjangan pada konsep teologi yang dihasilkan. Karena lagi-lagi akal tidak akan pernah mampu merumuskan konsep Teologi. Sebaliknya, ketika Kitab suci dijadikan dasar berpijak, maka manusia tidak akan pernah mengalami problema teologi.
Kebenaran Islam.
a. Islam; Agama Produk Tuhan
Perbedaan Zat Tuhan dengan zat manusia, secara otomatis mengeluarkan sifat Tuhan dari “Sunnah kehidupan manusia”. Artinya, jika manusia bersifat lemah, kurang, terbatas dan lalai maka Tuhan terbebas dari sifat itu. Dan jika manusia bersifat cerdas, kuat, tahu dan teliti, Tuhan memiliki sifat “Maha” -yang lebih- dari kecerdasan, kekuatan, pengetahuan dan ketelitian manusia. Dari sini jelas bahwa kesempurnaan dan kebenaran hanya milik Tuhan. Jikalau kebenaran adalah dari manusia, sementara ia bersifat lemah. Maka kebenaran versi mansuai akan memiliki kecacatan. Kecacatan ini yang terkadang ditutupi oleh nafsu manusai sehingga terjadi kleim pembenaran.
Suatu benang merah dapat kita tarik, bahwa syarat utama kebenaran sebuah agama adalah, ia harus bersumber dari Tuhan yang mengetahui kebenaran hakiki, maka Dialah yang membuat jalan menuju kebenaran tersebut, Islam ialah Jalannya. Dia juga yang mengaturnya dan membuat undang-undangnya. Semua itu didesain Oleh Tuhan (Allah) untuk kebaikan manusia dan menunjukkan manusia kepada jalan kebenaran.
Ajaran Islam telah disesain sedimikan rupa. Islam menjawab permasalan Teologi dengan konsep ke-Esaan Tuhan. Menjawab kebutuhan fitrah dengan menunjukkan tata cara interaksi dengan Ilahi (bac. Ibadah). Menunjukkan jasmani untuk mengkonsumsi yang baik dan meninggalkan yang buruk demi keseimbangan. Merespon kondisi psikologi manusia dengan mengajarkan konsep tawakkal kepada Ilahi. Memberikan undang-undang ekonomi dengan melarang praktek riba, karena ia merugikan pihak tertentu. Membimbing kehidupan sosial dengan mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kesopanan, kedermawanan, kasih sayang dan budi pekerti.
b. Al-Quran; Problem Solver Akal dan Fitrah Manusia
Adalah hikmah ilahiyah, setelah manusia gagal mencari kebenaran selama 600 tahun tanpa Rasul dan wahyu ilahi, Allah mengutus Rasul terakhir-Nya sebagai penutup dari rasul-rasul sebelumnya. Ialah Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu perbedaan antara Rasul terakhir, Muhammad, dengan Rasul-rasul sebelumnya, ialah Allah menjadikan kitab suci yang dibekali kepadanya bukan sekedar panduan, tetapi juga sebagai mukjizat.
Kemukjizatan Al-Quran tercermin dari keoutentikannya yang tetap terjaga tanpa mengenal tempat dan waktu. Al-Quran akan terus terjaga, dimana penjagaannya bukan hanya dari segi cetakan namun ia tersimpan dalam lubuk hati ribuan manusia. Kerana ketika Al-Quran mengalami distorsi seperti injil dan taurat, maka peran Al-Quran sebagai problem solver Akal dan Fitrah Manusia akan hilang, sementara Muhammad Adalah Rasul Terakhir.
Keberadaan buku-buku ilmiyah kontemporer abad modern dengan berbagai spesialisasi ilmu; Biologi, mokrobiologi, astronomi, geologi, psikologi dan manuskrip-manuskrip lain yang mengisyaratkan experimen modern, tidak akan pernah mampu menunjukkan manusia kepada jalan kebenaran tanpa keberandaan Al-Quran. Sebaliknya, Al-quran tanpa satupun dari buku-buku tersebut akan mampu menghantarkan manusia kepada jalan kebenaran.
Peran Al-Quran sebagai pemandu menuju kebenaran sejak turun, saat ini dan sampai akhir zaman akan tetap eksis. Ketika kandungannya diteliti dan dipelajari seiring waktu, manusia semakin yakin akan kebenaran isi kandunganya. Dua hal yang terdapat dalam Al-Quran dan tidak ada dalam kitab lainnya:
1. Membimbing fitrah dalam memahami hal metafisika
2. Meneyeru akal untuk berfikir dan meneliti semua hal berbentuk fisik.
Dua point ini memiliki kesesuaian dengan character mahkluk manusia, maka tidak heran jika banyak manusia yang masuk ke dalam agama Islam setelah mengtahui isi kandungan Al-Quran.
c. Cahaya Islam menembus Fitrah-Fitrah Manusia Se-Dunia
“Apakah Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang? “Bahkan bertambah” Apakah ia pernah berdusta sebelum ia menyampaikan ajaran tersebut?? “Tidak”. (HR. Bukhari Muslim)
Teks di atas adalah petikan dari dialog antara Raja Romawi Hereaclus dengan Abu Sofyan.
Terjadinya dialog tersebut adalah respon Raja Romawi terhadap Surat yang disampaikan kepadanya dari Muhammad Rasulullah SAW. Abu Sofyan dengan sekelompok musyrikin mekah pergi ke Negri Syam untuk melakukan perniagaan, ketika kami berdagang di Syam, tiba-tiba datang sekelompok pasukan Herakles. Mereka bertanya kepada masyarakat pasar, “apakah di pasar ini ada bangsa Arab?? Kemudian masyarakat pasar memberitahukan mereka ke arah Abu Sofyan dan kaumnya. Sehingga Abu sofyan ditangkap dan dibawa ke kerajaan Romawi. Di dalam kerajaan itulah terjadi dialog tersebut dengan disaksikan para pembesar kerajaan dan pembesar agama.
Ketika Abu sofyan ditanya “Apakah Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang?” Ia menjawab “Bahkan bertambah”. Heraeclus berkomentar “Begitulah iman, ia akan terus tetap sampai sempurna”.
Jawaban dan komentar ini sungguh sangat nyata dan benar adanya. Islam berawal dari lembah Mekah yang jauh tertinggal oleh kemegahan peradaban Romawi dan Persia saat itu. Namun cahaya kebenarannya tidak ada yang mampu menahannya walau musuh sekalipun, ia menembus fitrah-fitrah manusia di sekelilingnya. Kaum perisa yang diawali oleh Salman Alfarisi dan Romawi oleh Shuhaib Ar-Rumi akhirnya meyakini kebenaran ajaran Islam dan menjadi unsur penyebaran ajaran Islam itu sendiri. Dengan seiring waktu cahaya kebenaran Islam terus terpancar menembus batas benua-benua di dunia.
d. Kejujuran; Title Pembawa Ajaran Islam
Ketika Abu Sofyan ditanya Apakah ia pernah berdusta sebelum ia menyampaikan ajaran tersebut?? Ia menjawab “tidak” Kemudian Herakles berkomentar “Ketahuilah, bahwa dia yang tidak pernah berdusta kepada manusia, maka dia tidak akan pernah berdusta kepada Tuhannya (allah), karena yang dibawanya adalah Ajaran Tuhannya (Allah)”
Pembawa Ajaran Ini adalah manusia di dunia yang tidak pernah berdusta, baik sebelum diangkat sebagai Rasul atau sesuadah. Semenjak Lahir Muhammad Rasulullah terkenal dengan kejujuran, amanah dan kesopanan. Title itu diberikan khusus kepadanya oleh masyarakat Mekah dimasanya, bahkan Abu Sofyan yang saat itu masih dalam Keadaan Kafir mengakui kejujuran Rasulullah SAW. Kejujurannya pun berbuah kepercayaan kaum Yahudi untuk menitipkan barang mereka kepada Nabi Muhammad SAW.
Kejujuran Pembawa ajaran Islam menyatakan kebenaran yang dibawanya. Cahaya kebenaran Islam ini memberikan power keberanian kepada Rasulullah untuk mengajak raja sekalipun. Bukan hanya Raja Romawi yang diajak kejalan-Nya bahkan Raja Persia juga menerima surat darinya.
Selain kejujuran, sampai saat ini biografinya begitu jelas, tanggal lahir, kematian sampai sifat-sifat mulainya, semua tertulis di banyak buku sirah nabawiyah dalam berbagai literasi bahasa. Melalui buku-buku tersebut kita akan mengetahui siapa sesungguhnya Muhammad bin Abdullah. Menanggapi pertanyaan itu ‘Aisyah pun pernah berkomentar “Pribadinya adalah Al-Quran”
Jikalau saat ini ada yang mengatakan bahwa Rasulullah penyihir dan Al-Quran adalah produknya. Itu adalah Fitnah. Sesungguhnya usaha itu sebenarnya sudah dilakukan oleh para pembenci Islam semenjak beliau hidup. Saat ini, di ketiadaan beliau, mereka mencoba menghapuskan sosok Muhammad dari benak hati umat Islam. Pada Hakikatnya, hati mereka mengakui kejujuran dan keberan ajaran Muhammad, namun nafsu-nafsu membutakan mata hati mereka.
“Sebahagian besar Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Baqarah: 109).
0 komentar:
Posting Komentar