KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Pernikahan Yang Dilarang
1. Nikah Syighar
Yaitu seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuannya, saudara
perempuannya atau selain dari keduanya yang masih dalam perwaliannya
dengan syarat ia, anaknya atau anak saudaranya juga dinikahkan dengan
anak perempuan, saudara perempuan atau anak perempuan dari saudara orang
yang dinikahkan tersebut.
Pernikahan seperti ini tidaklah sah (rusak), baik dengan menyebutkan
mahar ataupun tidak. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
telah melarang keras hal tersebut dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." [Al-Hasyr: 7]
Dalam ash-Shahiihain dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang nikah Syighar” [1]
Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang nikah syighar.
Beliau bersabda:
وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ
وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِيْ، أَوْ زَوِّجْنِيْ أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ
أُخْتِيْ.
“Dan nikah syighar adalah, seseorang berkata kepada orang lain,
‘Nikahkan aku dengan anak perempuanmu, maka aku akan menikahkan anak
perempuanku denganmu,’ atau, ‘Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu,
maka aku nikahkan engkau dengan saudara perempuan-ku.’” [2]
Dalam hadits yang lain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ.
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [3]
Beberapa hadits shahih yang telah disebutkan di atas menjadi dalil atas
keharaman dan rusaknya nikah syighar, juga menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut menyelisihi syari’at Allah. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak membedakan apakah dalam nikah syighar tersebut disebutkan
maskawin ataupun tidak.
Adapun apa yang disebutkan dalam riwayat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
tentang tafsir syighar, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan
anak perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan anak perempuan
orang itu juga tanpa ada maskawin di antara keduanya. Para ulama telah
menyebutkan bahwa sebenarnya tafsir tersebut berasal dari perkataan
Nafi’ yang meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar dan bukan merupakan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan tafsir Nikah
Syighar dari beliau adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang telah
disebutkan di atas, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan anak
perempuan atau saudara perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan
anak perempuan atau saudara perempuannya pula, dan Rasulullah
Shallallahu 'aliahi wa sallam tidak menyebutkan tentang tidak adanya
maskawin di antara keduanya.
Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan menyebutkan atau tanpa menyebutkan
maskawin dalam nikah syighar tidak berpengaruh apa pun. Akan tetapi
yang menyebabkan rusaknya nikah tersebut adalah adanya syarat mubadalah
(pertukaran). Perbuatan tersebut mengandung kerusakan yang sangat besar
karena akan mengakibatkan adanya pemaksaan terhadap wanita atas
pernikahan yang tidak diinginkannya karena me-mentingkan maslahat bagi
para wali dengan mengenyampingkan maslahat wanita. Tidak diragukan lagi
bahwa hal tersebut merupakan kemunkaran dan kezhaliman terhadap kaum
Hawa. Pernikahan semacam ini akan dapat mengakibatkan wanita tidak
mendapatkan maskawin seperti wanita-wanita lainnya sebagaimana yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat yang melakukan akad pernikahan yang
munkar ini kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah. Sebagaimana juga
dapat mengakibatkan perselisihan dan permusuhan setelah terjadinya
pernikahan. Dan yang demikian itu termasuk hukuman Allah yang
disegerakan bagi orang yang menyelisihi syari’at-Nya. [4]
2. Nikah Muhallil
Yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sudah ditalak tiga
kali setelah selesai ‘iddahnya, kemudian mentalak kembali dengan tujuan
agar wanita itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang
pertama.
Pernikahan semacam ini termasuk salah satu di antara dosa-dosa besar dan
perbuatan keji. Hukumnya adalah haram, baik keduanya mensyaratkan pada
saat akad, atau keduanya telah sepakat sebelum akad atau dengan niat
salah satu di antara keduanya. Dan orang yang melakukannya akan
dilaknat.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat al-Muhallil
(laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu
dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan
al-Muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas
isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi) [5]
Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قاَلُوْا: بَلَى يَا
رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ المُحَلِّلَ
وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
‘Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang at-Taisil Musta’aar (domba
pejantan yang disewakan)?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai
Rasulullah” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah al-Muhallil, Allah akan
melaknat al-Muhallil dan al-Muhallal lahu.’” [6]
Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ c فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ ثَلاَثًا، فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ
مِنْهُ لِيَحِلَّهُ ِلأَخِيْهِ، هَلْ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ؟ قَالَ: لاَ،
إِلاَّ نِكَاحَ رَغْيَةٍ، كُنَّا
نَعُدُّ هَذَا سَفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu dan
menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan
talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa
adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal
kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi
kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali
nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah
suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.” [7]
3. Nikah Mut’ah
Disebut juga dengan az-Zawaj al-Mu’aqqat (nikah sementara) dan az-Zawaj
al-Munqati’ (nikah terputus), yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan untuk jangka waktu satu hari, satu minggu atau satu bulan atau
beberapa waktu yang telah ditentukan.
Para ulama telah sepakat atas pengharaman nikah mut’ah dan jika terjadi, maka nikahnya adalah bathil. [8]
Dari Shabrah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ
نَخْرُجْ حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyuruh kami untuk
melakukan mut’ah pada saat pembukaan kota Makkah tatkala kami memasuki
Makkah, kemudian kami tidak keluar darinya sampai beliau melarangnya
kembali.” [9]
Nikah Dengan Niat Talak
Syaikh Sayyid Sabiq -rahimahullah- dalam kitab Fiqhus Sunnah (II/38)
berkata, “Para ahli fiqih telah sepakat bahwa orang yang menikahi wanita
tanpa mensyaratkan zaman, akan tetapi ia mempunyai niat untuk
menceraikannya setelah beberapa waktu atau setelah keperluannya di
negara yang sedang ia tempati telah selesai, maka nikahnya tetap sah.”
Akan tetapi al-Auza’i -rahimahullah- menyelisihi pendapat tersebut dan menganggapnya termasuk nikah mut’ah.
Syaikh Rasyid Ridha -rahimahullah- berkomentar tentang masalah ini dalam
tafsir al-Manaar, “Bahwa sikap keras para ulama Salaf (terdahulu) dan
khalaf (yang datang belakangan) dalam mengharamkan nikah mut’ah
menunjukkan atas pengharaman mereka terhadap nikah dengan niat talak,
meskipun para ahli fiqih menyatakan bahwa akad nikah dianggap sah jika
seseorang berniat menikah untuk beberapa waktu saja tanpa
mensyaratkannya di dalam shighah akad.
Akan tetapi menyembunyikan niat talak tersebut termasuk tipuan dan
kecurangan sehingga hal itu dinilai lebih dekat dengan kebathilan
daripada sebuah akad yang dengan terang-terangan mensyaratkan adanya
jenjang waktu yang telah diridhai antara pihak laki-laki, wanita dan
wali. Tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh nikah semacam ini kecuali
berbuat curang terhadap ikatan kemanusiaan yang sangat agung dan lebih
mengutamakan di ladang syahwat antara para penikmat syahwat laki-laki
dan wanita yang menimbulkan kemunkaran.
Jika dalam akad pernikahan tersebut tidak disyaratkan adanya jenjang
waktu, maka yang demikian itu termasuk penipuan dan kecurangan yang akan
menyebabkan kerusakan dan permasalahan seperti permusuhan dan kebencian
serta hilangnya kepercayaan sampai pun kepada orang yang benar-benar
akan menikah secara sah dan serius, yaitu untuk saling menjaga antara
suami dan isteri, adanya keikhlasan di antara keduanya dan saling
tolong-menolong dalam membangun rumah tangga yang sakinah.”
(Aku berkata), “Apa yang dikatakan oleh Rasyid Ridha diperkuat oleh
atsar ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, ‘Telah
datang seorang laki-laki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dan
menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan
talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi perempuan tersebut
tanpa adanya persetujuan dengan suami yang pertama, agar perempuan
tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah perempuan tersebut
halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?’ Beliau menjawab,
‘Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal
tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.’” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/162, no. 5112), Shahiih Muslim (II/1034, no. 1415), Sunan an-Nasa-i (VI/112).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 808)], Shahiih Muslim (II/1035, no. 1416).
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7501)], Shahiih Muslim (II/ 1035, no. 1415 (60)).
[4]. Lihat Risalah Hukmu as-Sufuur wal Hijaab wan Nikaah asy-Syighaar, karangan Syaikh Ibnu Baaz t.
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5101)], Sunan Abi Dawud
(VI/88, no. 2062), Sunan at-Tirmidzi (II/294, no. 1128), Sunan Ibni
Majah (I/622, no. 1935).
[6]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1572)], Sunan Ibni Majah
(I/623, no. 1936), al-Mustadrak (II/198), al-Baihaqi (VII/208).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil VI/311], Mustadrak al-Hakim (II/199), al-Baihaqi (VII/208).
[8]. Fiqhus Sunnah (II/35).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 812)], Shahiih Muslim (II/1023, no. 1406).
[10]. Telah ditakhrij sebelumnya.
Rabu, 19 Oktober 2011
Pernikahan Yang Dilarang, Nikah Dengan Niat Talak
Posted by Dini Ariani on 19.29
0 komentar:
Posting Komentar