Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Senin, 29 November 2010

CHAPTER 3: KENCAN




"Astaga!"
Saya bergumam kaget. Jam dinding yang tergantung di dinding kiri kamar saya telah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Sialan! Kenapa saya bisa sampai ketiduran begini? Mana belum mandi dan belum makan lagi!" gerutu saya.
Tergesa saya sambar handuk yang tergantung di cantelan belakang pintu kamar. Tanpa berbasa-basi lagi seperti biasa, bersiul dan bernyanyi-nyanyi kecil, saya langsung saja 'bar-bur-bar-bur'.
Beberapa menit kemudian, mandi dan dandan kilat selesailah sudah.
"Pa, Mama ke mana sih?" tanya saya pada Papa yang sedang duduk santai membaca koran di ruang tamu.
"Kan sedang arisan sama ibu-ibu karyawan kantor." Papa menjawab tanpa mengangkat mukanya. Kepalanya masih tenggelam di antara lebar lembar kertas koran.
Ah, pantas saja saya nggak dibangunin, habis Mama lagi pergi sih! Saya jangkau helm yang terletak di bawah meja ruang tamu.
"Pa, saya pakai sepeda motor, ya?" pinta saya.
"He-eh." Sekali lagi Papa menjawab tanpa mengangkat muka.
Bagai dikejar genderuwo, saya sambar juga kunci kontak sepeda motor yang terletak di samping rokok Papa. Dengan setengah berlari, saya keluar dari pekarangan. Menuju ke tempat biasa, dimana sepeda motor itu terparkir.
"Fad, Fadli... hati-hati, ya?" Papa masih sempat menasehati saya ketika sepeda motor tua ini saya hidupkan. Tapi kalinya ini kepalanya sudah nongol menengok ke arah saya.
Belum lagi saya keluar dari pekarangan rumah, Papa sudah teriak-teriak lagi.
"Eh, Fad! Kamu kan belum makan?"
Saya tancap gas dalam-dalam seraya berteriak. "Sebentar saja makannya, Pa! Dadah!"
Sekilas saya lihat Papa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Selebihnya sepeda motor tua ini meraung-raung persis bebek yang lagi keinjak.
Dan karena mesinnya yang sudah payah, asap yang keluar dari knalpotnya persis dry-ice yang biasa dipakai dalam ngilustrasi asap atau halimun dalam show di panggung atau televisi. Tapi sayangnya dry-ice yang dihasilkan knlpot sepeda motor tua saya ini lain daripada yang lain. Kalau yang biasa kita lihat adalah putih-bersih, nah kalau sepeda motor tua saya ini dry-ice-nya hitam-legam. Tapi peduli amat, saya mesti buruan. Masa sih berkencan di rumah cewek jam dua belas malam, ih amit-amit jabang baby, deh! Bukan kenapa, mungkin sehabis kencan muka ini bisa bentol-benjol kena timpuk bogem mentah babenya! pikir saya geli.
Lha, sejak kapan saya kencan dengan Kris? Sejak kapan saya pacaran sama cewek manis itu? Sejak kapan saya merasa inilah first date....
Ah, ah! Saya kok jadi linglung dan bingung sendiri?! Ups! Ini juga karena Mama! Ini karena Mama ngebet pingin menimang cucu. Bah!
Sementara saya terombang dalam arus pikiran sendiri, saya mengerem sepeda motor ini mendadak. Traffic-light sedang menyala merah.
Uh, sial!
Bisa-bisa saya kemalaman baru dapat sampai ke rumah doi! umpat saya kesal. Dan, huh! Semua mata yang berseliweran di pinggir jalan telah terlanjur menatap saya yang tengah duduk gelisah di atas sepeda motor butut ini!
Seperti terhipnotis oleh sebuah sulap!
Aduh, mamamia! Malunya hati ini. Ini juga gara-gara ban sepeda motor yang sudah botak-plontos persis donat. Hasilnya ya, itu. Kalau ada pengereman mendadak, bunyinya nyaring seperti suara tikus yang kejepit perangkap jepit.
Saya pura-pura cuek. Memandang lurus ke depan. Beberapa orang di pinggir trotoar berbisik-bisik menanggapi sepeda motor butut saya ini. Mungkin mereka heran karena sepeda motor serongsok ini masih dapat diajak kompromi. Padahal seharusnya sudah dikiloin pada pemulung besi tua!
Saya masih ngedumel pada lampu yang belum berubah warna, ketika mendadak pendengaran saya menangkap jelas suara serupa bisik-bisik. Seorang ibu gembrot dengan anak gadisnya.
"Motor itu mungkin BBM-nya dari minyak tanah, ya? Kok asapnya rame banget!"
Saya tersinggung. Hendak mempelototi ibu gembrot tadi, tapi keburu lampu hijau sudah menyala. Saya segera tancap gas dalam-dalam, dan melaju dengan cepat lagi.
Huh! Enak saja dia bilang sepeda motor saya ini pakai BBM minyak tanah. Kalau tadi masih lama di sana, pasti deh si Gembrot itu bilang minyak pelumasnya bukan dari oli, tapi minyak kelapa! maki saya kesal.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design