Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Rabu, 19 Oktober 2011

Ketika Cinta Berbuah Dilema

Special untuk mereka yang sedang terjebak dalam lorong-lorong dilema
bernama “cinta”.
Ketika Cinta Berbuah Dilema
eramuslim – Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada
Sayidina Ali, suaminya. “Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah
menyukai seorang pemuda ketika aku masih gadis dulu.”
“O ya,” tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. “Siapakah
lelaki terhormat itu, dinda?”
“Lelaki itu adalah engkau, sayangku,” jawabnya sambil tersipu,
membuat sayidina Ali tersenyum dan semakin mencintai isterinya.
Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali di atas mungkin
sudah menjadi hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi
mereka yang belum menikah. Percakapan-percakapan romantis yang sering
ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu sungguh sangat imajinatif
bagi para lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga
misteri, apakah ia bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?
Alangkah bahagianya, seorang pemuda yang sejak lama memimpikan
obrolan-obrolan romantis akhirnya sampai di terminal harapan, sebuah
pernikahan suci. Apa yang selama ini menjadi imajinasinya saat itu
akan ia ungkapkan kepada isterinya. “Wahai kekasihku, ada satu kata
yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan
kepadamu, aku mencintaimu.”
Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yang telah dikaruniai
kemampuan untuk mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha),
pernikahan itu. Bagi mereka yang masih harus melajang, semuanya masih
hanya mimpi yang terus menggoda.
Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat melawan godaan imajinasinya.
Keinginan untuk mengungkapkan cinta itu tiba-tiba sangat besar
sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus diungkapkan? Sementara
isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah
lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar,
begitu dahsyat.
Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat
koordinasi di organisasi kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari
sekolah telah mempertemukan dua pesona. Imajinasi itu kembali menari-
nari.
“Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang
kuimpikan selama ini.”
“Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yang kalem, dia mungkin
yang kuharapkan.”
Dan cinta itu hadir.
Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat
perjanjian yang berat belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus
dilakukan ketika dorongan untuk mengatakan perasaan semkain besar,
teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi begitu mengasyikkan;
menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi
kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan;
ketidakhadirannya adalah rasa kehilangan.
Indah. Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang
semakin longgar telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema
yang semakin menyempit dan begitu menekan. Cinta terlanjur hadir.
Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah, persiapan belum cukup atau
kondisi belum mendukung. Menunggu pernikahan, seminggu saja serasa
setahun. Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur
bersemi. Menjalani interaksi seperti biasa, semuanya membuat hati
semakin merasa bersalah.
Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar
jika yang dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi,
marilah kita bicara dengan nurani dan keimanan, agar semua bisa
terselesaikan dengan cepat dan tuntas.
Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yang bersemayam di dalamnya?
Masihkah memiliki kekuatan untuk mempertahankan Allah sebagai nomor
satu dan satu-satunya? Dengan kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa
mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah menjauhkan dari
keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari keridhaan
Allah? Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci
Dzat yang sangat kita harapkan cinta-Nya?
Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah
ataukah “dia”?
“Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!” (al-Hadits)
Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design