Sejak kecil aku mengenalmu, karena kau tetangga dekatku. Namun tak pernah terbayang kau akan menjadi pendamping hidupku.
Sebenarnya engkau tak terlalu cantik, tapi lebih sulit untuk
mengatakan engkau jelek. Biasa saja. Engkau juga tak pernah memoleskan
make-up di wajahmu, apalagi mengenakan perhiasan sebagaimana kebanyakan
teman-temanmu.Namun kesehajaan itulah yang justru mengusik hatiku,
sehingga kuputuskan untuk memilihmu menjadi pendamping hidupku. Engkau
yang sederhana, pintar dan tak banyak bicara, sungguh terlihat dewasa.
Engkau bukan anak yang berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Tapi
aku tak peduli, yang kuutamakan bukan itu. Tetapi raga yang selalu
menutup aurat dan jiwa yang selalu mengutamakan akhirat. Tekadku sudah
bulat, kan kupinang dirimu dalam waktu dekat.
Saat itu engkau baru lulus SMA. Tak kusangka engkau akan menerima
dengan tangan tebuka. Bahkan, demi aku, engkau rela mengorbankan
keinginanmu untuk mencicipi bangku kuliah. Semua gurumu pun menyayangkan
hal itu, karena menurut mereka engkau termasuk murid yag cerdas. Tapi
entah mengapa, engkau lebih memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Sujud
syukurku kepada Alloh, alhamdulillah.
Semua serasa begitu mudah, dan kita pun menikah. Saat itu usiaku baru
25 tahun, sedangkan usiamu baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda
untuk kalangan umum, tetapi ternyata engkau berani mengambil keputusan
itu. Engkau berani mengakhiri lajangmu di usia yang sedini itu. Aku pun
semakin kagum padamu.
Sejak menikah hingga kini, belum pernah engkau mengeluh tentang
keadaan yang kita alami. Padahal engkau tahu sendiri, penghasilanku yang
tak seberapa, kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan kebutuhan.
Sering kita harus menekan beberapa keinginan karena memang kita tidak
sanggup menggapainya. Namun tak pernah kulihat kristal bening menetes
dari pelupuk matamu karena itu.
Masih teringat ketika pertama kali kita arungi bahtera ini di sebuah
kontrakan mungil. Sama sekali kita tak punya apa-apa, bahkan alas tidur
pun tak ada. Tapi, engkau begitu cerdik. Seongkok pakaian kita yag masih
tersimpan di dalam tas usang kau keluarkan. Engkau lipat, kemudian kau
tumpuk dua hingga tiga pakaian, lalu kau bariskan sedemikian rupa hingga
menyerupai kasur. Kemudian engkau bentangkan kerudung lebarmu laksana
seprei permadani menyelimuti kasur indah lita. Engkau tersenyum dan
mempersilahkan aku tidur. Kutatap wajahmu, kubalas senyummu dengan
genangan air mata haru.
Bersamamu, bergulirnya waktu terasa begitu cepat. Hari-hari berlalu
selalu terasa begitu indah. Kekurangan materi yang menemani kita setiap
hari, seakan bukan merupakan beban manakala kita senantiasa ikhlas.
Denganmu, begitu banyak pelajaran yang aku petik.
Ketika setahun usia pernikahan kita, tujuh bulan sudah usia
kehamilanmu. Aku begitu panik ketika engkau mengalami pendarahan, tapi
engkau begitu tenang, tak gugup sedikit pun. Padahal dari keningmu yang
berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu kau tengah menahan rasa
sakit yag luar biasa. Segera kubawa ke bidan, dan dia bilang ini
tanda-tanda mau melahirkan.
Jam dua belas tengah malam, ketika semua insan terlelap dengan
mimpi-mimpinya. Anak pertama kita lahir, prematur. Ah… betapa bahagianya
aku, kucium kenigmu berulang kali. Kudengar kau berbisik, “Bi…, aku
lapar”. Tersentak aku mendengarnya. Ya, seharian tadi engkau tidak
memasak dan tak makan karena sudah merasakan sakit sejak kemarin.
Sedangkan sore tadi aku hanya beli sebungkus nasi di warung dan sudah
kulahap habis, sebab tadi ketika kutawari kau tak mau. Tak ada roti, tak
ada jajanan, tak ada apa pun untuk mengganjal perutmu. Mau beli,
seluruh toko dan warung sudah pada tutup. Akhirnya, kusodorkan segelas
air putih yang disuguhkan bidan untukmu. Dan engkau pun tak menuntut
lebih dari itu. Kembali menggenang air mata di pelupuk mataku
menyaksikan kebahagian yang tersirat di wajahmu. Ya, bayi mungil kita
yang nampak sehat dan berbahagia menjadikanmu lupa lapar dan dahaga.
Tahun berganti dan engkau tak pernah berubah. Hampir sepuluh tahun
kita bersama dalam kehidupan yang selalu sederhana, tapi kita tak pernah
mengeluh. Engkau juga tak pernah menuntut dunia dariku, tak pernah
minta ini dan itu sebagaimana para istri kebanyakan. Beli pakaian saja,
mungkin tiga atau empat tahun sekali. Perhiasan? Kau tak pernah
mengenalnya. Bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa berhutang saja
bagimu sudah lebih dari cukup.
Sungguh, aku beruntung sekali memilikimu. Engkaulah sebenarnya
perhiasan itu. Semoga engkau selalu tegar mendampingiku, hingga kita
jelang surga bersama-sama. Insya’ Alloh. (Abu Al-Ayyubi).
*Buat istriku, aku tahu engkau punya impian. Maafkan aku yang hingga kini belum mampu mewujudkan impianmu.
Majalah Ar-Risalah, edisi 46 Th. VI Romadhon-Syawal 1427H/Oktober 2006, hal. 41-42.
[Sumber: Buku “Bila Pernikahan Tak Seindah Impian” oleh Muhammad Albani, penerbit Mumtaza, hal. 117-122]
Sumber: Media-Ilmu.com
Rabu, 19 Oktober 2011
Bersama Kita Jelang Surga
Posted by Dini Ariani on 19.00
0 komentar:
Posting Komentar