Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Senin, 15 November 2010

27.Diary Maria

Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Tuan Boutros dan Madame Nahed datang. Aku sama sekali tidak menyangka mereka akan datang menjenguk dan mengucapkan selamat hari raya. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak semata-mata berkunjung. Tuan Boutros berkata, “Kedatangan kami berdua kemari mau minta pertolonganmu sekali lagi untuk kesembuhan Maria.”
“Aku tidak mengerti maksud Tuan. Apa yang bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini?” jawabku.

“Kaset rekaman suaramu itu bisa menyadarkan Maria beberapa menit. Begitu sadar ia menanyakan dirimu. Ia terus menanyakan dirimu sampai tak sadarkan diri kembali. Dokter ahli syaraf yang menanganinya meminta agar bisa mendatangkan dirimu beberapa saat untuk menyadarkan Maria. Dengan suara dan dengan sentuhan tanganmu ada kemungkinan Maria bisa sadar. Dan ketika mendapatkan dirimu berada di sisinya, dia akan memiliki semangat hidup kembali. Maria itu ternyata persis seperti ibunya yang tidak mudah jatuh cinta. Namun sekali jatuh cinta dia bisa melupakan sama sekali orang yang dicintainya. Madame Nahed ini dulu juga sakit seperti Maria sekarang, cuma tidak separah Maria,” kata Tuan Boutros.
“Tolonglah Anakku, aku tak mau kehilangan Maria. Aku sudah pernah mengalami apa yang dialami Maria. Hanya suaramu, sentuhanmu dan kehadiranmu di sisinya yang akan membuat dirinya kembali memiliki cahaya hidup yang telah redup,” desak Madame Nahed.
“Kalau hanya memperdengarkan suaraku padanya, insya Allah aku bisa. Tapi kalau sampai menyentuhnya aku tidak bisa. Anda tentu sudah tahu kenapa? Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu sementara aku berada di dalam penjara. Apakah akan rekaman lagi?” jawabku.
“Kami akan minta izin kepada pihak kepolisian untuk membawamu ke rumah sakit beberapa saat lamanya dengan jaminan,” kata Tuan Boutros.

“Semoga bisa,” sahutku pelan.
Keduanya lalu keluar. Aku menunggu di ruang tamu penjara dengan penuh harap berdoa mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit menemui Maria. Dan semoga aku bisa menyadarkan Maria sehingga nanti dia bisa menjadi saksi dalam persidangan penentuan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan. Entah bagaimana diplomasi mereka pada pihak kepolisian dan jaminan apa yang mereka berikan akhirnya mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit sampai maghrib tiba. Saat azan maghrib berkumandang aku harus sudah berada di dalam penjara lagi. Borgolku dilepas. Aku melihat jam dinding yang ada di ruangan itu. Baru pukul setengah delapan pagi. Maghrib sekitar pukul lima empat lima. Ada waktu sembilan jam setengah. Semoga waktu yang ada itu cukup untuk membantu Maria.
Tuan Boutros dan Madame Nahed membawaku ke mobil mereka. Aku heran, sama sekali kami tidak dikawal. Apa mereka tidak takut aku akan melarikan diri. Aku tanyakan hal itu pada Tuan Boutros. Beliau menjawab, “Jika kau lari maka kami sekeluarga akan mati. Kami sekeluarga yang menjadi jaminanmu.”

“Apa Tuan tidak kuatir aku akan melarikan diri?” tanyaku.
“Aku sudah mengenal siapa dirimu. Kau bukan seorang pengecut yang akan melakukan hal itu,” jawab Tuan Boutros mantap.

“Terima kasih atas kepercayaannya,” tukasku.
Rumah sakit tempat Maria dirawat adalah rumah sakit tempat aku dulu dirawat. Begitu sampai di sana Madame Nahed yang juga seorang dokter langsung meminta temannya untuk memeriksa kesehatanku. Aku sempat minta pada Madame Nahed menghubungi Aisha yang tinggal di rumah paman Eqbal yang tak jauh dari rumah sakit. Seorang dokter memeriksa tekanan darahku dan lain sebagainya dengan proses yang cepat. Dia minta aku mandi dengan air kemerahan yang telah disiapkan seorang perawat. Lalu salin pakaian rumah sakit. Aku mandi dengan cepat. Setelah itu aku disuntik. Barulah aku diajak ke kamar di mana Maria tergeletak seperti mayat. Aku tak kuasa menatapnya. Maria yang kulihat itu tidak seperti Maria yang dulu. Ia tampak begitu kurus. Mukanya pucat dan layu. Tak ada senyum di bibirnya. Matanya terpejam rapat. Air matanya terus meleleh. Entah kenapa tiba-tiba mataku basah. Seorang dokter setengah baya memintaku untuk berbicara dengan suara yang datang dari jiwa agar bisa masuk ke dalam jiwa Maria. “Ini penyakit cinta, hanya bisa disembuhkan dengan getaran-getaran cinta,” katanya padaku.
Aku duduk di kursi dekat Maria berbaring. Mulutku tak jauh dari telinga Maria. Aku memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya untuk membukakan mata. Aku bercerita dan lain sebagainya. Satu jam sudah aku berbicara tapi Maria tetap tidak sadar juga. Dokter setengah baya mengajakku bicara. Dia minta agar aku mengucapkan kata-kata yang mesra, kata-kata pernyataan cinta pada Maria sambil memegang-megang tangannya atau menyentuh keningnya.
Kujawab, “Maafkan diriku atas ketidakmampuanku melakukan hal itu. Aku tidak mungkin menyatakan cinta dan menyentuh bagian tubuh seorang wanita, kecuali pada isteriku saja.”
“Tolonglah, lakukan itu untuk merangsang syarafnya dan membuatnya sadar. Kau harus mengatakan dan melakukan sesuatu yang memiliki efek pada syaraf dan memorinya. Dan lebih dari itu pada jiwanya. Utarakanlah rasa cintamu padanya, mungkin itu akan menolongnya.”

“Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak menyesal.”

“Ini tidak sungguhan.”
“Aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak bisa melakukan hal itu, juga tidak bisa untuk melakukan suatu kebohongan. Bagaimana jika aku mengungkapkan rasa cinta lalu dia sadar. Kemudian dia tahu aku membohonginya apakah itu bukan suatu penyiksaan yang kejam padanya?”
Dokter setengah baya diam. Ia lalu keluar dan beranjak keluar untuk berbicara pada Tuan Boutros dan Madame Nahed. Aku duduk terpekur dalam ketermanguan. Lakon hidup ini kenapa begitu rumit? Aku melihat bibir Maria bergetar menyebut sebuah nama. Hatiku berdesir. Yang ia sebut adalah namaku. Aku menjawab dengan menyebut namanya tapi ia tidak juga membuka matanya. Ingin aku menggoyang-goyang tubuhnya agar ia sadar, agar ia tahu aku ada di dekatnya tapi itu tak mungkin aku lakukan. Tuan Boutros mengajakku berbicara enam mata dengan Madame Nahed di sebuah ruangan. Tuan Boutros menyerahkan sebuah agenda berwarna biru.
“Fahri, ini agenda pribadi Maria. Tempat ia mencurahkan segala perasaan dan pengalamannya yang sangat pribadi yang terkadang kami tidak mengetahuinya. Termasuk cintanya padamu yang luar biasa. Kami tidak pernah menyalahkanmu dalam masalah ini. Sebab kamu memang tidak bersalah. Kamu tidak pernah melakukan tindakan yang tidak baik pada Maria. Kami juga tidak bisa menyalahkan Maria. Bacalah beberapa halaman yang telah kami tandai itu agar kau mengetahui bagaimana perasaan Maria terhadapmu sebenarnya,” kata Tuan Boutros.
Aku menerima agenda pribadi Maria itu dan membaca pada halaman- halaman yang telah ditandai dengan sedikit dilipat ujung atas halamannya.

Kubuka lipatan 1:

Senin, 1 Oktober 2001, pukul 22.25

Sudah dua tahun dia dan teman-temannya tinggal di flat bawah. Kamarnya tepat dibawah kamarku. Aku tak pernah berkenalan langsung dengannya, tapi aku mengenalnya. Aku tahu namanya dan tanggal lahirnya. Yousef banyak bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Setiap Jum’at pagi dia dan teman-temannya bermain sepak bola di lapangan bersama Yousef dan anak-anak muda Hadayek Helwan. Mereka semua mahasiswa Al Azhar dari Indonesia yang ramah dan menghormati siapa saja. Kata Yousef yang paling ramah dan dewasa adalah dia. Bahasa ‘amiyah dan fushanya juga paling baik di antara keempat orang temannya.
Ayah pernah dibuat terharu oleh sikapnya yang tidak mau merepotkan dan menyakiti tetangga. Ceritanya suatu hari ayah menagih iuran air ke tempatnya. Ternyata ia sedang tidak enak badan dan istirahat di kamarnya. Teman-temannya mengajak ayah masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya ada sebuah ember untuk menadah air yang menetes dari langit-langit. Ayah langsung tahu bahwa tetesan air itu berasal dari kamar mandi kami. Karena kamilah yang tepat berada di atasnya. Dan letak kamar mandi memang berada di samping kamarku. Ayah bertanya padanya,

“Sudah berapa lama air ini merembes dan menetes di kamarmu?”

“Satu bulan?”

“Kenapa kau tidak bilang kepadaku kalau ada ketidakberesan di kamar mandi kami dan merembes ke tempatmu?”

“Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda,
‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya!’ Kami tahu kerusakan itu perlu diperbaiki. Dan perbaikan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena lantai rumah Anda adalah langi- langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu tentunya kita berdua yang menanggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami menunggu ada uang baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu Anda kami takut akan akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan.”
Mendengar jawaban itu hati ayah sangat tersentuh dan terharu. Ayah terharu atas kesabaran dia selama satu bulan. Ada air menetes di langit-langit kamar tentu sangat mengganggu kenyamanan. Ayah juga terharu akan kedewasaannya dalam merasa bertanggung jawab. Ayah merasa mendapat teguran. Bagaimana tidak? Setengah tahun sebelumnya ada air menetes di langit- langit kamar mandi kami. Berarti kamar mandi penghuni rumah atas kami tidak beres. Ayah dengan tegas langsung meminta orang atas memperbaikinya tanpa memberi bantuan finansial sedikit pun. Sebab ayah merasa itu sepenuhnya tanggung jawab orang atas. Sejak itu kekaguman ayah padanya dan pada teman- temannya sering ayah ungkapkan. Dan sejak kejadian itu aku jadi penasaran ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.
Sudah dua tahun dia tinggal di bawah dan aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Seringkali kami bertemu tak sengaja di jalan, di halaman apartemen, di gerbang, atau di tangga. Tapi kami tak pernah bertegur sapa. Dia lebih sering menunduk. Jika tanpa sengaja beradu pandangan saat bertemu denganku dia cepat-cepat menunduk atau mengalihkan padangan. Dia bersikap biasa. Tidak tersenyum juga tidak bermuka masam. Akhirnya tadi siang saat aku pulang dari kuliah aku bertemu dia di dalam metro. Dia juga dari kuliah. Aku memberanikan diri untuk menyapanya dan mengajaknya bicara. Sebab rasa-rasanya rasa penasaranku ingin tahu sendiri keindahan pribadinya seperti yang sering diceritakan Yousef dan ayah tidak dapat aku tahan lagi. Aku menyapanya dengan tersenyum dan dia pun menjawab dengan baik dan halus. Aku heran pada diriku sendiri bagaimana mungkin aku tersenyum padanya. Aku jarang bahkan bisa dikatakan anti memberikan senyum pada lelaki yang bukan keluargaku. Aku tidak tahu kenapa aku memberikan senyumku padanya dan aku tidak merasa menyesal bahkan sebaliknya. Yang membuatku senang adalah dia ternyata tahu namaku. Saat itu aku ingin bertanya padanya kenapa selama ini kalau bertemu di jalan atau ditangga tidak pernah menyapaku. Tapi kuurungkan.
Perbincangan dengannya tadi siang sangat berkesan di hatiku. Dia memiliki tutur bahasa yang halus dan kepribadian yang indah. Ia tidak mau aku ajak berjabat tangan. Bukan tidak menghormati diriku, kata dia, justru karena menghormati diriku. Dia juga bisa menjadi pendengar yang baik. Sifat yang tidak banyak dimiliki setiap orang. Ia sangat senang menyimak aku membaca surat Maryam. Kelihatannya ia kaget ada gadis koptik hafal surat Maryam. Aku bukan gadis yang mudah terkesan pada seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa sangat terkesan dengan sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong padanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus yang menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu setiap pagi.

Lipatan 2:

Minggu, 16 Desember 2001, pukul 21.00

Kenapa aku menangis? Perasaan apa yang mendera hatiku sekarang?Begitu menyiksa. Aku tak pernah merindukan seseorang seperti rinduku padanya. Sudah satu bulan aku tidak melihatnya melintas di halaman apartemen. Sudah satu bulan dia menghilang membuat hatiku merasa tercekam kerinduan. Yousef bilang Fahri pergi umrah sejak pertengahan Ramadhan dan sampai sekarang belum juga pulang. Aku merasa memang telah jatuh cinta padanya. Cinta yang datang begitu saja tanpa aku sadari kehadirannya di dalam hati.

Lipatan 3:

Sabtu, 10 Agustus 2002 pukul 11.15

Pulang dari restoran Cleopatra kugoreskan pena ini. Sebab aku tidak bisa mengungkapkan gelegak perasaanku secara tuntas kecuali dengan menorehkannya dalam diary ini.
Akhirnya keraguanku padanya hilang, berganti dengan keyakinan. Selama ini aku ragu apakah dia bisa romantis. Sebab selama bertemu atau berbicara dengannya dia sama sekali tidak pernah berkata yang manis-manis. Selalu biasa, datar dan wajar. Dia selalu tampak serius meskipun setiap kali aku tersenyum padanya dia juga membalas dengan senyum sewajarnya.
Tapi malam ini, apa yang dia lakukan membuat hatiku benar-benar sesak oleh rasa cinta dan bangga padanya. Dia sangat perhatian dan suka membuat kejutan. Kali ini yang mendapat kejutan indah darinya adalah Mama dan Yousef. Mereka berdua mendapat hadiah ulang tahun darinya. Meskipun di atas namakan seluruh anggota rumahnya tapi aku yakin dialah yang merencanakan semuanya. Dia ternyata sangat romantis. Tak perlu banyak berkata-kata dan langsung dengan perbuatan nyata. Fahri, aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah kau tahu yang terjadi pada diriku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu untuk mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa tidak mau itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa sangat bangga mencintai lelaki yang kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti dirimu.

Lipatan 4:

Minggu, 11 Agustus 2002 pukul 22.00

Aku sangat cemas memikirkan dia. Dia dia tergeletak keningnya panas. Kata Mama terkena heat stroke. Kata teman-temannya dia seharian melakukan kegiatan yang melelahkan di tengah musim panas yang sedang menggila.

Oh, kekasihku sakit
Aku menjenguknya
Wajahnya pucat
Aku jadi sakit dan pucat
Karena memikirkan dirinya

Aku semakin tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya aku tadi masuk kamarnya ikut Mama dan Ayah menjenguknya. Dia seorang pemuda yang ulet, pekerja keras, dan memiliki rencana ke depan yang matang. Aku masih ingat dia menyitir perkataan bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’
Aku merasa tidak salah mencintai dia. Aku ingin hidup bersamanya. Merenda masa depan bersama dan membesarkan anak-anak bersama. Membangun peradaban bersama. Oh Fahri, apakah kau mendengar suara-suara cinta yang bergemuruh dalam hatiku?

Lipatan 5:

Sabtu, 17 Agustus 2002, pukul 23.15

Aku belum pernah merasakan ketakutan dan kecemasan sehebat ini? Aku tak ingin kehilangan dirinya. Dia memang keras kepala. Diingatkan untuk menjaga kesehatannya tidak juga mengindahkannya. Akhirnya terjadilah peristiwa yang membuat diriku didera kecemasan luar biasa.
Siang tadi pukul setengah empat Saiful datang dengan wajah cemas. Minta tolong Fahri dibawa ke rumah sakit. Fahri tak sadarkan diri. Aku telpon Mama di rumah sakit lalu bersama Yousef membawa Fahri ke rumah sakit. Aku menungguinya sampai jam delapan malam. Dan dia belum juga siuman. Ah, Fahri kau jangan mati! Aku tak mau kehilangan dirimu. Sembuhlah Fahri, aku akan katakan semua perasaanku padamu. Aku sangat mencintaimu.

Lipatan 6:

Minggu, 18 Agustus 2002, pukul 17.30

Seolah-olah akulah yang sakit, bukan dia. Tuhan, jangan kau panggil dia. Aku ingin dia mendengar dan tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Dia tergeletak tanpa daya berselimut kain putih. Kata Saiful pukul setengah tiga malam dia sadar tapi tak lama. Lalu kembali tak sadarkan diri sampai aku datang menjenguknya jam setengah delapan pagi tadi. Kulihat Saiful pucat. Ia belum tidur dan belum makan. Kuminta dia keluar mencari makan. Aku mengantikan Saiful menjaganya. Aku tak kuasa menahan sedih dan air mataku. Dia terus mengigau dengan bibir bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matanya meleleh . Mungkin dia merasakan sakit yang tiada terkira.
Aku tak kuasa menahan rasa sedih yang berselimut rasa cinta dan sayang padanya. Kupegang tangannya dan kuciumi. Kupegang keningnya yang hangat. Aku takut sekali kalau dia mati. Aku tidak mau dia mati. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak menciumnya. Pagi itu untuk pertama kali aku mencium seorang lelaki. Yaitu Fahri. Aku takut dia mati. Kuciumi wajahnya. Kedua pipinya. Dan bibirnya yang wangi. Aku tak mungkin melupakan kejadian itu. Kalau dia sadar mungkin dia akan marah sekali padaku. Tapi aku takut dia mati. Saat menciumnya aku katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Tapi dia tak juga sadar. Tak juga menjawab.
Pukul delapan dia bangun dan dia kelihatan kaget melihat aku berada di sisinya. Aku ingin mengatakan aku cinta padanya. Tapi entah kenapa melihat sorot matanya yang bening aku tidak berani mengatakannya. Tenggorokanku tercekat. Mulutku terkunci hanya hati yang berbicara tanpa suara. Tapi aku berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya padanya. Aku ingin menikah dengannya. Dan aku akan mengikuti semua keinginannya. Aku sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya. Memang memendam rasa cinta sangat menyiksa tapi sangat mengasyikkan. Love is a sweet torment!

Lipatan terakhir:

Jum’at, 4 Oktober 2002, pukul 23.25

Aku masih sangat kelelahan baru pulang dari Hurgada. Baru setengah jam meletakkan badan di atas kasur aku mendapatkan berita yang meremukredamkan seluruh jiwa raga. Fahri telah menikah dengan Aisha, seorang gadis Turki satu minggu yang lalu. Aku merasa dunia telah gelap. Dan hidupku tiada lagi berguna. Harapan dan impianku semua lenyap. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku kecewa pada hari-hari yang telah kujalani. Andaikan waktu bisa diputar mundur aku akan mengungkapkan semua perasaan cintaku padanya dan mengajaknya menikah sebelum dia bertemu Aisha. Aku merasa ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan menunggunya di surga.

Air mataku tak bisa kubendung membaca apa yang ditulis Maria dalam diary pribadinya. Aku cepat-cepat menata hati dan jiwaku. Aku tak boleh larut dalam perasaan haru dan cinta yang tiada berhak kumerasakannya. Aku sudah menjadi milik Aisha. Dan aku harus setia lahir batin, dalam suka dan duka, juga dalam segala cuaca.
“Hanya kau yang bisa menolongnya Anakku. Nyawa Maria ada di tanganmu,” ucap Madame Nahed pelan dengan air mata meleleh di pipinya.

“Bukan aku. Tapi Tuhan,” jawabku.

“Ya. Tapi kau perantaranya. Kumohon lakukanlah sesuatu untuk Maria!”

“Aku sudah melakukannya semampuku.”

“Lakukanlah seperti yang diminta dokter. Tolong.”

“Andai aku bisa Madame, aku tak bisa melakukannya.”

“Kenapa?”

“Aku sudah katakan semuanya pada dokter.”
“Kalau begitu nikahilah Maria. Dia tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Sebagaimana aku tidak bisa hidup tanpa Boutros.”

“Itu juga tidak mampu aku lakukan. Aku sangat menyesal.”
“Kenapa Fahri? Kau tidak mencintainya? Kalau kau tidak bisa mencintainya maka kasihanilah dia. Sungguh malang nasibnya jika harus mati dalam keadaan sangat sengsara dan menderita. Kasihanilah dia, Fahri. Kumohon demi rasa cintamu pada nabimu.”

“Masalahnya bukan cinta atau kasihan Madame.”

“Lantas apa?”
“Aku sudah menikah. Dan saat menikah aku menyepakati syarat yang diberikan isteriku agar aku menjadikan dia isteri yang pertama dan terakhir. Dan aku harus menunaikan janji itu. Aku tidak boleh melanggarnya.”
“Aku akan minta pada Aisha untuk memberikan belas kasihnya pada Maria. Aku yakin Aisha seorang perempuan shalihah yang baik hati. Kebetulan itu dia, baru datang. Kau tunggulah di sini bersama Boutros. Aku mau bicara empat mata dengan Aisha.” Kata Madame Nahed sambil berjalan menyambut Aisha. Keduanya lalu berjalan memasuki sebuah ruangan. Entah apa yang akan dikatakan Madame Nahed pada Aisha. Semoga Aisha tidak terluka hatinya. Dan aku sama sekali tidak punya niat sedetikpun untuk menduakan Aisha dengan Maria. Aku tidak pernah berpikir kalau Maria mencintaiku sedemikian rupa.

* * *
Setelah berbincang dengan Madame Nahed, Aisha mengajakku berbicara empat mata. Matanya berkaca-kaca.

“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”

“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya maka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan ayah dari anak yang kukandung ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.

“Aisha, hidup dan mati ada di tangan Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan Maria lalu lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.”
“Aku tak bisa Aisha. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik untuk anak kita. Aku ini sebentar lagi menjadi ibu. Dan seorang ibu akan melakukan apa saja untuk ayah dari anaknya. Menikahlah dengan Maria. Dan kau akan menyelamatkan banyak orang. Kau menyelamatkan Maria. Menyelamatkan anak kita. Menyelamatkan diriku dari status janda yang terus membayang di depan mata dan menyelamatkan nama baikmu sendiri.”
“Aku mencintai kalian semua. Tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul- Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari yang bukan muslimah. Aku tak mungkin melakukannya isteriku.”

“Aku yakin Maria seorang muslimah.”

“Bagaimana kau bisa yakin begitu?”
“Dengan sekilas membaca diarynya. Jika dia bukan seorang muslimah dia tidak akan mencintaimu sedemikian kuatnya. Kalau pun belum menjadi muslimah secara lesan dan perbuatan, aku yakin fitrahnya dia itu muslimah.”
“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya. Dalam interaksi sosial kita bisa toleran pada siapa saja, berbuat baik kepada siapa saja. Tapi untuk masalah keyakinan aku tidak bisa main-main. Aku tidak bisa menikah kecuali dengan perempuan yang bersaksi dan meyakini tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalau untuk bertetangga, berteman, bermasyarakat aku bisa dengan siapa saja. Untuk berkeluarga tidak bisa Aisha. Tidak bisa!”
“Suamiku aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya. Anggaplah ini ijtihad dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. Nanti kita akan berusaha bersama untuk membawa Maria ke pintu hidayah. Jika tidak bisa, semoga Allah masih memberikan satu pahala atas usaha kita. Tapi aku sangat yakin dia telah menjadi seorang muslimah. Jika tidak bagaimana mungkin dia mau menerjemahkan buku yang membela Islam yang kau berikan pada Alicia itu. Itu firasatku. Kumohon menikahlah dan selamatkan Maria. Bukankah dalam Al- Qur’an disebutkan, Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.?”
Aku diam tidak bisa bicara apa-apa. Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisha mengambil cincin mahar yang aku berikan di jari manis tangan kanannya.

“Ini jadikan mahar untuk Maria. Waktunya sangat mendesak. Sebelum maghrib kau harus sampai di penjara. Jadi kau harus segera menikah dan melakukan semua petunjuk dokter untuk menyadarkan Maria.” Kata-kata Maria begitu tegas tanpa ada keraguan, setegas perempuan-perempuan Palestina ketika menyuruh suaminya berangkat ke medan jihad. Dengan sedikit ragu aku mengambil cincin itu. Aku tak bisa menahan isak tangisku. Aisha memelukku, kami bertangisan.
“Suamiku kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa. Yakinlah bahwa kau akan melakukan amal shaleh,” bisik Aisha.
Setelah itu aku menemui Madame Nahed dan Tuan Boutros. Mereka berdua menyambut kesediaanku dengan bahagia. Proses akad nikah dilaksanakan dalam waktu yang sangat cepat, sederhana, sesuai dengan permintaanku. Seorang ma’dzun syar’i mewakili Tuan Boutros menikahkan diriku dengan Maria dengan mahar sebuah cincin emas. Saksinya adalah dua dokter muslim yang ada di rumah sakit itu.
Setelah itu dokter setengah baya memberikan petunjuk apa yang harus aku lakukan untuk membantu Maria sadar dari komanya. Aku minta hanya aku dan Maria yang ada di ruang itu. Aku wudhu dan shalat dua rakaat lalu berdoa di ubun-ubun kepala Maria seperti yang aku lakukan pada Aisha. Aku hampir tidak percaya bahwa gadis Mesir yang dulu lincah, ceria dan kini terbaring lemah tiada berdaya ini adalah isteriku. Segenap perasaan kucurahkan untuk mencintainya. Aku membisikkan ke telinganya ungkapan-ungkapan rasa cinta dan rasa sayang yang mendalam. Aku lalu menciuminya seperti dia menciumiku waktu aku sakit. Tapi dia tetap diam saja. Aku lalu menangis melihat usahaku sepertinya sia-sia. Aku ingin melakukan lebih dari itu tapi tidak mungkin. Aku hanya bisa terisak sambil memanggil-manggil nama Maria.
Tiba-tiba aku melihat sujud mata Maria melelehkan air mata. Aku yakin Maria mulai mendengar apa yang aku katakan. Aku kembali menciumi tangannya. Lalu mencium keningnya. “Maria, bangunlah Maria. Jika kau mati maka aku juga akan ikut mati. Bangunlah kekasihku! Aku sangat mencintaimu!” kuucapkan dengan pelan di telinganya dengan penuh perasaan.

Kepalanya menggeliat, dan perlahan-lahan ia mengerjapkan kedua matanya. Aku memegang kedua tanganya sambil kubasahi dengan air mataku.

“F..f..Fahri..?”

“Ya, aku di sisimu Maria.”
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Maria bisa bicara meskipun dengan suara yang lemah,

“Aku mendengar kau berkata bahwa kau mencintaiku, benarkah?”

“Benar. Aku sangat mencintaimu,Maria?”

“Kenapa kau pegang tanganku. Bukankah itu tidak boleh?”

“Boleh! Karena kau sudah jadi isteriku.”

“Apa?”

“Kau sudah jadi isteriku, jadi aku boleh memegang tanganmu?”

“Siapa yang menikahkan kita?”

“Ayahmu. Apa kau tidak mau jadi isteriku?”
Mata Maria berkaca-kaca, “Itu impianku. Aku merasa kita tidak akan bisa menikah setelah kau menikah dengan Aisha. Terus bagaimana dengan Aisha?”
“Dia yang mendorongku untuk menikahimu. Ini cincin yang ada di tanganmu adalah pemberian Aisha. Anggaplah dia sebagai kakakmu.”

“Aku tak menyangka Aisha akan semulia itu.”

“Fahri, aku mau minta maaf. Saat kau sakit dulu aku pernah men…”
“Aku sudah tahu semuanya. Tadi saat kau belum bangun aku sudah membalasnya.”
Maria tersenyum. “Aku ingin kau mengulanginya lagi. Aku ingin merasakannya dalam keadaan sadar.” Pinta Maria dengan sorot mata berbinar. Aku memenuhi permintaannya. Seketika wajahnya kelihatan lebih bercahaya dan segar.

“Maria.”

“Ya.”

“Berjanjilah kau akan mengembalikan semangat hidupmu.”
“Setelah aku menemukan kembali cintaku maka dengan sendirinya aku menemukan kembali semangat hidupku. Saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa menjadi wanita paling berbahagia di dunia setelah sebelumnya merasa menjadi wanita paling sengsara.”
Aku melihat jam dinding. Satu jam lagi aku harus sampai di penjara. Dengan mata berkaca aku berkata, “Maria, aku keluar sebentar memberitahukan keadaanmu pada dokter, ayah ibumu dan Aisha.”
Maria mengangguk. Madame Nahed dan Tuan Boutros sangat berbahagia mendengar sadarnya Maria. Serta merta mereka berdua melangkah masuk diiringi dokter setengah baya. Kulihat Aisha duduk sendirian di bangku. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Aisha diam saja. Matanya basah.

“Kau menangis Aisha?”

Aisha diam seribu bahasa seolah tidak mendengar pertanyaanku.
“Kau menyesal dengan keputusanmu?” Dia menggelengkan kepala.

“Kenapa kau menangis? Kau cemburu?”
Aisha mengangguk. Aku memeluknya, “Maafkan aku Aisha, semestinya kau tidak menikah denganku sehingga kau menderita seperti ini.”
“Kau jangan berkata begitu Fahri. Menikah denganmu adalah kebahagianku yang tiada duanya. Kau tidak bersalah apa-apa Fahri. Tak ada yang salah denganmu. Kau sudah berusaha melakukan hal yang menurutmu baik. Rasa cemburu itu wajar. Meskipun aku yang memaksamu menikahi Maria. Tapi rasa cemburuku ketika kau berada dalam kamar dengannya itu datang begitu saja. Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta tiada.”

“Aku takut sebenarnya aku tidak pantas dicintai siapa-siapa.”
“Tidak Fahri. Kalau seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia mencintaimu.”
“Terima kasih atas segala ketulusanmu Aisha. Aku akan berusaha membalas cintamu dengan sebaik-baiknya. Aisha, sebentar lagi aku harus kembali ke penjara. Aku belum menjelaskan keadaanku pada Maria. Kaulah nanti yang pelan-pelan menjelaskan padanya semuanya. Kau jangan ragu, Maria sangat menghormatimu.”
Aku lalu masuk ke kamar menemui Tuan Boutros dan Madame Nadia. Aku mengingatkan keduanya waktuku telah habis. Mata Madame Nadia menatapku dengan berkaca-kaca. Aku pamitan padanya dan mencium tangannya. Dia kini jadi ibuku. Maria kelihatannya heran dengan yang ia lihat. Tuan Boutros menjelaskan pada Maria bahwa diriku ada urusan penting sekali. Aku menatap wajah Maria dalam-dalam. Dia menantapku penuh sayang. Air mataku hendak keluar tapi kutahan sekuat tenaga.
“Tersenyumlah dulu sebelum pergi, Sayang.” lirih Maria. Aku tersenyum sebisanya. Maria tersenyum manis sekali. Aku jadi teringat Aisha. Dua wanita itu memiliki senyum yang sama manisnya.
“Nanti Aisha akan menungguimu dan banyak bercerita denganmu. Kau jangan terkejut jika ada hal-hal yang akan membuatmu terkejut. Aku pergi dulu. Jangan pernah kau lupakan sedetik pun Maria, bahwa aku sangat mencintaimu. Cintaku kepadamu seperti cintanya seorang penyembah kepada sesembahannya.” Aku mengambil kata-kata yang ditulis Maria dalam agendanya. Maria
sangat senang mendengarnya. Seorang isteri sangat suka dihadiahi kata-kata indah tanda cinta dan kasih sayang.

“Terima kasih Fahri, kau sungguh romantis dan menyenangkan.”
Aku melangkah keluar bersama Tuan Boutros untuk kembali ke penjara. Di luar aku memeluk Aisha erat-erat. Sesaat lamanya aku terisak dalam pelukannya. “Aisha, temani Maria dan ceritakan semua yang sedang aku alami dengan bijaksana padanya. Aku yakin kau mampu melaksanakannya. Semoga saat sidang nanti dia bisa memberikan kesaksiannya.”
“Insya Allah, aku akan melakukan tugasku dengan baik Suamiku. Jangan lupa nanti malam shalat tahajjud. Berdoalah kepada Allah untuk dirimu, diriku, anak kita, dan Maria. Di sepertiga malam Allah turun untuk mendengarkan doa hamba-hamba-Nya,” pesan Aisha.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design