Saya masih berdiri terpaku. Saya ragu, jangan-jangan kehadiran saya dianggap mengganggu mereka. Hei, ini kan malam Minggu? Barangkali saya Kris lagi diapelin oleh cowok lain. Habis, mobil BMW yang terparkir di halaman rumah itu punya siapa? Mungkin pacarnya Si Kris. Kalau mobil Bokap-Nyokap dia kan pasti sudah masuk garasi. Sepertinya mobil si Jangkung....
Hm, itu memang mobil gebetan Kris....
Saya hela napas kuat-kuat untuk menghimpun keberanian. Huh, peduli amat Kris diapelin oleh siapa, selama 'janur kuning' belum berkibar, boleh dong saya berusaha menggaet hatinya? Semua manusia kan sama status dan derajatnya di mata Tuhan. Jadi, saya yang kere ini jangan mau kalah dengan anak konglomerat!
Mata saya menjangkau beberapa anyelir juga anggrek yang tertata rapi di depan serambi. Ada sebuah kolam kecil di tengah-tengah taman yang ditata apik ketika saya alihkan edaran mata saya ke tempat lain. Di tengah kolam itu sendiri terdapat sebuah pancuran air yang berbentuk patung putri duyung. Indah sekali. Segalanya tampak asri dan natural. Hm, siapapun yang merancang semua itu pastilah memiliki sentuhan rasa seni yang tinggi. Atau paling tidak, yang merancang semua itu pastilah salah satu arsitek terkemuka. Suatu saat saya pingin punya rumah dan taman seperti itu! pikir saya ngelantur. Heh, tentu saja kalau saya sudah jadi kaya!
Tok-tok-tok!
Tanpa sadar saya mengetuk pintu tiga kali!
Oups!
Sungguh, saya tidak benar-benar mau melakukan itu. Tapi entah kekuatan gaib dari mana yang menggerakkan tangan kanan saya hingga mendarat di daun pintu dari bahan kayu jati bagus tersebut.
Saya dengar ada langkah sandal yang terseret. Terlambat untuk menyesali tindakan saya itu. Namun saya jadi sedikit lega. Pasrah saja. Saya siap menanggung segala kekecewaan bila ternyata Si Kris memang lagi kencan sama seseorang — yang dalam pikiran saya tentu saja lebih baik segala-galanya dari saya.
"Cari siapa ya, Kak?" sapa kecil khas bocah melantun begitu daun pintu terkuak.
Saya masih nervous. "Eh, uh, bisa ketemu dengan Kris?"
"Oh, Mbak Kris? Mbak Kris-nya ada di dalam tuh!" ujarnya dengan mimik lucu. Bola matanya hitam bening, persis punya Kris. Rambutnya dikepang dua berpita pink.
"Boleh saya...." Kalimat saya terputus ketika sesosok yang sudah tidak asing lagi di mata saya keluar dari ruang dalam.
"Tika, yang datang siapa?" tanyanya pada gadis kecil yang dipanggil Tika tadi. "Suruh masuk dulu, deh."
Sedetik kemudian mata kami sudah bertumbukan. Mendadak tubuh saya seakan mengejang. Sungguh, saya terpana melihat sosok lampai yang terbungkus dalam gaun katun hitam-hitam itu. Tampak anggun sekali.
"Eh, Fadli...." sapa Kris dengan roman muka yang jelas menggambarkan keheranannya. Senyumnya tersungging secara spontan tanpa dibuat-buat.
"Ma-malam, Kris...."
"Eh, kok berdiri saja kayak patung?" celotehnya bergurau. "Mari masuk, duduk deh."
Saya masuk dalam langkah hati-hati. Dada saya masih menggemuruh. Asli dia cantik sekali malam ini!
"Mimpi apa saya semalam kamu datang malam ini?" sambungnya lagi, masih dihiasi senyum manis.
"Eh, uh, ng-nggak mimpi apa-apa...."
Oups! Saya ngelantur. Linglung. Tapi cepat-cepat saya bilang, "Eh, sori ya, Kris. Mungkin saya mengganggu kamu dengan kedatangan saya yang tanpa permisi ini."
"Oh, nggak-nggak! Justru saya senang, karena kamu bisa temenin saya. Soalnya Papi-Mami lagi ke kondangan," akunya ceria.
Saya terdiam dan tertunduk. Kembali mata saya hanya dapat bergerak bebas memandang seisi ruangan rumah Kris. Di dinding tergantung lukisan besar berbingkai emas sepasang suami-istri, yang pasti adalah Papi-Mami Kris. Juga di dinding-dinding sebelahnya tergantung lukisan reproduksi Monalisa karya Leonarda da Vinci, lukisan-lukisan para pelukis abad mediterania semacam Rembrandt, dan sebuah lukisan potret diri Van Gogh. Di samping sisi dinding kiri-kanan terletak dua-tiga guci besar. Entah asli, entah palsu. Yang pasti guci tersebut bergraver naga atau ular. Sangat indah. Keramik dan patung-patung porselin lain tersusun rapi di atas dan di dalam sebuah lemari kayu besar. Semuanya antik dan kuno. Keluarga Kris rupanya peminat dan pemerhati barang-barang yang bernilai seni. Paling tidak, mereka punya citarasa seni yang jempolan. Itu telah menunjukkan dari kalangan mana mereka berada.
0 komentar:
Posting Komentar