Mengenal Allah
AL WAHHAB
Yang Maha Pemberi
Diambil dari Buku Menyingkap Tabir Ilahi, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab
Siapa berani yang mengatakan kepada semua manusia di bumi ini bahwa dirinya adalah manusia yang akan memberi apa saja kepada siapa pun setiap saat tanpa imbalan sama sekali ? Siapa pula yang berani mempromosikan dirinya akan memberikan segala yang dibutuhkan dari orang-orang yang datang kepadanya terus menerus tanpa bayar sepersenpun ?
Sepemurahnya manusia yang ada di muka bumi ini tidak ada yang berani menghadapi tantangan seperti di atas. Hanya Allah lah yang berani ungkapkan tegas kepada manusia, dan bahkan untuk semua makhluk yang lain. Dialah Allah, Al Wahhab.
Al Wahhab terambil dari akar kata “wahhaba” yang berarti “memberi” dan “memberikan sesuatu tanpa imbalan”. Al Wahhab adalah yang memberi -walaupun tanpa dimintai- banyak dari miliknya. Dia memberi berulang-ulang, bahkan bersinambung tanpa mengharapkan imbalan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Masih bukan tergolong Wahhab, jika yang memberi disertai tujuan duniawi atau ukhrawi, baik tujuan itu berupa pujian, meraih persahabatan, menghindari celaan atau guna mendapatkan kehormatan maka dia sebenarnya telah mengharapkan imbalan karena yang dimaksud dengan imbalan dalam konteks makna kata ini, bukan sekedar sesuatu yang material. Melakukan sesuatu, yang bila tidak dilakukan dinilai buruk, pada hakekatnya adalah imbalan yang menjadikan pelakunya tidak berhak menyandang sifat ini. Di sisi lain, makhluk tidak mungkin akan dapat memberi secara bersinambung atau terus menerus dan dalam keadaan apapun, karena makhluk tidak dapat luput dari kekurangan. Bukan juga Wahhab namanya, kecuali apa yang diberikannya dalam bentuk yang disebut di atas, merupakan nikmat dan bertujuan baik untuk yang diberi, kini dan masa datang. Demikian Ibnul ‘Arabi. Karena itu anugerahNya yang diberikan kepada orang kafir tidak menjadikanNya dinamai wahhab, karena anugerah itu dapat menjadi bencana untuknya kini atau masa datang.
Ayat-ayat yang mengandung kata Wahhab :
“Wahai Tuhan kami, jangan Engkau sesatkan hati kami sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami dan anugerahilah kami rahmat dari sisiMu, karena sesungguhnya Engkaulah Al Wahhab Yang Maha Pemberi” (QS. Ali Imran 3:8). Permohonan di sini adalah bersinambungnya petunjuk yang selama ini telah diterima, dan yang sekaligus merupakan bagian dari rahmat Allah swt.
Doa Nabi Sulaiman “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut bagi seorangpun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi” (QS. Shad 38:35). Kerajaan yang dimohonkannya itu adalah kerajaan yang tiada taranya, sehingga terus menerus dikenang sepanjang masa.
Sekali lagi, seorang manusia tidak dapat menjadi Wahhab, karena tidak ada satu aktifitaspun yang dilakukannya yang luput dari tujuan walaupun aktifitas tersebut beruap ibadah. Dalam beribadah tujuan untuk menghindar dari nerakaNya, atau meraih surgaNya merupakan dua tujuan yang seringkali menghiasi jiwa setiap pelaku ibadah. Peringkat tujuan yang lebih tinggipun dari kedua tujuan diatas, yakni bukan karena takut atau mengharap tapi karena cinta dan syukur kepadaNya, belum juga menjadikan sang arif yang beribadah terlepas dari tujuan-tujuan atau harapan meraih imbalan. Karena kemampuan manusia hanya sampai di sana, maka Allah mentoleransi pemberian yang bertujuan untuk menjalin persahabatan atau menghindar dari cela atau bencana, selama itu diberikan dalam batas kewajaran yang benar dalam beribadah. Allah juga mentoleransi mereka yang beribadah untuk meraih surga atau menghindar dari neraka, selama ibadah yang dilakukannya karena Allah. Bukankah Allah merangsang manusia dengan take in give (mengambil dan memberi)? Bukankah Allah sendiri dalam Al Quran menggunakan kata-kata “tijarah” (perniagaan), “ba’i” (jual beli), “qardh” (kredit) dan sebagainya.
“Wahai orang-orang yang beriman maukah kamu Kutunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari siksa pedih ? ” (QS. Ash-Shaf 61:10). Tahukah Anda perniagaan apa itu ? “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa kamu..”. Anda boleh bertanya apa imbalan bahkan keuntungan yang diraih dari perniagaan ini ? Dengarkan jawabannya pada ayat selanjutnya, “Dia (Allah) akan mengampuni dosa-dosa kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya serta tempat-tempat tinggi yang baik di surga And. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. Ash-Shaf 61:12). Bahkan ada juga ganjaran yang diterima di dunia, karena firmanNya sesudah janji ini, “Masih ada yang lain yang kamu sukai yaitu pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat (dalam kehidupan dunia ini)” (QS. Ash Shaf 61:13).
Memang, masyarakat umum memahami ketiadaan pamrih sebagai melakukan sesuatu demi karena Allah semata, sehingga siapa yang melakukan sesuatu untuk tujuan yang lain bukan untukNya semata maka itulah pamrih. Tetapi ini tidak sepenuhnya benar, karena suatu tujuan di samping dapat merupakan tujuan utama dapat juga sebagai “jalan yang mengantar” ke tujuan yang lebih utama, dan ketika itu jalan tersebut tidak lagi menjadi tujuan. Seseorang yang bekerja untuk mendapatkan uang, pada hakekatnya tujuannya bukanlah uang tetapi ketenangan hidup dan kenyamanannya. Yang membedakan tujuan yang “merupakan jalan” dan “tujuan yang sesungguhnya” adalah bahwa yang ” merupakan jalan”, akan diabaikan, jika yang menjadi tujuan sesungguhnya telah dicapai. Namun keduanya adalah tujuan. Yang beribadah untuk meraih surga atau menghindar dari neraka -tujuannya adalah Allah, walau tujuan yang mengantarnya ke sana adalah meraih surga atau menghindar dari neraka.
Jika demikian dapatkan seseorang meneladani Allah dalam sifat ini ? Kita menjawab; mengapa tidak ? Bukankah Allah- seperti telah diuraikan di atas- telah memberi toleransi ? Karena hanya sampai disana kemampuan manusia. Bukankah sejak semula ditegaskan bahwa , “Laisa kamitslihi Syaiun ?” “Tidak ada yang serupa denganNya ?”. Bukankah sejak dini pula telah ditekankan bahwa meneladaniNya adalah sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ? Tentu saja banyak toleransi yang diterima atau diambil, semakin rendah tingkat penerima atau pengambilnya. Pemberi yang motivasinya memperoleh imbalan serupa lebih rendah tingkatnya, dibanding dengan yang tidak mengharap imbalan serupa. “Apa yang kamu berikan dari riba supaya bertambah banyak harta manusia maka tidaklah bertambah banyak di sisi Allah” (QS. Ar Rum 30:39). Walau itu tidak dilarangnya namun sejak wahyu ketiga Dia berpesan kepada rasulNya : ” Jangan memberi dengan mengharap imbalan yang lebih banyak” (QS. Al Muddatstsir 74 : 6).
Menanti ucapan terima kasih tidak dilarangnya, tetapi yang memberi tanpa mengharapkan terima kasih atau balasan, dipuji bahkan diabadikan ucapannya – walau ketika memberi mengharapkan keselamatan di hari kemudian. “Mereka berkata, ‘Kami memberi makan kepada kamu demi karena Allah, kami tidak menghendaki dari kamu balasan dan tidak pula terima kasih. Sesungguhnya kami takut kepada Tuhan kami, pada hari yang sangat bermuka masam” (QS. Al Insan 76 : 9-10).
Pemberian yang tertinggi yang dapat dilakukan manusia adalah memberi tanpa takut neraka atau tanpa mengharap surga, namun sekali lagi – itupun tidak menjadikannya Wahhab, karena hanya Allah Al Wahhab, namun yang demikian ditoleransi oleh Yang Maha Pemberi anugerah- lahir dan batin itu. Karena itu meneladani sifat ini menuntut upaya untuk terus menerus memberi sekuat kemampuan. Ciri orang bertaqwa menurut QS. Ali Imran 3:134 antara lain adalah “menafkahkan (miliknya) baik dalam keadaan senang (lapang) maupun susah (sempit)”. Itu dilakukannya dengan rela karena dia merasa bahwa Allah telah membiasakan hidupnya dengan curahan serta kesinambungan anugerahNya.
0 komentar:
Posting Komentar