Tidak setiap perceraian itu dibolehkan dalam Islam, karena ada talak yang dimakruhkan, bahkan diharamkan. Karena hal itu dapat merobohkan bangunan rumah tangga yang sangat ditekankan Islam agar kita membina dan membangunnya. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.”
Sehingga perceraian yang disyari’atkan oleh Islam itu mirip dengan operasi menyakitkan yang dirasakan oleh seseorang yang menjalani sakitnya. Bahkan terkadang salah satu anggota tubuhnya harus dipotong demi menjaga seluruh anggota tubuhnya yang tersisa, atau karena menghindarkan bahaya yang lebih besar.
Apabila sampai diputuskan untuk bercerai antara dua pasangan dan tidak berhasil segala sarana perbaikan dan upaya mempertemukan kembali di antara kedua belah pihak,
maka perceraian dalam keadaan seperti ini merupakan obat yang sangat pahit yang tidak ada obat yang lainnya. Oleh karena itu dikatakan dalam pepatah, “Jika tidak mungkin bertemu, maka ya berpisah.” Al Qur’an Al Karim juga mengatakan:
“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-rnasing dari limpahan karunia-Nya…” (An-Nisa’: 130)
Apa yang telah disyari’atkan oleh Islam, itulah yang sesuai dengan akal, hikmah dan kemaslahatan. Karena termasuk sesuatu yang jauh dari logika akal sehat dan fithrah, jika dipaksakan dengan kekuatan hukum suatu pabrik yang merusak dua penanam saham yang keduanya tidak saling bertemu dan tidak saling mempercayai.
Sesungguhnya memaksakan kehidupan ini dengan kekuasaan hukum adalah siksaan yang keras. Manusia tidak tahan, karena itu lebih buruk daripada penjara sepanjang masa. Bahkan menjadi neraka yang kita tidak kuat menahannya. Seorang ahli hikmah mengatakan, “Sesungguhnya bahaya yang terbesar adalah mempergauli orang yang tidak menyetujui kamu dan tidak menentang kamu.”
Mempersempit Lingkup Perceraian
Islam telah meletakkan sejumlah kaidah (prinsip-prinsip) dan ajaran-ajaran yang seandainya manusia mau mengikuti dengan baik dan melaksanakannya, maka sedikit sekali kita menemukan perceraian dan niscaya semakin minim perceraian itu. Di antara prinsip-prinsip itu adalah:
1. Memilih isteri dengan baik dengan cara memusatkan perhatian pada agama dan akhlaq sebelum harta, pangkat (jabatan) dan kecantikan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agama, maka beruntunglah orang yang memperoleh wanita yang kuat agama-nya, maka tanganmu akan penuh debu (rugi) jika tidak kamu ikuti.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
2. Melihat wanita yang dikhitbah sebelum terlaksananya aqad, agar memperoleh kemantapan dan kepuasan hati. Karena melihat sejak dini itu merupakan langkah menuju kerukunan dan cinta kasih.
3. Perhatian wanita dan wali-walinya untuk memilih suami yang mulia (baik) dan mengutamakan yang baik agama dan akhlaqnya, sebagaimana petunjuk dalam Sunnah.
4. Disyaratkan pihak wanita harus ridha untuk menikah dengan calon suami yang ditawarkan kepadanya. Tidak boleh ada pemaksaan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
5. Mendapat ridha (memperoleh persetujuan) dari wali wanita, baik yang wajib atau sunnah.
6. Bermusyawarah dengan ibu dari calon pengantin putri, agar pernikahan itu disetujui oleh semua pihak. Karena Rasulullah SAW bersabda, “Ajaklah para wanita untuk bermusyawarah tentang anak-anak wanitanya.”
7. Diwajibkannya mempergauli (bergaul) dengan baik dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban antara suami isteri, serta membangkitkan semangat keimanan untuk berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan Allah serta bertaqwa kepada Allah SWT.
8. Mendorong suami agar hidup secara realistis, karena tidak mungkin ia menginginkan kesempurnaan mutlak pada isterinya. Tetapi hendaknya ia melihat yang baik-baik (kebaikan-kebaikan), selain kekurangan-kekurangannya. Jika ia tidak suka kepada suatu sikap tertentu dari isterinya ia juga merasa senang dengan sikapnya yang lain.
9. Mengajak para suami untuk berfikir dengan akal dan kemaslahatan. Jika ia merasa tidak suka terhadap isterinya, maka jangan sampai ia cepat memperturuti perasaannya, dengan mengharap semoga Allah merubah sikapnya dengan yang lebih baik. Allah berfirman:
“Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’: 19)
10. Memerintahkan kepada suami untuk menghibur dan menasehati isterinya yang sedang nusyuz dengan bijaksana dan bertahap. Dari lemah lembut yang tidak lemah, sampai pada yang keras namun tidak kasar. Allah berfirman:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesunggahnnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa’: 34)
11. Memerintahkan masyarakat untuk ikut menyelesaikan ketika terjadi perselisihan antara suami isteri, yaitu dengan membentuk “Majlis Keluarga.” Majlis ini terdiri dari orang-orang yang bisa dipercaya dari keluarga kedua belah pihak, untuk berupaya mengishlah dan merukunkan serta memecahkan krisis yang menimpa dengan baik, Allah SWT berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’: 35)
Inilah beberapa ajaran Islam, yang seandainya kaum Muslimin mau mengikutinya dan memeliharanya dengan sungguh-sungguh maka kasus perceraian itu akan berkurang.
0 komentar:
Posting Komentar