Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Kamis, 23 Desember 2010

Pro dan Kontra umat islam tentang ikut merayakan natal

Pada era 1980-an umat Islam dianjurkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengikuti perayaan Natal bersama dengan dalih mengidupkan toleransi dan kerukunan umat beragama.

Anjuran tersebut tentu saja meresahkan kalangan umat Islam. Kenyataannya anjuran itu bukannya melahirkan sebuah toleransi terhadap umat agama lain namun justru memicu ketegangan dan disharmoni di kalangan internal umat Islam kala itu. Tata cara dan aturan peribadatan dalam Islam merupakan konsep yang otentik dan telah final sejak masa Rasulullah saw, termasuk menyangkut pola hubungan umat Islam dengan umat agama lain. Dalam dimensi peribadatan Islam, sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah, juga mencakup konsep al-wala’ dan al-bara’, dimana kaum muslimin dituntut untuk dapat menempatkan diri secara tepat dalam kerangka sebuah loyalitas dan anti-loyalitas. Dari segi loyalitas, seorang muslim yang taat tidak dimungkinkan untuk menghadiri ibadah umat beragama lain.

Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi umat Islam kala itu, segera mengambil tindakan untuk mengatasi keruwetan yang terjadi dengan melahirkan fatwa terkait dengan peristiwa tersebut. Tepatnya, pada 1 Jumadil Awal 1401 H atau 7 Maret 1981, secara resmi MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya mengikuti perayaan Natal bersama. Hal ini dilakukan oleh Majelis Ulama sebagai upaya agar umat Islam tidak terjebak dalam perkara yang syubhat (meragukan) dan terjerumus ke dalam larangan Allah. Natal bersama telah banyak disalah mengerti oleh umat Islam seperti merayakan maulid nabi Muhammad, sehingga tidak sedikit kalangan muslim yang mengikutinya. Padahal perayaan natal bagi umat Kristen merupakan ibadah ritual.

Muslim bukanlah umat tanpa toleransi, justru Islam-lah, satu-satunya ajaran yang telah mengajarkan toleransi dari teori sampai prakteknya. Permasalahannya apakah menghadiri perayaan Natal bersama merupakan satu-satunya manifestasi dan bukti kerukunan antar umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen ?

Menteri Agama pada waktu itu Letjen (Purn.) A. Alamsyah Prawiranegara, menyatakan keberatan atas fatwa yang dikeluarkan MUI dan memintanya untuk dicabut. Alasannya, tidak jauh berbeda, fatwa tersebut dianggap berpotensi sebagai pemantik konflik yang pada giliran selanjutnya akan merusak kerukunan umat beragama. Keruwetan tersebut pada akhirnya berujung pada pengunduran diri Prof. Dr. (Buya) HAMKA sebagai ketua MUI. Beliau lebih memilih meletakkan jabatan dari MUI ketimbang mencabut fatwa yang bertujuan menjamin kemaslahatan keyakinan umat Islam tersebut.

Beberapa tahun silam, dengan menghasung slogan toleransi dan kerukunan umat beragama yang sama, kaum liberal di Indonesia menyerukan umat Islam mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristen yang merayakannya. Agaknya seruan ini juga merupakan tindak lanjut dari upaya-upaya “membina” kaum muslimin, yang sebelumnya yang dianggap kurang berhasil. Seruan tersebut terekam dalam sebuah buku ‘khusus’ bernama “Fiqh Lintas Agama”. Buku tersebut menyatakan bahwa dengan tujuan kemashlahatan dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan “selamat Natal” adalah diperbolehkan. Pendapat tersebut diperkuat dengan argumentasi teologis bahwa umat Islam hendaknya mengenang dan menghayati ucapan selamat natal yang diucapkan oleh Nabi Isa dalam Al Quran sebagai berikut : “Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku, dan kebangkitanku kelak”. (QS. 19:33).

Fakta-fakta di atas merupakan gejolak yang berkembang di kalangan kaum muslimin sendiri. Kebanyakan disuarakan oleh intelektual muslim yang telah terpengaruh oleh pemikiran barat sekuler. Namun upaya menarik umat Islam ke dalam ketegangan antar umat beragama tersebut nampaknya bukan hanya bersal dari kalangan Islam. Berdasarkan observasi yang telah penulis lakukan dan serangkaian pengamatan terhadap media massa dan fakta di lapangan, sejumlah gereja juga melakukan upaya yang kurang lebih sama. Beberapa gereja turut terlibat mengundang kaum muslimin yang awam untuk mengikuti kebaktian dalam perayaan Natal. Bahkan tidak jarang dengan iming-iming imbalan yang bersifat materi. Bahkan beberapa waktu lampau sebagian umat Islam juga telah mendapatkan buku tulisan dari Pendeta Poernomo Winangoen yang berjudul “Selamat Natal dalam Al Quran”. Isinya tidak terlalu jauh dari apa yang telah ditulis kaum liberalis di Indonesia. Sebuah peragaan penafsiran Al Quran yang gegabah dan sarat muatan kepentingan. Fakta-fakta lapangan yang demikian jelas bukan lagi merupakan wilayah netral atas nama toleransi dan kerukunan umat beragama. Namun telah menjurus ke dalam hegemoni atau lebih tepatnya tirani salah satu agama atas umat agama yang lain.

Pertanyaan besar yang mengemuka adalah apakah penolakan MUI terkait keikutsertaan menghadiri undangan prosesi Natal bersama dan pemberian ucapan Selamat natal, lantas mendudukkan kaum muslimin sebagai intoleran ? Sebaliknya, apakah dengan melakukan kedua hal tersebut, lantas kaum muslimin akan mendapatkan persdikat sebagi umat yang toleran ? Tentu saja jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah tidak. Secara normatif, alasan keberatan umat islam mengikuti ritual natal dan penolakan mereka untuk memberikan ucapan selamat natal juga harus diakomodasi dan mendapat porsi pencermatan lebih mendalam. Dengan demikian tidak terjadi penyudutan secara sepihak terhadap umat Islam sebagai pihak anti-toleransi dan kontra terhadap kerukunan antar umat beragama. Apalagi jika alasan sebenarnya justru terletak pada keyakinan yang mendasar terhadap ajaran agamanya.

Terkait dengan kehadiran dalam perayaan Natal bersama, umat Islam telah memperoleh status hukum agama yang tegas melalui fatwa ulama MUI bahwa hukum menghadiri acara tersebut adalah haram. Fatwa tersebut belum dicabut hingga hari ini, sehingga konsekuensi hukumnya bagi seorang muslim tetap berlaku. Akan tetapi terkait dengan pengucapan selamat Natal memang belum mendapatkan penegasan berupa fatwa sebagimana perayaan natal bersama. Namun demikian bukan berati bahwa hukumnya tidak ada atau tidak dapat dijelaskan. Maka, kehadiran tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah usaha untuk memaparkan kesulitan umat Islam yang menyebabkan mereka terlarang untuk mengucapkan selamat Natal kepada penganut agama Kristen. Diharapkan tulisan ini bukan hanya akan memberikan pemahaman terhadap kalangan muslim yang masih awam terhadap hal tersebut sekaligus memberikan pengertian terhadap umat Nashrani bahwa sikap muslim yang menolak memberi ucapan selamat Natal semata-mata merupakan bentuk konsekuensi logis umat Islam atas keimanannya terhadap sumber hukum Islam, yaitu Al Quran. Sekali lagi, bukan karena umat islam berusaha memposisikan diri sebagai umat yang anti toleransi dan anti kerukunan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design