KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Hak-Hak Suami Atas Isteri
Sesungguhnya hak suami atas isteri mempunyai kedudukan yang sangat
agung, sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh
al-Hakim dan selainnya dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu,
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ لَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ فَلَحَسَتْهَا مَا أَدَّتْ حَقَّهُ.
“Hak bagi seorang suami atas isterinya adalah jika saja ia (suami)
mempunyai luka di kulitnya, kemudian sang isteri menjilatinya, maka pada
hakikatnya ia belum benar-benar memenuhi haknya.” [1]
Di antara hak-hak suami atas isterinya adalah sebagai berikut :
1. Wanita yang cerdas dan pandai akan mengagungkan apa yang telah
diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menghormati suaminya dengan
sebenar-benarnya, ia bersungguh-sungguh untuk selalu taat kepada suami,
karena ketaatan kepada suami termasuk salah satu di antara syarat masuk
Surga. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّتِ اْلمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ
فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ
أَيِّ أَبْوَابِهَا شِئْتِ.
“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di
bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat terhadap suaminya, maka
akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu
mana saja yang engkau kehendaki.’”[2]
Perhatikanlah wahai wanita muslimah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
menjadikan ketaatan kepada suami termasuk syarat masuk Surga seperti
halnya shalat dan puasa. Maka dari itu taatlah kepada suami dan
janganlah engkau mendurhakainya, karena di balik kedurhakaan isteri
kepada suami terdapat kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'alal
.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى
فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ
سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا.
“Dan Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami
mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia menolaknya kecuali Yang ada
di langit murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” [3]
Maka kewajibanmu sebagai seorang isteri wahai para wanita muslimah
adalah untuk selalu mendengar dan taat terhadap setiap perintah suami
selama tidak menyelisihi syari’at. Akan tetapi berhati-hatilah, jangan
sampai engkau berlebih-lebihan dalam mentaati perintah suami sehingga
mau mentaatinya dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya jika melakukan
hal tersebut, maka engkau telah berdosa. Sebagai contoh: apabila engkau
mentaati perintahnya agar menghilangkan alis mata wajahmu untuk
memperindah diri di hadapannya. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam melaknat an-Naamishah (wanita yang mencabut alis matanya) dan
al-Mutanammishah (wanita yang minta dicabuti alis matanya).[4]
Atau sebagai contoh yang lain: engkau mentaati perintahnya menanggalkan
jilbab tatkala keluar rumah karena suamimu mau berbangga diri dengan
memperlihatkan kecantikanmu di depan orang banyak. Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ
مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ،
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ
كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ
يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا
وَكَذَا.
“Terdapat dua golongan dari umatku sebagai penghuni Neraka yang tidak
pernah aku lihat sebelumnya, yaitu suatu kaum yang memegang cambuk
seperti ekor sapi lalu mencambukkannya ke tubuh manusia. Dan sekelompok
wanita yang mengenakan pakaian tetapi telanjang, mereka miring, kepala
mereka seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk Surga, bahkan tidak
akan dapat mencium baunya. Sesungguhnya bau Surga itu dapat tercium dari
jarak perjalanan segini dan segini” [5]
Atau engkau hendak diajak bersetubuh pada saat haidh atau pada apa yang tidak dihalalkan oleh Allah.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ.
“Barangsiapa yang mendatangi isterinya pada waktu haidh atau lewat
duburnya atau mendatangi dukun, kemudian mempercayai apa yang ia
ucapkan, maka ia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan kepada
Muhammad (al-Qur-an).”[6]
Atau mau mentaatinya untuk menampakkan diri di tengah-tengah kaum pria
yang bukan mahram dan bercampur-baur serta bersalaman dengan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih
suci bagi hatimu dan hati mereka." [Al-Ahzaab: 53]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ.
“Janganlah kalian masuk ke tempat para wanita (yang bukah mahram)!”
Di antara para Sahabat ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana
dengan al-Hamwu (yaitu kerabat suami, seperti saudara laki-laki, anak
saudara laki-laki, paman, anak paman atau selain dari mereka)?” Beliau
bersabda:
اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ.
“Al-Hamwu (ipar) adalah bencana.”
Dan qiyaskan apa yang telah disebutkan di atas dengan segala macam sikap
ketaatan kepada suami yang menyelisihi syari’at Rabb-mu, maka jangan
sampai karena merasa wajib taat kepada suami sehingga mau mentaatinya
meskipun dalam hal kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanya ada pada
yang ma’ruf dan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan
terhadap al-Khaliq.
2. Di antara hak suami atas isteri, seorang isteri harus menjaga
kehormatan dan memelihara kemuliaannya serta mengurusi harta, anak-anak
dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
"Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka)."[An-Nisaa’: 34]
Dan sabda Rasulullah :
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِيْ بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” [8]
3. Berhias dan memperindah diri untuk suami, selalu senyum dan jangan
bermuka masam di depannya. Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak
ia sukai. Ath-Thabrani telah mengeluarkan sebuah hadits dari ‘Abdullah
bin Salam Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِكَ.
“Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika
engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.”
[9]
Dan sungguh mengherankan sekali jika ada wanita yang tidak memperhatikan
penampilan dirinya pada saat di rumahnya di mana ia sedang bersama
suami, namun pada saat keluar rumah ia mempercantik diri dan menampakkan
perhiasannya, sampai-sampai benarlah apa yang dikatakan oleh orang
tentang perempuan seperti ini, yaitu, “Seperti kera dalam rumah akan
tetapi seperti kijang bila di jalan.” Oleh karena itu, takutlah engkau
wahai wanita hamba Allah, takutlah kepada Allah pada dirimu dan suamimu,
karena sesungguhnya suami adalah orang yang paling berhak untuk melihat
dan menikmati penampilan indahmu. Janganlah engkau sekali-kali
menampakkan perhiasan pada orang yang tidak boleh melihatnya, karena hal
itu adalah merupakan perkara yang diharamkan.
4. Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk pergi ke masjid kecuali atas izin suami.
Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu." [Al-Ahzaab: 33]
5. Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali
atas izinnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرَشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ.
“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke
dalam kamar tidur kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka
tidak mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang yang tidak
kalian sukai.” [10]
6. Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali
dengan izinnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُنْفِقِ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ
زَوْجِهَا قِيْلَ: وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَلِكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا.
“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya
kecuali atas izinnya.” Kemudian ada yang bertanya, “Tidak juga makanan?”
Beliau menjawab, “Bahkan makanan adalah harta yang paling berharga.”
[11]
Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan
harta miliknya jika ia mempunyai harta kecuali jika sang suami
mengizinkannya, karena dalam sebuah hadits yang lain Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَنْتَهِكَ شَيْئًا مِنْ مَالِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا.
“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali dengan izin suaminya.” [12]
7. Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami
berada di rumah kecuali atas izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.” [13]
8. Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan
dari hartanya untuk suami maupun keluarga, karena menyebut-nyebut
pemberian akan dapat membatalkan pahala. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si
penerima)." [Al-Baqarah: 264]
9. Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani
suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." [Ath-Thalaq: 7]
10. Isteri harus bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya dengan
kesabaran. Janganlah ia marah kepada mereka di depan suami dan jangan
memanggil mereka dengan kejelekan maupun mencaci-maki mereka, karena
yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami. Dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ
مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا
هُوَ دَخِيْلٌ عِنْدَكَ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكَ إِلَيْنَا.
“Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia kecuali isterinya
dari para bidadari akan mengatakan kepadanya, ‘Janganlah engkau
menyakitinya (suami) atau Allah akan mencelakakanmu. Ia adalah simpanan
bagimu yang sebentar lagi meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.’”
[14]
11. Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat
suami, karena sesungguhnya isteri tidak dianggap berbuat baik kepada
suami jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya dengan kejelekan.
12. Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan
intim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ
فَبَاتَ غَضْبَانٌ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia
menolak untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang malam, maka para
Malaikat melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu pagi.” [15]
Dan di dalam hadits yang lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ.
“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka
hendaknya sang isteri melayaninya meskipun ia sedang berada di atas
unta.” [16]
13. Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga,
janganlah sekali-kali ia menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang
paling penting yang sering diremehkan oleh para isteri sehingga ia
menyebarluaskannya kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di
ranjang suami isteri. Sungguh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah melarang hal demikian.
Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anhuma bahwasanya pada suatu saat ia
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabat dari
kalangan laki-laki dan para perempuan sedang duduk-duduk. Beliau
bersabda, “Apakah ada seorang laki-laki yang menceritakan apa yang telah
ia lakukan bersama isterinya atau adakah seorang isteri yang
menceritakan apa yang telah ia lakukan dengan suaminya?” Akan tetapi
semuanya terdiam, kemudian aku (Asma’) berkata, “Demi Allah wahai
Rasulullah, sesungguhnya mereka semua telah melakukan hal tersebut.”
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian melakukannya, karena sesungguhnya yang demikian itu seperti
syaitan yang bertemu dengan syaitan perempuan, kemudian ia menggaulinya
sedangkan manusia menyaksikannya.” [17]
14. Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan
kehidupan rumah tangga bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai
tanpa ada alasan yang disyari’atkan.
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.” [18]
Dan dalam hadits yang lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.
“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang munafik.” [19]
Inilah -wahai muslimah- hak-hak suamimu atas dirimu.
Bersungguh-sungguhlah dalam menunaikan hak-hak tersebut dan lupakanlah
jika suamimu kurang dapat memenuhi hak-hakmu, karena sesungguhnya yang
demikian itu akan dapat melanggengkan cinta dan kasih sayang di antara
kalian, dapat memelihara keharmonisan rumah tangga sehingga dengannya
masyarakat akan menjadi baik pula.
Dan bagi para ibu harus memahami bahwa sesungguhnya di antara kewajiban
mereka adalah memberikan pengertian kepada anak-anak perempuan mereka
tentang hak-hak suami mereka, hendaklah setiap ibu selalu mengingatkan
anak perempuannya akan hak-hak tersebut sebelum ia memasuki jenjang
pernikahan. Hal ini merupakan Sunnahnya para wanita Salaf Radhiyallahu
‘anhunna, sebagaimana diceritakan bahwasanya ‘Amr bin Hajr, Raja Kindah
meminang Ummu Iyash binti ‘Auf as-Syaibani, maka tatkala datang waktu
pernikahannya, Ibu dari Ummu Iyash yang bernama Umamah binti al-Harits
memberikan beberapa wasiat kepadanya tentang pokok-pokok dasar kehidupan
rumah tangga yang harmonis dan tentang apa yang wajib dilakukannya bagi
suaminya. Ia berkata, “Puteriku, sesungguhnya wasiat ini jika aku
tinggalkan karena keutamaan suatu adab, maka niscaya aku akan
meninggalkan adab tersebut karena dirimu. Akan tetapi wasiat ini
merupakan peringatan bagi orang yang lalai dan penolong bagi orang yang
berakal. Kalaulah seorang isteri tidak membutuhkan suaminya untuk
mencukupi kedua orang tuanya dan mereka berdua sangat butuh kepadanya,
maka engkau telah menjadi manusia yang paling tidak bergantung kepada
suami. Akan tetapi wanita itu diciptakan untuk laki-laki dan laki-laki
pun diciptakan untuk wanita. Puteriku, engkau akan meninggalkan rumah
tempat kelahiranmu dan tempat tinggalmu selama ini menuju rumah yang
belum engkau ketahui keadaannya untuk menyertai kawan hidup yang belum
engkau ketahui kebiasaannya, sehingga engkau menjadi pengawas dan
pemilik kerajaan suamimu. Karena itu lakukanlah beberapa perbuatan.
Jadilah engkau seorang budak baginya, maka ia akan menjadi budak bagimu.
Jagalah sepuluh perkara baginya agar ia menjadi simpananmu yang
berharga.
Yang pertama dan kedua: Tunduklah kepadanya dengan menerima apa adanya
dan dengarlah baik-baik ucapannya serta taatilah perintahnya.
Ketiga dan keempat: Perhatikan baik-baik kedua mata dan penciumannya.
Jangan sampai ia melihatmu dalam keadaan berpenampilan buruk dan jangan
sampai ia mencium kecuali bau harum dari wangi tubuhmu.
Kelima dan keenam: Perhatikan baik-baik waktu tidur dan makannya, karena
sesungguhnya jika seorang merasa lapar, maka emosinya akan mudah
terbakar dan jika tidurnya merasa terganggu, maka ia akan mudah marah.
Ketujuh dan kedelapan: Jagalah baik-baik hartanya, kehormatannya dan
keluarganya. Cara terbaik menjaga hartanya adalah menghematnya dan cara
terbaik menjaga keluarganya adalah mendidiknya dengan baik.
Kesembilan dan kesepuluh: Janganlah engkau menentang perintahnya sedikit
pun dan jangan pula membuka rahasianya. Apabila engkau menentang
perintahnya, maka engkau menyakiti hatinya. Apabila engkau membuka
rahasianya, maka engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya. Janganlah
engkau bergembira dihadapannya ketika ia susah dan janganlah engkau
susah dihadapannya ketika ia bergembira.” [20]
((Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa))
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3148)], Ahmad (XVI/227, no. 247).
[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 660)], Ahmad (XVI/228, no. 250).
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7080)], Shahiih Muslim (II/ 1060, no. 1436 (121)).
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VIII/630, no. 4886), Shahiih
Muslim (III/1678, no. 2125), Sunan Abi Dawud (XI/225, no. 4151), Sunan
an-Nasa-i (VIII/146), Sunan at-Tirmidzi (IV/193, no. 2932), Sunan Ibni
Majah (I/640, no. 1989).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3799)], [Mukhtashar Shahiih Muslim 1388], Shahiih Muslim (III/1680, no. 2128).
[6]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 31], Sunan Ibni Majah (I/209, no.
639), Sunan at-Tirmidzi (I/90, no. 135) tanpa kalimat “Fashaddaqahu bima
yaquul”.
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/330, no. 5232), Shahiih
Muslim (IV/1711, no. 2172), Sunan at-Tirmidzi (II/318, no. 1181).
[8]. Bagian dari hadits “Warrajulu raa’in”.
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3299)].
[10]. Bagian dari hadits yang telah lalu yaitu “‘Alaa inna lakum ala nisaa-ikum haqqan.”
[11]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1859)], Sunan at-Tirmidzi
(III/ 293, no. 2203), Sunan Abi Dawud (IX/478, no. 3548), Sunan Ibni
Majah (II/770, no. 2295)
[12]. Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits
ash-Shahiihah (no. 775), beliau berkata, “Telah dikeluarkan oleh Tamam
dalam al-Fawaa-id (II/182, no. 10) dari jalan ‘Anbasah bin Sa’id dari
Hammad, maula (budak yang dibebaskan). Bani Umayyah dari Janaah maula
al-Walid dari Watsilah, ia berkata, ‘Rasulullah J bersabda, kemudian ia
menyebutkan hadits tersebut.” Beliau (al-Albani) berkata, “Sanad hadits
ini lemah, akan tetapi ada beberapa riwayat penguat yang menunjukkan
bahwa hadits ini adalah tsabit.”
[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/295, no. 5195), Shahiih Muslim (no. 1026).
[14]. Sunan Tirmidzi (II/320, no. 1184).
[15]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/294, no. 5194), Shahiih
Muslim (II/1060, no. 1436), Sunan Abu Dawud (VI/179, no. 2127).
[16]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ as-Shaghiir 534], Sunan at-Tirmidzi (II/314, no. 1160).
[17]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 72], Ahmad (XVI/223, no. 237).
[18]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035)], Sunan at-Tirmidzi (II/329,
no. 1199), Sunan Abi Dawud (VI/308, no. 2209), Sunan Ibni Majah (I/662,
no. 2055).
[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6681)], [Silsilah
al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 632)], Sunan Tirmidzi (II/329, no.
1198).
[20]. Fiqhus Sunnah (II/200)