KITAB NIKAH
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Nikah termasuk salah satu di antara Sunnah para Rasul yang paling ditekankan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
"Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan." [Ar-Ra’d:
38]
Dimakruhkan meninggalkan Sunnah ini tanpa alasan, sebagaimana disebutkan
dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu, ia berkata :
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا،
فَقَالُوْا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ رَسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ؟ قَدْغُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَاتَأَخَّرَ.
فَقَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا، فَأَنَا أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا،
وَقَالَ الآخَرُ: أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلاَأُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ:
أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: ((أَنْتُمُ الَّذِيْنَ
قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَّا وَاللهِ إِنِّى َلأَخْشَاكُمْ ِللهِ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّى أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى
وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى
فَلَيْسَ مِنِّى)).
“Ada tiga laki-laki datang ke rumah isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan menanyakan tentang ibadah beliau, setelah diceritakan kepada
mereka, maka mereka merasa bahwa ibadah mereka itu sedikit, kemudian
mereka berkata, “Di manakah posisi kami dibanding Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sedangkan beliau telah diampuni segala dosanya, baik
yang telah lalu maupun yang akan datang. Maka salah seorang di antara
mereka berkata, ‘Aku akan shalat malam selamanya.’ Seorang lagi berkata,
‘Aku akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berbuka,’ dan yang lain
berkata, ‘Aku akan menghindari wanita dan tidak akan menikah selamanya.’
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan bersabda,
‘Kaliankah yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada
Allah daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur
serta menikahi wanita. Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia tidak
termasuk golonganku.’” [1]
Bagi orang yang telah mampu dan takut dirinya terjatuh ke dalam
perbuatan keji, maka nikah adalah wajib hukumnya, karena zina dan segala
sesuatu yang mendorong seseorang kepada perbuatan tersebut adalah
haram. Orang yang takut dirinya akan terjerumus kepada perbuatan zina,
maka ia harus mengantisipasinya. Dan apabila hal itu tidak dapat
tercapai kecuali dengan menikah, maka wajib baginya untuk menikah.[2]
Adapun bagi yang belum mampu untuk menikah sedangkan ia sudah sangat
berhasrat, maka hendaknya ia berpuasa, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia
berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka
hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih
memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia
berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya.” [3]
Siapakah Wanita Pilihan ?
Barangsiapa yang ingin menikah, maka hendaknya ia mencari seorang wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Taat beragama, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau
bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ: لِمَالِـهَا، وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِـهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ.
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan,
kecantikan dan agamanya. Maka dapatkanlah wanita yang taat beragama
niscaya kamu beruntung.” [4]
2. Masih gadis, kecuali jika ada mashlahat baginya untuk menikahi wanita
janda, karena telah disebutkan dalam satu riwayat bahwasanya Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata:
تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَلَقِيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
فَقَالَ: يَاجَابِرُ، تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ : بِكْرٌ أَمْ
َثيِّبٌ؟ قُلْتُ: ثَيِّبٌ. فَهَلاَّ بِكْرًا تُـلاَعِبُهَا؟ قُلْتُ: يَا
رَسُوْلَ الله إِنَّ لِيْ أَخَوَاتٌ، فَخَشِيْتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِيْ
وَبَيْنِهِنَّ. قَالَ: فَذَاكَ إِذَنْ. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى
دِيْنِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ.
“Aku telah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam beliau bertanya, ‘Wahai Jabir, apakah engkau telah menikah?’
aku menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bertanya, ‘Dengan gadis atau janda?’
Aku menjawab, ‘Seorang janda.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa engkau tidak
memilih seorang gadis sehingga engkau dapat bercanda dengannya?’
Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku me-miliki
beberapa saudara perempuan sehingga aku takut akan terjadi
kesalahpahaman.’ Maka beliau bersabda, ‘Jika demikian adanya, maka tidak
masalah. Sesungguhnya wanita itu dinikahi karena agama, harta dan
kecantikannya, maka nikahilah wanita yang taat beragama niscaya engkau
akan bahagia.” [5]
3. Wanita yang subur, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau bersabda :
(تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمُ).
“Nikahilah wanita yang subur peranakannya dan penyayang, sebab aku akan
berbangga di hadapan umat lain dengan jumlah kalian yang banyak.” [6]
Siapakah Lelaki Pilihan?
Apabila seorang lelaki dianjurkan untuk mencari wanita berkriteria
seperti yang telah kami sebutkan di atas, maka bagi wali wanita juga
berkewajiban untuk mencari lelaki shalih yang akan dinikahkan dengan
anaknya. Abu Hatim al-Muzani Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَكُـمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ،
إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.
‘Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak wanita kalian), jika tidak
maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [7]
Dan tidaklah mengapa apabila seorang wali menawarkan puteri atau saudara
wanitanya kepada orang-orang yang shalih, sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah
binti ‘Umar Radhiyallahu anhuma ditinggal mati oleh suaminya yang
bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang meninggal di Madinah.
‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk
menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’
Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku
telah memutuskan untuk tidak menikah pada saat sekarang.’ ‘Umar berkata,
‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau
mau, aku nikahkan engkau dengan Hafshah binti ‘Umar.’ Akan tetapi Abu
Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun dan pada saat itu aku merasa
lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman. Beberapa hari
berlalu sampai kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
meminangnya, maka aku nikahkan ia dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Engkau marah
kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah akan tetapi aku tidak
berkomentar apa-apa?’ ‘Umar menjawab ‘Ya’ Abu Bakar berkata,
‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima
tawaranmu kecuali karena aku tahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin
menyebarluaskan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika
beliau meninggalkannya, maka niscaya aku akan menerimanya.’”[8]
Melihat Wanita Yang Dipinang
Barangsiapa yang hatinya berhasrat ingin meminang seorang wanita, maka
disyari’atkan baginya untuk melihatnya sebelum ia meminang. Muhammad bin
Maslamah Radhiyallahu anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka
aku bersembunyi dan mengintip wanita tersebut sehingga aku dapat
melihatnya.” Kemudian dikatakan kepadanya, “Bagaimana engkau melakukan
hal ini sedangkan engkau adalah Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam?” Ia menjawab, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فِيْ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَبَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا.
"Jika Allah menaruh hasrat kepada hati seorang laki-laki untuk melamar
seorang wanita, maka tidak mengapa jika ia melihat wanita tersebut.’”
[9]
Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengabarkan kepada beliau
bahwasanya aku melamar seorang wanita, maka beliau bersabda :
اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا.
"Pergi dan lihatlah wanita tersebut, karena dengan melihatnya dapat
lebih mengekalkan kasih sayang di antara kalian berdua.’” [10]
Khitbah (Meminang)
Khitbah artinya melamar seorang wanita untuk dijadikan isterinya dengan
cara yang telah diketahui di kalangan masyarakat. Jika telah tercapai
kesepakatan, maka hal tersebut hanyalah satu janji kesepakatan untuk
menikah, lelaki yang melamar tersebut tidak diperbolehkan untuk
melakukan apa pun terhadap wanita yang dilamarnya karena statusnya masih
orang lain sampai ia diikat dengan tali pernikahan.
Dan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melamar seorang wanita
yang telah dilamar saudaranya, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ
بَعْضُكُـمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ
الْخَاطِبُ.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sebagian dari kalian
membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh orang lain. Dan janganlah
seseorang melamar wanita yang masih dilamar oleh saudaranya sampai orang
tersebut meninggalkannya atau mengizinkannya.” [11]
Demikian juga tidak boleh melamar wanita yang sedang dalam ‘Iddah thalaq
Raj’i (masa penantian seorang wanita setelah ditalak dan masih dapat
rujuk kembali-penj), karena statusnya masih sebagai isteri orang lain,
sebagaimana ia juga tidak diperbolehkan untuk tashrih (secara
terang-terangan) melamar wanita yang masih dalam ‘iddah thalaq ba’in
(masa penantian seorang wanita setelah talak yang tidak dapat rujuk
kembali-pent) atau karena meninggalnya suami, akan tetapi tidak mengapa
baginya untuk ta’ridh (dengan sindiran). Sebagaimana firman Allah Ta’ala
:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu."
[Al-Baqarah: 235]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari dan ini adalah lafazhnya
(IX/104, no. 5063), Shahiih Muslim (II/1020, no. 1401), Sunan an-Nasa-i
(VI/60).
[2]. As-Sailul Jarraar (II/243)
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/112, no. 5066), Shahiih
Muslim (II/1018, no. 1400), Sunan Abi Dawud (VI/39, no. 2031), Sunan
at-Tirmidzi (II/272, no. 1087), Sunan an-Nasa-i (VI/56), Sunan Ibni
Majah (I/592, no. 1845).
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/132, no. 5090), Shahiih
Muslim (II/1086, no. 1466), Sunan Abi Dawud (VI/42, no. 2032), Sunan
Ibni Majah (I/597, no. 1858), Sunan an-Nasa-i (VI/68)
[5]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (II/1087, no. 715) dan ini adalah
lafazh-nya, dan dengan lafazh yang semisalnya tanpa kalimat yang
terakhir, diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari (IX/121, no. 5079),
Sunan Abi Dawud (VI/43, no. 2033), Sunan at-Tirmidzi (II/280, no. 1106),
Sunan Ibni Majah (1/598, no. 1860), Sunan an-Nasa-i (VI/65) dengan
lafazh Muslim dan sedikit tambahan.
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2940)], [Irwaa-ul
Ghaliil (no. 1784)], Sunan Abi Dawud (VI/47, no. 2035), Sunan an-Nasa-i
(VI/65).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 866)], Sunan at-Tirmidzi (II/ 274, no. 1091)
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047)], Shahiih al-Bukhari
(IX/ 175, no. 5122), Sunan an-Nasa-i (VI/77). Lihat kitab Fat-hul Baari
(IX/ 83) terbitan Daar ar-Rayyan.
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 151)], Sunan Ibni Majah (I/599, no. 1864).
[10]. Shahih: [Shahiih as-Sunan at-Tirmidzi (no. 868)], Sunan an-Nasa-i
(VI/ 69) dan ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (II/275, no. 1093)
dan dalam riwayatnya dengan lafazh “فَإِنَّهُ أَحْرَى”
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3037)], Shahiih al-Bukhari (IX/198, no. 5142), Sunan an-Nasa-i (VI/73
Rabu, 19 Oktober 2011
Siapakah Wanita Pilihan? Siapakah Lelaki Pilihan? Khitbah (Meminang)
Posted by Dini Ariani on 19.26
0 komentar:
Posting Komentar