Saya masih duduk seperti patung di sofa rumah Kris Suryani.
"Eh, Fad. Sori ya, mengenai kejadian siang tadi. Soalnya saya terlalu emosional sih!" Kris membuyarkan lamunan saya dengan permohonan maafnya.
"Justru, sayalah yang seharusnya minta maaf sama kamu, Kris!" sergah saya dengan nada bersalah. Saya jadi malu sendiri bila mengingat kejadian tadi siang di kantin kampus.
Sejenak Kris mengalihkan pembicaraan kami dengan memanggil Tika, adiknya.
"Tika, suruh Bik Sumi buatkan dua gelas minuman, ya? Eh, Fad, kamu mau minum apa?"
Saya risih. "Nggak usah, Kris...."
"Nggak apa-apa lagi." Kris tersenyum. "Masa sih tamunya dibiarkan kering."
"Apa saja, deh."
Kris mengaba pada Tika yang bersender di bahunya. "Kalau begitu, teh saja ya? Tik, bilangin ke Bik Sumi, seduhin dua gelas teh untuk Mbak, ya?"
Tika mengangguk lantas berlari ke ruang dalam.
Beberapa detik kami kembali membisu.
"Kris, mengenai kejadian siang...." Kris mengibaskan tangannya, sontak membungkam kalimat saya yang belum rampung.
"Sstt... sudahlah, Fad!" sahutnya sembari menempelkan jari telunjuk di bibir tipisnya. "Lupakanlah kejadian siang tadi, oke?"
Saya mengangguk. Lalu menunduk lagi. Saya hanya melirik sekilas ke arahnya.
Kris nampak menghela napas panjang.
"Fad, saya sadar, sebagai seorang gadis yang tumbuh di dalam keluarga yang berada, tentulah saya nggak terlepas dari segala kemewahan dan kemudahan fasilitas yang diberikan oleh orangtua saya." Kris mengungkap serupa curhat. Dan dia jeda tiga detik menelan ludahnya.
Saya turut menelan ludah.
Tiba-tiba ada rasa iba yang mengajuk hati saya di dalam sesal yang berkepanjangan.
Pembedaan yang telah kami ciptakan ternyata sangat menyiksanya.
Kami memang telah berdosa padanya!
"Itu nggak dapat saya pungkiri. Itulah kenyataan yang harus saya terima. Heh, sebenarnya bukan kenyataan ya? Tapi anugerah! Itu adalah anugerah yang bagi kebanyakan orang dinilai sebagai sesuatu hal yang menyenangkan. Mau ini, ada. Mau itu, tersedia. Wah, pokoknya glamor!" ungkapnya melanjutkan dengan wajah serius.
Saya masih takzim menyimak. Hanya sesekali melirik mimiknya yang agak mengguratkan kesedihan.
"Tapi saya sadar, semua materi itu hanyalah bersifat sementara. Nggak langgeng dan abadi. Yang pasti, nggak menjamin seseorang bisa berbahagia. Semua harta-benda itu adalah milik orangtua saya, yang didapat dari usaha dan kerja keras. Itu adalah rezeki kami dari Allah, Fad. Kapan saja materi itu dapat hilang jika Allah menghendaki-Nya. Jadi, kekayaan itu bagi saya merupakan anugerah yang, tentu saja patut kami syukuri. Bukannya malah sebaliknya. Menjadi media status dan strata pembeda manusia dengan manusia lainnya. Jadi, kami menyikapi keadaan mapan keluarga kami ini dengan biasa-biasa saja. Justru saya heran, kalianlah yang membedakan kami...."
Saya tercenung mendengarkan penjelasan Kris.
"Nah, jadi sekarang saya mohon, tolong kalian jangan membedakan saya lagi," pinta Kris penuh harap. "Karena pada prinsipnya, sesungguhnya sejak saya lahir dari rahim Mami atau bahkan kelak terkubur dalam tanah, saya nggak membawa bekal apa-apa selain amal kebajikan!"
Saya terpukau, dan sama sekali jauh dari prasangka saya yang dulu sehingga menciptakan jarak dengan gadis kaya tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar