Semoga Allah memberikan berkah kepada saudara penanya yang terhormat mengenai apa yang telah dikaruniakan-Nya
kepadanya. Mudah-mudahan Allah menyempurnakan
nikmat-nikmat-Nya atasnya dan menolongnya untuk selalu ingat
kepada-Nya dan bersyukur kepada-Nya serta memperbaiki ibadah
kepada-Nya. Saya merasa gembira bahwa dia telah mengeluarkan
zakat dari penghasilan gedung-gedungnya sesuai dengan
pendapat yang saya pandang kuat, tanpa menunggu berputarnya
masa satu tahun. Mudah-mudahan saja dia menginfakkan seluruh
hasilnya atau sebagiannya.
Adapun menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid sehingga
dapat digunakan untuk mengagungkan nama Allah, berdzikir
kepada-Nya, menegakkan syiar-syiar-Nya, menunaikan shalat,
serta menyampaikan pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat,
maka hal ini termasuk yang diperselisihkan para ulama dahulu
maupun sekarang. Apakah yang demikian itu dapat dianggap
sebagai “fi sabilillah” sehingga termasuk salah satu dari
delapan sasaran zakat sebagaimana yang dinashkan di dalam
Al-Qur’anul Karim dalam surat at-Taubah:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 60)
Ataukah kata “sabilillah itu artinya terbatas pada “jihad”
saja sebagaimana yang dipahami oleh jumhur?
Saya telah menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam
kitab saya Fiqh az-Zakah, dan di sini tidaklah saya uraikan
lagi masalah tersebut.
Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama, dengan
memperluas pengertian “jihad” (perjuangan) yang meliputi
perjuangan bersenjata (inilah yang lebih cepat ditangkap
oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran), jihad tarbawi
(pendidikan), jihad da’wi (dakwah), jihad dini (perjuangan
agama), dan lain-lainnya. Kesemuanya untuk memelihara
eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi kepribadian
Islam dari serangan musuh yang hendak mencabut Islam dari
akar-akarnya, baik serangan itu berasal dari salibisme,
misionarisme, marxisme, komunisme, atau dari Free Masonry
dan zionisme, maupun dari antek dan agen-agen mereka yang
berupa gerakan-gerakan sempalan Islam semacam Bahaiyah,
Qadianiyah, dan Bathiniyah (Kebatinan), serta kaum sekuler
yang terus-menerus menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan
dunia Islam.
Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-negara
kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya mampu
mendirikan masjid-masjid yang diperlukan oleh umat, seperti
negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya zakat disana
digunakan untuk membangun masjid. Sebab negara-negara
seperti ini sudah tidak memerlukan zakat untuk hal ini,
selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang disepakati
pendistribusiannya yang tidak ada penyandang dananya baik
dari uang zakat maupun selain zakat.
Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya cukup
digunakan untuk membangun sepuluh atau lebih masjid di
negara-negara muslim yang miskin yang padat penduduknya,
sehingga satu masjid saja dapat menampung puluhan ribu
orang. Dari sini saya merasa mantap memperbolehkan
menggunakan zakat untuk membangun masjid di negara-negara
miskin yang sedang menghadapi serangan kristenisasi,
komunisme, zionisme, Qadianiyah, Bathiniyah, dan
lain-lainnya. Bahkan kadang-kadang mendistribusikan zakat
untuk keperluan ini – dalam kondisi seperti ini – lebih
utama daripada didistribusikan untuk yang lain.
Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam:
Pertama, mereka adalah kaum yang fakir, yang harus dicukupi
kebutuhan pokoknya sebagai manusia sehingga dapat hidup
layak dan terhormat sebagai layaknya manusia muslim.
Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi bagi jamaah
muslimah.
Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan masjid,
baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan pribadi atau
dari para dermawan, maka tidak ada larangan di negara
tersebut untuk mendirikan masjid dengan menggunakan uang
zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan dengannya sehingga
tidak ada kaum muslim yang hidup tanpa mempunyai masjid.
Sebagaimana setiap orang muslim membutuhkan makan dan minum
untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya, maka jamaah
muslimah juga membutuhkan masjid untuk menjaga kelangsungan
kehidupan rohani dan iman mereka.
Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi saw.
setelah hijrah ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi
yang mulia yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman itu.
Kedua, masjid di negara-negara yang sedang menghadapi bahaya
perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada dibawah
pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah semata-mata
tempat ibadah, melainkan juga sekaligus sebagai markas
perjuangan dan benteng untuk membela keluhuran Islam dan
melindungi syakhshiyah islamiyah.
Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan
masjid dalam membangkitkan harakah umat Islam di Palestina
yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut bahasa berarti
mengguncang/ menggoyang; Penj.) yang pada awal kehadirannya
dikenal dengan sebutan “Intifadhah al masajid.” Kemudian
oleh media informasi diubah menjadi “Intifadhah al-Hijarah”
batu-batu karena takut dihubungkan dengan Islam yang
penyebutannya itu dapat menggetarkan bangsa Yahudi dan
orang-orang yang ada di belakangnya.
kondisi seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi
menjunjung tinggi kalimat-Nya serta membela agama dan
umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan demi
menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi
sabilillah (di jalan Allah).
0 komentar:
Posting Komentar