Kemarin aku dan engkau masih menatap bulan di hitam kilau langit. Seolah lelah mengemas kata sekedar untuk bercerita tentang apa yang aku dan engkau lalui tapaki hari. Jauh hari kita telah siap menuai rindu atas benih cinta yang telah kita tabur di taman hati. Kini tiba jua waktunya …kulepas engkau dalam dermaga batu, perlahan ombak mengkabutkan angin di sekitarmu, kapal kayu berlabuh seiring diangkatnya sauh, kapal kayu cepat menjauh… Semakin kecil bayangmu …kecil… kecil…sesaat kemudian lenyap.
Tepian kapal senyap kembali, puluhan orang berteduh dari ombak yang membuas. Aku sendiri tak mampu beranjak, walau pulau diah telah tertelan jarak. Setahun lagi aku kembali, kami berjanji berkirim kabar setiap minggu walau sepatah kata, tak peduli kabar gembira … tak pula kabar duka. Tahun depan kami menikah, setelah rantau membayar upah untuk kerjaku.
****
Seminggu aku membiasakan diri di pabrik sagu kecil PT.RIAU PERSADA, sebuah harapan hidup bersama diah ada di pabrik ini nantinya…hmmm cukup merdu kedengaranya. Seperti janji kami, selembar amplop merah jambu tiba di asramaku.
asalamualaikum
mas iwan terkasih, ..
gimana kabar mas?,
aku disini mendoakanmu.
Masih lamakah engkau pergi mas? Seminggu ini adalah seminggu terkelam sejak aku dilahirkan
Diah purborini. 17 maret 1984
Segera kuraih pena dan secarik kertas putih , untuk membalas surat pertama diah Kutulis sambil menangis, terbata kususun kata..
Waalaikumusalam ,
adik diah tercinta Seperti doamu, aku baik baik saja Suratmu bak lautan yang padamkan hutan belantara yang tengah dilalap api
Apabila minggu ini minggu terkelam dalam hidupmu, sesungguhnya ini adalah awal mingguku dineraka
Iwan pratomo, 20 maret 1984
Surat demi surat semakin deras Bahkan 2hari sekali kami layangkan kertas kertas… Upah upah dari tiap peluh kusisihkan, untuk wujudkan hari depan kami Diah terlalu berharga untuk hidupku, membahagiakanya adalah kewajibanku.
Sepulang kerja aku tidur, meredam penat memikul sagu dari perkebunan. Ketika rembulan meninggi kuikut kapal pencari ikan untuk tambahan. Tak kupedulikan penat, kuabaikan kenyamanan yang selalu menjadi mimpi banyak orang. Sudah genap sepuluh hari dari surat diah yang terakhir, surat diah datang kembali.
Diluar kebiasaan diah sejak kami terpisah.
Assalamualaikum kanda
Seminggu ini aku terbaring di galar bambu kamar Baru hari ini ku mampu mengantar surat,
sepertinya rindu ini telah mengubah zatnya menjadi racun pelumpuh kesadaran. Aku ingin sejenak abaikan kerinduan,yang meracuni Bapak izinkanku membantunya disawah. Sepetak kecil tanah yang teduh kutanami berbagai bunga peluntur jenuh
Diah purborini, 6 juni 1984
Ooooh…Tuhan, jangan kau siksa diah dalam kerinduan Lipatlah waktu dengan kekuasaanmu
Waalaikumusalam dinda Aku pasti kembali, walau apapun yang terjadi Tunggulah hingga waktu yang telah aku tandatangani bersama perusahaan Tak perlu rindu menjadi racun dalam dirimu Sesungguhnya rindu adalah wangi wangian pengantar tidur Bunyi bunyian penggugah pagi nan cerah Dan warna terbaik untuk cinta
Iwan pratomo, 8 juni 1984
****
Sudah 4 hari aku tak melaut, kapten kapal tak membiarkanku aku ikut, katanya aku semakin pucat Kusinggah diwarung nelayan, nikmati kopi dalam kesendirian.
“hei, wan? Tidak melautkah engkau??” tanya penjaga warung, bang josep namanya, lelaki berumur, berkulit hitam ,tubuh tegap, dan berambut ikal.
“tidak bang, kurang sehat badanku akhir akhir ini”
“pulanglah wan, minta ijin ke juraganmu, untuk 1 atau 2 minggu” “bolehkah?”
“tentu saja, masa mudaku juga kerja disana, bolehlah kita sejenak beristirahat dari penat “ bang josep menganggukan kepalanya padaku , meyakinkan.
Malam penuh bintang, tuhan menjadikanya tanda untuk kapal kapal di lautNYA, agar selalu tiba dipantai kembali. Dan menjadikanya untukku sebuah lukisan langit yang sempurna, juga untuk diah.
****
Pabrik mengijinkanku cuti 2 minggu, dan memberikanku sebuah tiket kapal cepat untuk pemberangkatan 3 hari lagi. Tak sabar aku melihat wajah diah yang berseri di dermaga batu.
Asalamualaikum adinda…
3 hari lagi aku pulang, untuk cuti. Tak perlu lagi engkau bersedih…
2 minggu rencananya aku dirumah, akan ada banyak waktu untuk kita…
Menatap bungamu di rindang pohon tepi sawah bapak
Berjalan berpayung bintang..
Merendam kaki di hilir sungai…
Mencari ikan ikan kecil di parit.
Aku bawakan engkau baju khas riau,
berumbai rumbai akar kayu Ditenun oleh cita rasa nan luhur,
untuk dikenakan seorang wanita penuh cinta dihatinya.
Iwan pratomo, 20 july 1984
***
Pagi , selesai juga kukemas sedikit pakaian dan beberapa kebutuhanku dalam perjalanan, kapal segera rapatkan lambungnya di pelabuhan. Bergegas kuberlari, tak ada waktu lagi, aku hampir terlambat.
“mas” suara yang amat kukenal memenggilku… pak pos mengantar surat diah, ya itu beliau. Kuhampiri tergesa, tak sempat kubaca, bahkan untuk sekedar ucapkan terimakasih sekalipun.
Alhamdulilah, kucapai tangga kapal juga akhirnya, mungkin akulah penumpang terakhir, aku sangat terlambat. Mungkin karena semalam ku tidur terlalu larut oleh hati yang berbunga.
Kulanjutkan tidur setelah lama kutatap laut yang tak lelah dibelah kapal kapal melaju,ku tergolek di bangku plastik, kopi gelas plastik, nasi bermangkuk plastik, dan semua menjadi plastik…munkinkah kelak kapal terbuat dari plastik….hhhhh.
****
Derap langkah kaki bangunkan aku dari tidurku, ku tengok arlojiku… pukul 4 sore, hmmm 8 jam sudah aku tertidur. Orang orang berebut menuju pintu, bayangan mercusuar tampak sebesar lidi di cakrawala, kapal akan sampai di dermaga batu akhirnya. Segera ku mematut diri, ransel kecil usangku bersandar kembali dibahuku. Ku berdiri bersama puluhan orang yang berselimut rindu, tanpa suara, khidmat menatap dermaga yang perlahan mendekat.
Di seberang lambaian tangan tangan kecil disambut riuh orang orang disampingku.. Tak kutemukan sosok diah di seberang… kuberlari keujung kapal.. diah tak tampak, di buritan kapal diah tak tampak pula. Mungkinkah diah lupa aku pulang hari ini Surat… ya surat tadi pagi, kurogoh sku jeansku, kutemukan amplop, kurobek ujungnya.. lalu kumasukan saku kembali, dibelakangku orang orang tak sabar menungguku membaca surat.
Dermaga batu tak seperti 4 bulan lalu, plastik plastik tumbuh di pasir. Tenda plastik, bangku plastik, meja plastik dan sangat banyak sampah plastic
Ojek yang menghampiriku bersedia antarkanku kerumah diah yang menempuh seperempat jam dengan kecepatan penuh, ojek patas katanya…biarlah.
****
Rumah diah didalam gang, ojek tak mampu menjangkaunya, aku mesti berjalan lewati beberapa anak tangga dari susunan batu kali.
Kurogoh kembali surat diah yang kini sepenuhnya teremas remas oleh panik di kapal. Sambil berjalan kutata letak kertas agar dapat terbaca..
Waalaikumusalam mas iwan tercinta
Sebenarnya sakitku semakin parah Alhamdulilah engkau boleh pulang Sudah 2 minggu aku dirumah sakit, maaf tak memberitahumu, aku khawatir engkau menjadi gundah
Semoga aku belum lelah hingga kita bertemu
Sebulan ini emaklah yang mengantar surat suratku
Diah purborini, 22 july 1984
Kuberlari kini menuju rumah diah Berjajar puluhan pria menduduki kursi kursi… Lemas kedua kakiku, lidahku kelu… beberapa orang hampiriku… setelah ku merayap di tanah berbatu.. Kemudian gelap menyelimutiku.
Kamis, 18 November 2010
Rindu Di Dermaga Batu
Posted by Dini Ariani on 22.37
0 komentar:
Posting Komentar