Judul Asli: Keluarnya Wanita Dari Rumahnya Untuk Menuntut Ilmu dan Bekerja Menurut Perspektif Al Qur’an dan As Sunnah.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan seluruh
pengikutnya yang setia. Amma ba’du (adapun sesudah itu).
Ada seorang muslimah yang ingin menjadi isteri dan anak yang shalihah
akan tetapi kini dia tengah kebingungan, di satu sisi saat ini wanita
sangat dibutuhkan di rumah, tapi di sisi lain mereka juga sangat
dibutuhkan di luar rumah. Sebagai contoh, ustadzah yang diundang untuk
mengisi kajian di suatu majelis, itu bagaimana? Bukankah itu juga keluar
rumah? Lalu bagaimana dengan menuntut ilmu di bangku kuliah. Bukankah
itu juga terjadi campur baur. Muslimah itu kini sedang menempuh studinya
di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta. Dia ingin meneruskan
cita-cita ayahnya yang tertunda untuk menjadi seorang enterpreneur,
tanpa meninggalkan tugasnya sebagai isteri jika telah menikah kelak.
Bagaimanakah solusinya? (disadur dari pertanyaan akhwat tersebut).
Setelah membaca pertanyaan tersebut, seolah-olah beban yang sangat
berat berada di pundak penulis. Hal ini disebabkan permasalahan yang
ditanyakan merupakan musibah besar yang cukup pelik dan ironisnya hal
itu melanda banyak kaum muslimah di negeri kita ini, wallaahul musta’aan
(Allah lah tempat kita meminta pertolongan).
Maka dengan memohon pertolongan dari Allah Ta’ala yang Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana, kami akan menguraikan permasalahan ini
satu persatu menurut pandangan Al Qur’an dan As Sunnah dengan penjelasan
para ulama’, semoga Allah berkenan membukakan hati kita untuk menerima
kebenaran dan mengamalkannya.
Pembahasan ini terdiri dari beberapa bagian yang terkait satu sama
lain, ada pembahasan lain yang kami angkat di sini meskipun hal itu
tidak ditanyakan. Hal ini kami pandang perlu karena perkara tersebut
telah banyak dilanggar oleh saudari-saudari kami -semoga Allah memberi
taufiq kepada kita dan mereka-.
Syari’at Allah Yang Mahabijaksana Penuh Dengan Kasih Sayang
Sesungguhnya salah satu akidah Islam yang kita tidak boleh sedikitpun
memendam keraguan tentangnya adalah bahwasanya syari’at yang diturunkan
oleh Allah kepada ummat manusia adalah aturan yang telah sempurna yang
akan menyelamatkan mereka dari kebinasaan dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini telah Ku
sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Ku cukupkan nikmat-Ku atasmu dan
Aku telah ridha Islam menjadi agama bagimu.” (Al Maa’idah: 3)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tidaklah
tersisa sesuatu pun yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari
neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” (HR. Ath Thabrani,
sanadnya shahih, lihat ‘Ilmu Ushul Bida’ karya Syaikh Ali Hasan
hafizhahullah)
Dan merupakan keyakinan kita pula bahwa syari’at Islam bukan dibuat
oleh manusia, akan tetapi dia bersumber dari Dzat Yang Maha Bijaksana
lagi Mengetahui segala perkara yang bermanfaat dan yang membahayakan
hamba-hamba-Nya. Syari’at yang diwahyukan-Nya kepada manusia terbaik
sepanjang perjalanan hidup manusia, seorang Nabi yang diutus sebagai
rahmat bagi alam semesta, seorang Rasul yang berbicara dengan bimbingan
wahyu dan tidak bersumber dari hawa nafsunya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Demi bintang ketika terbenam,
kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An Najm: 1-4)
Sehingga meninggalkan bimbingan Allah dan Rasul-Nya merupakan
tindakan membodohi diri yang akan melemparkannya ke lembah kesesatan dan
kemudian menjerumuskannya ke dalam jurang kehancuran.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah pantas bagi
laki-laki dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan suatu perkara lalu mereka memiliki pilihan lain. Dan
barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia
telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Maka kami mengajak diri kami pribadi dan segenap kaum muslimah yang
bercita-cita untuk menjadi wanita shalihah untuk bersemangat dalam
mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya, mempelajari Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih (generasi pendahulu yang
shalih) supaya bisa mengeluarkan diri kita, keluarga kita dan masyarakat
kita dari kegelapan syirik dan kekufuran menuju cahaya tauhid dan
keimanan; dari kegelapan bid’ah dan kesesatan menuju cahaya sunnah dan
hidayah; dari kegelapan maksiat menuju cahaya ketaatan. Percayalah wahai
saudariku, tidak ada yang bisa menyelamatkan kita dari kesesatan di
dunia dan siksa pedih api neraka kecuali kecuali dengan ketakwaan kita
kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan berapalah banyaknya
(penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan
Rasul-Rasul-Nya, maka kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang
keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan. Maka mereka
merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat
perbuatan mereka kerugian yang besar. Allah menyediakan bagi mereka azab
yang keras, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang
mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah
telah menurunkan peringatan kepadamu, (Dan mengutus) seorang Rasul yang
membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam
hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal yang shalih dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa
beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang shalih niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya
Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (Ath Thalaq: 8-11)
Perintah Untuk Tetap di Rumah
Saudariku, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya Allah telah
memerintahkan kepada segenap wanita beriman untuk lebih banyak tinggal
di rumah-rumah mereka, dan supaya tidak keluar kecuali ada kebutuhan
yang memaksanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tinggallah
kalian tetap di rumah dan jangan berhias dan bertingkahlaku (tabarruj)
seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat,
tunaaikanlah zakat dan tatilah Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya,
“Hendaklah kamu tetap di rumahmu -artinya tetaplah di dalamnya, karena
hal itu lebih menyelamatkan dan menjagamu- Dan jangan berhias dan
bertingkahlaku seperti orang-orang jahiliyah dahulu -artinya janganlah
kamu (wahai kaum wanita) memperbanyak keluar rumah dalam keadaan
bersolek atau memakai harum-haruman seperti kebiasaan wanita-wanita
jahiliyah dahulu yang sama sekali tidak berilmu dan tidak kenal agama,
maka perintah ini semua turun dalam rangka menolak kejelekan dan
penyebab-penyebabnya…” (Taisir Al Karim Ar Rahman cet. Muassasah Ar
Risalah hlm. 668)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah setelah membawakan ayat di atas
beliau pun membawakan beberapa riwayat yang menerangkan maksud ayat ini,
kami nukilkan sebagiannya. Beliau berkata: Hendaknya kamu tetap tinggal
di rumahmu- artinya hendaknya kamu senantiasa tinggal di rumahmu,
jangan keluar tanpa ada keperluan; di antara keperluan yang syar’i
adalah (keluar rumah) untuk mengerjakan shalat di masjid asalkan
syaratnya terpenuhi yaitu sebgaimana yang disabdakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu larang hamba-hamba Allah
(wanita) untuk mendatangi masjid-masjid Allah, akan tetapi hendaknya
mereka keluar (rumah) dalam keadaan tidak memakai wewangian.” (HR. Al
Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Rumah-rumah
mereka itu lebih baik bagi mereka”…
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya
wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaithan akan
menghias-hiasinya dan wanita yang paling dekat dengan rahmat Rabbnya
adalah yang berada di dalam rumahnya.” (HR. Tiridzi, dishahihkan Al
Albani dalam Shahihul Jaami’ 6690)… (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim
cet. Maktabah Taufiqiyah hlm. 245-246).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pada asalnya wanita memang harus lebih banyak beraktivitas di
dalam rumahnya, sehingga dia tidak diperkenankan keluar rumah kecuali
dalam keadaan darurat, seperti untuk shalat berjama’ah di masjid, shalat
Ied di lapangan, berobat, menuntut ilmu, berbelanja dan lain
sebagainya.
2. Apabila ada keperluan yang menuntut untuk keluar rumah maka ada
adab-adab yang harus diperhatikan oleh muslimah (akan kami sebutkan hal
itu sebentar lagi, insya Allah).
3. Turunnya perintah ini semata-mata bertujuan untuk menjaga dan
memelihara kehormatan, keselamatan dan kesucian kaum wanita serta
membentengi mereka dari berbagai kejelekan serta menutup celah-celah
yang menjurus ke sana. Maka ingatlah wahai saudariku, semoga Allah
merahmatimu, sesungguhnya tinggalnya seorang wanita di rumahnya itu
merupakan ibadah dan ketaatan kepada Allah yang engkau akan memperoleh
pahala yang besar apabila engkau melaksanakannya ikhlash karena-Nya,
betapa indahnya syari’at Islam ini sampai-sampai detik-detik yang kau
lalui di rumahmu itu bernilai pahala bagimu… Subhaanallaah! Ingatlah
wahai saudariku, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya tinggalnya
wanita di rumahnya merupakan syari’at Rabbaniyah yag diturunkan dari
sisi Dzat yang Mahabijaksana lagi Maha mengetahui yang nampak maupun
yang tersembunyi…(disadur dari Nashihati li Nisaa’ karya putri Syaikh
Muqbil; Ummu ‘Abdillah Al Wadi’iyah cet. Daarul Haramain hlm. 101)
Adab Wanita Keluar Rumah
Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan oleh kaum wanita
apabila mereka keluar rumah agar langkah-langkah yang mereka ayunkan
tidak membuahkan petaka dan murka Ar Rahman serta penyesalan di hari
kemudian. Adab-adab ini dihimpun dari nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah
beserta keterangan atau kesimpulan para ulama’:
1. Mengenakan jilbab sesuai tuntunan syari’at (penjelasannya akan disebutkan sebentar lagi insya Allah).
2. Tidak memakai harum-haruman.
3. Merendahkan suara langkah kakinya agar bunyi sandalnya tidak terdengar. (lihat QS. An Nuur: 31).
4. Apabila seorang wanita pergi bersama saudarinya, sementara di sekitar
itu terdapat beberapa orang lelaki maka jangan berbincang-bincang
dengan saudarinya, ini bukan berarti suara wanita termasuk aurat, akan
tetapi terkadang ketika kaum lelaki mendengar suara wanita hal itu dapat
menimbulkan fitnah/godaan (di dalam hatinya).
5. Apabila dia telah bersuami maka harus seizinnya.
6. Apabila perjalanan yang ditempuhnya termasuk kategori safar maka
harus ditemani oleh mahramnya (contoh: ayahnya, kakak kandungnya yang
laki-laki, dsb).
7. Tidak boleh berdesak-desakan dengan kaum lelaki.
8. Senantiasa menghiasi diri dengan rasa malu.
9. Menundukkan pandangan (terhadap lawan jenis).
10. Tidak menanggalkan pakaian lapis luarnya selain di rumah suaminya
apabila hal itu ditujukan untuk ber-tabarruj (bersolek), karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya (lihat Nashihati li
Nisaa’ karya putri Syaikh Muqbil; Ummu ‘Abdillah Al Wadi’iyah cet.
Daarul Haramain hlm. 99-100).
Maka perhatikanlah pakaianmu, pakaian saudari-saudarimu yang hampir
setiap hari keluar rumah dengan tidak memperdulikan adab-adab islami
ini, Subhaanallaah… demikiankah cara kalian berterimakasih terhadap Allah yang telah menciptakan kalian?,
Rabb yang telah menganugerahkan rizki dari langit dan bumi untuk
kalian?? Belum lagi tingkah laku mereka yang rela memajang kecantikannya
di depan para lelaki yang bukan mahramnya, ditambah parfum yang melekat
di badan mereka menusuk hidung dan diumbar dimana-mana… tanpa rasa
malu! Innaa lillaahi wa innnaa ilaihi raaji’uun, Ya Rabbi ampunilah
kami…
Kini Saatnya Berjilbab Sesuai Syari’at
Saudariku, mumpung pintu taubat masih terbuka lebar, maka marilah
kita perbaiki diri kita untuk meraih keridhaan Allah dan menghindarkan
diri dari murka-Nya. Ingatlah bahwa perintah berjilbab itu datang dari
Dzat yang Mahabijaksana lagi Mengetahui segala maslahat dan bahaya yang
akan menimpa seorang hamba. Marilah kita simak dengan seksama ayat yang
diturunkan Allah untuk melindungi kesucian dan kehormatan kaum wanita.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al
Ahzab: 59)
Kata ‘jilbab’ jamaknya ‘jalaabib’, yaitu pakaian yang menutup seluruh
tubuh dari kepala sampai kaki; atau menutup sebagian besar tubuh, dan
dipakai di bagian luar sekali seperti halnya baju hujan. Jilbab
mempunyai syarat tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al
Mujaddid Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam bukunya
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yaitu:
1. Menutup seluruh badan selain yang dikecualikan (yaitu muka dan telapak tangan, menurut pendapat yang lebih kuat/rajih).
2. Tidak untuk berhias, atau tidak terdapat hiasan pada pakaian itu sendiri.
3. Kainnya harus tebal, tidak boleh tipis.
4. Kainnya harus longgar, tidak ketat.
5. Tidak diberi wewangian atau parfum.
6. Tidak menyerupai pakaian lelaki.
7. Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir.
8. Tidak untuk mencari popularitas/libas syuhrah.
Bagi yang hendak meneliti dan membaca lebih dalam tentang masalah ini
maka kami sangat menganjurkan para muslimah agar membaca kitab beliau
tersebut, dan kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dan diterbitkan oleh beberapa penerbit dengan judul Jilbab Wanita
Muslimah atau judul yang senada. (Lihat juga Ensiklopedi Wanita Muslimah
karya Haya binti Mubarak Al Barik, penerbit Darul Falah, hlm. 149-151)
Menuntut Ilmu Adalah Wajib
Setelah kita mengetahui bahwa apabila seorang muslimah keluar dari
rumahnya harus memenuhi adab-adab islami dan menggunakan busana yang
syar’i, maka ini bukan berarti menjadi penghalang bagi saudari-saudari
kami yang rindu menjadi wanita shalihah untuk menuntut ilmu syar’i, ilmu
Al Qur’an dan As Sunnah, sebab kewajiban menuntut ilmu adalah kewajiban
pertama bagi setiap hamba -baik laki-laki maupun perempuan- yang harus
didahulukan sebelum seseorang berkata dan beramal, bahkan sebelum
berakidah!!
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah, dan mohon ampunlah
atas dosa-dosamu.” (Muhammad: 19). Berdasarkan ayat ini Al Imam Al
Bukhari rahimahullah membuat sebuab bab di dalam kitab Shahihnya dengan
judul: Bab Al ‘Ilmu qablal Qaul wal ‘Amal (Ilmu itu harus didahulukan
sebelum perkataan dan perbuatan).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbicara atas
dasar wahyu pun telah menegaskan kewajiban ini di dalam sabdanya,
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (diriwayatkan oleh Abu
Ya’la dalam Musnad-nya no. 2837, dan para imam yang lain, dishahihkan Al
Albani dalam Takhrij Ahaadits Musykilatul Faqr, lihat Hushulul Ma’mul
karya Syaikh Abdullah Al Fauzan hlm. 13).
Ilmu yang wajib dituntut setiap individu adalah ilmu syar’i yang
harus diketahui setiap muslim (yang hukumnya fardhu ‘ain) yaitu segala
ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf (orang yang sudah terbebani
aturan syari’at) dalam urusan agamanya, semacam dasar-dasar keimanan dan
pokok-pokok syari’at Islam, dan (ilmu tentang) segala keharaman yang
wajib dijauhinya, dan apa-apa yang dibutuhkannya dalam bermua’amalah dan
semacamnya yang tergolong perkara yang menjadi sarana terwujudnya suatu
kewajiban maka wajib pula hukumnya mempelajarinya.
Imam Ahmad mengatakan: “Wajib hukumnya (seorang hamba) menuntut ilmu
yang bisa menegakkan agamanya”, maka beliau pun ditanya: “Contohnya
apa?” Beliau menjawab, “Yaitu perkara yang tidak boleh dia bodoh
tentangnya: (seperti) shalatnya, puasanya dan sebagainya.” Dan di antara
ilmu yang paling wajib dipelajari oleh setiap manusia baik laki-laki
maupun perempuan adalah ilmu mengenali Rabb Yang patut disembah olehnya,
mengenal Nabinya dan mengenal agamanya sebab setiap orang akan ditanya
tentangnya di alam kubur nanti.
Inilah yang mendorong Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
untuk menulis sebuah kitab yang sangat bagus berjudul Tsalatsatul Ushul
(Tiga Landasan Utama) maka kami menghimbau kepada saudari-saudari kami
yang rindu menjadi wanita shalihah untuk membaca dan mempelajari buku
menarik yang sudah banyak terjemahannya ini…
Semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua
untuk istiqamah menuntut ilmu syar’i, sambutlah surga wahai saudariku…
karena Allah Jalla Jalaaluhu telah membentangkan jalan kemudahan bagimu
untuk meraihnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu
(agama) niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.
Muslim) (Disadur dengan penambahan, dari Hushulul Ma’mul karya Syaikh
Abdullah Al Fauzan hlm. 12-13).
Saudariku, rasa malu merupakan bagian keimanan, karena orang yang
tidak punya rasa malu niscaya akan berbuat semaunya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu ajaran
kenabian yang pertama yang didapatkan oleh manusia adalah, ‘Apabila kamu
tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesukamu’.” (HR. Al Bukhari).
Akan tetapi rasa malu tidaklah menghalangi seorang muslimah untuk
menuntut ilmu syar’i. Sebagaimana sebuah kisah teladan yang amat menarik
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya: Dari Ummu
Salamah radhiyallahu’anha, beliau berkata, ‘Ummu Sulaim pernah datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu menyampaikan kebenaran. Apakah
seorang wanita wajib mandi apabila mimpi basah?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Ya, apabila dia melihat air maninya”
Maka Ummu Salamah menutupi wajahnya dan berkata, “Wahai Rasulullah,
apakah perempuan juga mengalami mimpi basah (sehingga keluar mani)?”
Beliau menjawab, “Ya, tentu saja, taribat yadaak (arti letterlux-nya:
tanganmu penuh debu, maksud beliau ialah menyayangkan perkataan Ummu
Salamah, Wallaahu a’lam), …kalau tidak, lantas darimanakah asal
kemiripan anak dengan ibunya?” (lihat Nashihati li Nisaa’ hlm. 188).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
“Bolehkah bagi wanita untuk menghadiri majelis ta’lim dan pelajaran
fikih yang diadakan di masjid-masjid?”
Beliau menjawab: Boleh bagi wanita untuk menghadiri majelis ta’lim,
baik itu berupa pelajaran fikih hukum atau fikih akidah atau tauhid,
dengan syarat tidak boleh menggunakan wewangian atau bersolek, dan harus
berjauhan dari laki-laki dan tidak bercampurbaur dengan mereka, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik barisan
wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling buruk adalah yang
paling depan.” (HR. Tirmidzi). Hal tersebut karena barisan yang paling
depan paling dekat dengan laki-laki daripada barisan yang paling
belakang, sehingga barisan paling akhir lebih baik daripada barisan
depan. (Fatawal Mar’ah, 1/102, dinukil dari Fatwa-Fatwa Tentang Wanita
jilid 3 hal. 275).
Muslimah Duduk di Bangku Kuliah, Bolehkah?
Kini jelaslah bagi kita bahwa ilmu yang dimaksud dalam dalil Al
Qur’an maupun As Sunnah yang wajib kita tuntut adalah ilmu syar’i. Dan
telah jelas pula bagi kita bahwa pada asalnya seorang wanita muslimah
itu harus lebih banyak beraktifitas membina keluarga di rumah dan
mempersiapkan dirinya agar bisa menjadi isteri yang shalihah dan menjadi
ibu yang penuh kasih sayang yang mampu mendidik anak-anaknya agar bisa
menjadi generasi penerus yang unggul, yang menjadi harapan ummat di masa
depan.
Lalu bagaimanakah kalau ada di antara muslimah -bahkan realita
sekarang ini banyak sekali jumlahnya- yang begitu berkeinginan menempuh
studi di bangku kuliah-kuliah umum. Maka kami katakan, masuknya para
muslimah berbondong-bondong ke berbagai perguruan tinggi umum baik
negeri maupun swasta adalah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri pada
masa ini. Yang apabila kita cermati ternyata banyak sekali kemunkaran
yang kita jumpai di kebanyakan perguruan tinggi tersebut, sebutlah
contoh di antaranya; ikhtilath (campur baur pria dan wanita).
Padahal bercampurbaurnya lelaki dan perempuan merupakan sumber fitnah
(bencana), oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan berbagai upaya demi menutup pintu fitnah ini. Imam Bukhari
meriwayatkan sebuah hadits dari Ummu Salamah, beliau mengatakan, “Dahulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sudah selesai
mengucapkan salam (sesudah shalat) maka para wanita berdiri setelah
beliau menyelesaikan salamnya, dan beliaupun berdiri sebentar di
posisinya sebelum berdiri. Kami berpendapat hal itu beliau lakukan agar
kaum wanita bisa pulang sebelum sempat ada seorang lelaki pun yang
berpapasan dengan mereka.” (lihat Nashihati li Nisa’ hlm. 119-120).
Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik shaf kaum lelaki adalah yang
paling depan dan shaf yang paling buruk adalah yang paling belakang. Dan
sebaik-baik shaf kaum perempuan adalah yang paling belakang dan shaf
yang paling buruk adalah yang terdepan.” (HR. Tirmidzi). Perhatikanlah,
hal ini beliau lakukan di sebuah tempat suci yaitu masjid, yang orang
tidak akan sembrono bertindak yang bukan-bukan, lalu bagaimana lagi di
tempat-tempat umum yang diliputi suasana keduniaan, pikirkanlah…
Itu salah satu contoh. Dan kita memohon ampun kepada Allah atas
dosa-dosa kita selama ini. Lantas bagaimana, apakah kita akan mengajak
seluruh wanita muslimah yang kuliah di berbagai perguruan tinggi yang di
situ terjadi ikhtilath untuk keluar dan menghentikan studi mereka?
Sebelumnya kita harus berpikir dengan jernih dalam menyikapi
permasalahan ini, agar tindakan yang diambil nantinya tidak justru
membuahkan kemungkaran yang juga tidak kalah besarnya yaitu jauhnya kaum
muslimah dari bimbingan ilmu syar’i karena aksi keluar kuliah. Kenapa
demikian?
Mari kita cermati, bukankah banyak di antara kaum muslimah,
saudari-saudari kita yang bisa mereguk ilmu syar’i dengan menghadiri
kajian-kajian di sekitar kampus dan justru menjadi kesulitan dan menemui
berbagai hambatan kalau harus keluar dan pulang ke rumahnya yang jauh
dari ta’lim (pengajian -ed) dan bahkan jauh dari toko buku-buku Islam
dan sarana menuntut ilmu yang lainnya. Oleh karena itu kami menasihatkan
kepada diri kami pribadi dan para akhwat sekalian untuk bertakwa kepada
Allah sepenuh kemampuan kita masing-masing. Allah Ta’ala berfirman,
yang artinya “Maka bertakwalah kepada Allah sepenuh kemampuan kalian.”
Sekali lagi di sini kami menghimbau kepada para akhwat sekalian agar
berpikir jernih dan bertanya serta berkonsultasi langsung kepada ahli
ilmu atau para ustadz dalam perincian masalah ini agar keputusan yang
diambil merupakan keputusan terbaik yang akan mendatangkan manfaat bagi
ukhti sekalian. Di sini perlu kami ingatkan bahwa kondisi perkuliahan di
kampus itu berlainan, ada fakultas yang memang di situ kaum wanita
sangat diperlukan, seperti di kedokteran, kebidanan dan keperawatan,
yaitu dalam rangka menangani pasien-pasien wanita. Ada pula fakultas
yang di situ kaum wanita (begitu pula pria) bahkan mendapatkan ancaman
besar rusak agamanya, seperti kuliah di filsafat. Maka jawaban untuk
permasalahan ini butuh perincian yang harus dibicarakan dengan
pertimbangan yang matang. Wallaahu a’lam bish shawaab.
Bolehkah Wanita Bekerja ?
Sekarang kan zamannya emansipasi, kaum wanita boleh-boleh saja terjun
di dunia kerja bersaing bersama kaum pria! Barangkali para pembaca yang
budiman akan mendapati komentar semacam itu di tengah-tengah
masyarakat. Bahkan lebih parah dari itu, ada sebagian kaum wanita yang
sudah nekat menggeluti berbagai macam bidang yang sebenarnya tak pantas
merka sentuh, seperti tinju, sepak bola, angkat besi, di sisi lain ada
pula yang aktif terjun alam demonstrasi dan demokrasi menjadi ‘bintang
jalanan’ dan ikut berebut kursi di pemerintahan, dan yang lebih parah
dari itu yang terjun dalam dunia entertainment/hiburan sebagai bintang
film atau sinetron yang rajin mengobral kecantikan di layar kaca, … yang
dengan bangga mereka berkata ‘ini adalah ekspresi seni, inilah wujud
kemajuan wanita modern’ [?!] Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun,
ini adalah musibah besar bagi ummat Islam yang amat sedikit orang yang
menangisi dan berkabung karenanya, ini bukan kemajuan tapi kemunduran
bahkan kejatuhan kemuliaan ummat Islam!!!
Maka sebenarnya setiap orang muslim yang masih beres akidahnya tentu
tidak akan mengatakan dan bersikap sebagaimana mereka yang sudah terbuai
dengan mimpi-mimpi barat, sebab seruan yang mengajak para muslimah
keluar dari rumahnya dan ikut terjun di lapangan kerja yang
bercampurbaur antara lelaki dengan wanita adalah seruan orang-orang
barat yang kafir, sebuah seruan yang dipoles sedemikian rupa agar merdu
terdengar namun pada hakikatnya menjauhkan muslimah dari jati dirinya
sebagai sosok wanita shalihah yang tekun dan sabar membina diri dan
rumah tangganya. Ini bukan berarti kami menyatakan bahwa wanita dilarang
bekerja, namun kenyataan yang sangat memprihatinkan di atas adalah satu
hal yang harus kita perbaiki bersama-sama, Bukankah seorang putri
jelita akan menjadi hina dan terancam kesuciannya apabila kita tempatkan
di sebuah gubuk reyot di tengah hutan yang dikelilingi srigala dan
binatang-biatang buas lainnya?? Renungkanlah wahai saudari-saudariku…
Berikut ini kami sampaikan kepada ukhti sekalian sebuah fatwa yang berkenaan dengan hal ini.
Pertanyaan 892:
Lajnah Da’imah lil Ifta’ (Komite tetap untuk fatwa di Saudi Arabia)
ditanya: “Apa hukum wanita yang bekerja? Dan lapangan pekerjaan apa saja
yang diperbolehkan bagi seorang wanita bekerja di dalamnya?”
Jawaban:
Tidak seorang pun yang berselisih bahwa wanita berhak bekerja, akan
tetapi pembicaraan hanya berkisar tentang lapangan pekerjaan apa yang
layak bagi seorang wanita, dan penjelasannya sebagai berikut:
Ia berhak mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan oleh wanita biasa
lainnya di rumah suaminya dan keluarganya seperti memasak, membuat
adonan kue, membuat roti, menyapu, mencuci pakaian, dan bermacam-macam
pelayanan lainnya serta pekerjaan bersama yang sesuai dengannya dalam
berumah tangga. Ia juga berhak mengajar, berjual beli, menenun kain,
membuat batik, memintal, menjahit dan semisalnya apabila tidak mendorong
pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh syara’ seperti berduaan
dengan selain mahram atau bercampur dengan laki-laki lain, yang
mengakibatkan fitnah atau menyebabkan ia meninggalkan hal-hal yang harus
dilakukannya terhadap keluarganya, atau menyebabkan ia tidak mematuhi
perintah orang yang harus dipatuhinya dan tanpa ridha mereka (Majallatul
Buhuts Al Islamiyah 19/160, dinukil dari Fatwa-Fatwa Tentang Wanita
Jilid 3 hlm. 168).
Lahan Pekerjaan Yang Cocok Bagi Wanita
Salah satu prinsip utama yang dipegang oleh Islam adalah keadilan dan
hikmah, yaitu menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Begitu pula
dalam masalah memilih lahan pekerjaan yang tepat bagi kaum wanita. Di
sini kami nukilkan sebuah fatwa yang semoga bisa menjawabnya dan menjadi
bahan pertimbangan bagi saudari-saudari kami yang rindu menjadi wanita
shalihah.
Pertanyaan ke 891:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya: “Apa lahan
pekerjaan yang dibolehkan bagi perempuan muslimah yang mana ia bisa
bekerja di dalamnya tanpa bertentangan dengan ajaran-ajaran agamanya?”
Jawaban:
Lahan pekerjaan wanita adalah pekerjaan yang dikhususkan untuknya
seperti pekerjaan mengajar anak-anak perempuan baik secara administratif
maupun secara pribadi, pekerjaan menjahit pakaian wanita di rumahnya
dan sebagainya. Adapun pekerjaan dalam lahan yang dikhususkan untuk
orang laki-laki maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk bekerja pada
lahan tersebut yang akan mengundang ikhtilath sedangkan hal tersebut
adalah fitnah yang besar yang harus dihindari. Perlu diketahui bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Saya tidaklah
meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki
daripada fitnah perempuan.” (Muttafaq ‘alaih). Maka seorang laki-laki
harus menjauhkan keluarganya dari temat-tempat fitnah dan sebab-sebabnya
dalam segala kondisi (Fatawa Al Mar’ah 1/103, dinukil dari Fatwa-Fatwa
Tentang Wanita Jilid 3 hlm. 167, dengan sedikit perubahan).
Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah
Berikut ini kami nukilkan penjelasan seputar kendala yang harus
dihadapi apabila wanita bekerja di luar rumah, dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa bekerja di luar rumah itu pada dasarnya tidak boleh
baginya, syarat apa saja yang harus dipenuhi apabila dia memang terpaksa
harus bekerja di sana dan dampak yang muncul akibat wanita bekerja di
luar rumahnya. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.
Kendala-Kendala Wanita Bekerja
Pekerjaan wanita di luar rumah merupakan siksaan baginya, karena
seorang wanita tidak bisa bekerja atau melakukan seperti yang dilakukan
oleh kaum pria dalam banyak hal. Karena kondisi fisik wanita yang lemah,
dan juga dia tidak memiliki kemampuan fisik seperti yang dimiliki
seorang pria, bahkan dia di bawah seorang pria karena sebab-sebab
sebagai berikut:
- Karena haid, pada waktu haid dia harus beristirahat, dan tidak boleh diberi beban berat agar tidak terjadi hal-hal yang menyangkut kesehatannya yang justru akan merusak dirinya dan mengganggu kelancarannya aktifitasnya.
- Karena hamil, pada waktu hamil seorang wanita merasakan berbagai kesulitan dan tubuhnya merasa lemah sehingga dia tidak mampu bekerja.
- Karena melahirkan dan nifas. Dalam kondisi tersebut, seorang wanita juga merasakan berbagai beban dan penderitaan, dia kehilangan darahnya. Oleh sebab itu pada saat demikian dia tidak boleh dibebani pekerjaan.
- Menyusui dan merawat anak. Selama dua tahun seorang ibu harus merawat anaknya (bayinya), selalu menyertainya, mengurusi segala kebutuhannya, dan mendidiknya, Dan disamping itu dia masih pula menangani banyak lagi pekerjaan ruumah demi kelangsungan dan kebahagiaan hidup antara suami isteri serta anak-anaknya, dan jika hal ini dia tinggalkan, maka akan menjadi bencana bagi segenap keluarganya.
- Susunan tubuh. Tubuh seorang perempuan yang hamil, melahirkan anak, merawatnya serta menyusuinya, pastilah sangat berbeda dengan tubuh seorang lelaki yang tidak menanggung semua beban itu.
- Kewajiban berhijab baginya seperti yang telah diterangkan di muka.
- Haram ber-tabarruj dan menampakkan perhiasan dan bagian-bagian yang indah lainnya, sedangkan bekerja di luar rumah akan menyebabkan terjadinya tindakan seperti itu.
- Haram baginya bercampur dengan lelaki yang bukan mahramnya, sedangkan bekerja di luar rumah sangat memungkinkan terjadinya hal itu.
- Seorang perempuan adalah aurat dan intan permata yang indah yang harus dipelihara dan dijaga.
- Seorang perempuan akan selalu disibukkan mengurus putra-putrinya, urusan rumahnya dan urusan suaminya, dan memang hal-hal demikian itulah yang sesuai dengan fitrah seorang wanita.
Keterpaksaan (darurat) dilihat dari segi keurgensiannya. Oleh karena itu apabila seorang perempuan terpaksa harus bekerja di luar rumahnya, maka dia haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Mendapatkan izin dari walinya, yaitu ayah atau suaminya untuk sebuah pekerjaan yang halal seperti menjadi tenaga pendidik para siswi, atau menjadi perawat khusus bagi pasien wanita.
- Tidak bercampur dengan kaum laki-laki atau melakukan khalwat (berdua-duaan) dengan lelaki lain.
- Tidak berlaku tabarruj dan menampakkan perhiasan yang dapat mengundang fitnah.
- Tidak memakai wangi-wangian yang menyengat hidung atau parfum yang membangkitkan birahi seseorang.
- Memakai hijab/jilbab menurut ketentuan syara’.
- Menelantarkan putra-putrinya, mereka kurang mendapatkan kasih sayang, perawatan dan pendidikan langsung dari sang ibu.
- Para wanita yang bekerja di luar rumah, pada umumnya sekarang ini berbaur dengan laki-laki, bahkan terkadang mereka ber-khalwat dengannya. Dan tindakan seperti itu sudah barang tentu haram hukumnya, mencoreng nama baiknya, meruntuhkan nilai moralnya dan sikap keagamaannya.
- Para wanita yang bekerja di luar rumah, mereka pada umumnya melepas hijabnya, sering bepergian dan memakai parfum-parfum atau make-up yang dapat mengundang birahi kaum laki-laki atau menggoda mereka. Nabi bersabda, “Saya tidaklah meninggalkan fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi seorang laki-laki daripada fitnah perempuan.” (Muttafaq ‘alaih)
- Perempuan yang bekerja di luar rumah, dapat kehilangan sifat dan naluri keperempuanannya, kehilangan kasih sayang kepada putranya disamping juga akan meruntuhkan sistem keluarga, tidak ada lagi keharmonisan dan saling tolong menolong di dalamnya.
- Seorang wanita telah ditakdirkan mencintai perhiasan, memakai emas, pakaian-pakaian yang bagus dan lain sebaginya: maka jika dia keluar rumah untuk bekerja, ia akan bersikap boros karena banyaknya perhiasan dan pakaian serta asesoris lain yang dibelinya sehingga melebihi batas-batas keperluannya, maka ia pun termasuk orang yang berlaku israf (pemborosan) yang dilarang oleh agama. (Ensiklopedi Wanita Muslimah, Haya binti Mubarak Al Barik, Penerbit Darul Falah cet ke 12 Ramadhan 1424 H, hlm. 159-162, dengan sedikit perubahan).
0 komentar:
Posting Komentar