"Kamu cemburu, Fad," kata Mama setelah sesaat saya ceritakan perihal Kris padanya.
"Cemburu? Hei, memangnya saya ini apanya, Ma?"
Lha, kok saya merasa kata Mama barusan....
"Nah, nah, lamunin dia lagi kan?" goda Mama.
"Ah, Mama ada-ada saja!" Saya pura-pura sewot.
"Tapi, Mama setuju kok," kata Mama lagi. "Habis, orangnya baik sih. Mana cakep lagi."
"Memang Mama pernah lihat Kris?"
Mama tersenyum. "Hm, belum sih. Tapi, Mama yakin dia pasti cantik karena kamu yang memilih...."
Saya mengibaskan Mama. "Ah, Mama! Sok tahu saja, nih!"
"Ya, sudah. Begini saja, Fad," Mama merengkuh pundak saya, dan membisiki sesuatu. "Mama kasih solusi. Sebentar malam kamu ke rumahnya saja. Minta maaf padanya, sekalian bermalam Minggu-an."
Saya membelalakkan mata. "Uh, Mama dimintai pendapat kok jawabnya yang nggak-nggak, sih?!"
Saya beranjak dari ruang makan dengan langkah gegas, meninggalkan Mama yang cekikikan kayak kuntilanak sehabis mempermainkan putranya. Ngasih saran kok yang....
Tapi, hei... solusi Mama boleh juga. Bukankah saya telah menyakiti hati gadis itu di kantin siang tadi? Mungkin Mama benar kalau seharusnya saya memang patut minta maaf dan bermalam Minggu....
What?! Bermalam Minggu?! Hei, saya kan bukan pacarnya? Punya hak apa saya bermalam Minggu dengan Kris Suryani yang berwajah secantik bidadari itu? Tidak, ah! Nanti saya dibilangin 'pungguk merindukan bulan' lagi! Tapi... kalau tidak minta maaf, bagaimana saya dapat menebus kesalahan saya padanya?
Tapi sudahlah. Lebih baik saya menuruti solusi 'spektakuler' yang disarankan Mama. Bagaimana tidak, setelah sekian lama tadi terombang-ambing dalam arus penyesalan, tiba-tiba Mama membuka jalan buntu di benak saya. Ah, sungguh beruntung hidup saya karena punya Mama gaul nan bijak.
Saya menghentikan langkah di bawah bingkai pintu ruang makan, membalik badan dan bertanya. "Mama kok tahu Si Kris?"
"O, itu?" bibir Mama mengoval. Mengeja 'O' tadi dengan nada tengil.
"He-eh," gumam saya perlahan, hampir-hampir tidak jelas di telinga saya sendiri.
"Tentu saja Mama tahu, Anak Manis." Sekali lagi Mama mengedipkan matanya. "Kris kan, putrinya Pak Rukmana Tedjakusuma, atasan Papamu di kantor."
"O, pantas Mama tahu." Giliran bibir saya yang mengoval.
"Ya, tahu dong!" Mama mengangkat dagunya pongah. "Kan kamu juga yang sering cerita? Heh, lupa ya?"
"Iya, iya. Mama sok tahu, deh," rutuk saya mencibir, menutupi kekikukan akibat ledekan Mama.
"Eh, Fad, jangan lupa ya, sebentar malam pakai parfum yang paling wangi. Bajunya yang paling bagus dan rapi, ya?" teriak Mama ketika langkah saya sudah terseret sampai di bawah bingkai pintu kamar. "Fad, kalau perlu Mama bantu setrikain baju kamu, ya?"
Sedetik saya hentikan langkah. Namun pada detik berikutnya saya melanjutkan langkah, dan pura-pura tidak mendengarkan gurauan Mama tadi. Terus saja masuk dalam kamar, dan menguncinya dari dalam. Di belakang daun pintu kamar, saya menengadah. Tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Mama memang masih kolokan. Hei, barangkali pingin cepat menimang cucu!
***
0 komentar:
Posting Komentar