Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Jumat, 19 November 2010

Ah Perasaan Nie Lagi

Malam sudah larut, kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 22.00 wita, aku belum bisa tidur, mataku belum mengantuk. Udara lembab, apalagi di kamarku, kamar yang sebenarnya terlalu sempit bagiku, ukurannya 2 x 2,5 m, terletak ditingkat dua. Jarak lantai ke plafon Cuma 2 m, aku mampu menjangkaunya tanpa harus harus berjingkit, membuat udara semakin lembab, jendelanya tertutup rapat, sengaja dikunci agar nyamuk tidak masuk. Hanya kamar ini yang bisa ku sewa, penghasilanku sebagai pedagang keliling membuatku harus berhemat, apalagi aku masih kuliah. walaupun biaya kuliah gratis, tetapi bukankah untuk membeli buku, membayar biaya fotocopy juga butuh uang. jadi kuputuskan biarlah untuk sementara aku tinggal dikamar sempit ini pikirku. Sewanya 250 ribu/bulan. Uang yang lumayan besar jika dihitung dari penghasilanku yang tidak seberapa. Kurebahkan tubuhku telantang, mataku menatap langit-langit kamar. Sebenarnya bukan udara lembab yang membuat aku tak bisa tidur, tapi pikiranku sedang kacau.
“Ah perasaan ini lagi…………” gumamku.
Hatiku tidak tentram, rasanya ingin sekali aku berteriak sekeras-kerasnya, atau menangis sejadi-jadinya. tapi akal sehatku masih jalan. Aku sadar aku lelaki, aku harus mampu tegar, lagi pula aku tidak sendirian di rumah kost ini, disini ada banyak orang, aku takut membuat anak-anak kecil mereka bangun. aku tidak ingin orang-orang dirumah ini menyangka aku gila kerena berteriak tanpa sebab yang mereka ketahui. Tapi serasa aku memang sudah hampir gila. “Sekali lagi aku harus tegar” Ucapku dalam hati.
Aku dilanda rindu yang sangat, aku dirundung rindu yang begitu berat. membuat batinku terasa tersiksa, merana. Hatiku seolah-olah digerogoti oleh sesuatu. Bayangan Azzah menari-nari dipelupuk mataku. Aku coba membuangnya jauh-jauh, tapi usahaku tetap sia-sia. Hatiku terus berdebar-debar kalau aku mengingat namanya. Aku sering mengalami ini, tapi kali ini serasa begitu luar biasa. “Ya Allah, beri hamba kekuatan ya Allah” do’aku. Sebagai seorang muslim aku tahu perasaan ini seharusnya mampu aku kendalikan. Tapi aku manusia, aku laki-laki normal, aku bukan malaikat. “Laki-laki mana ya Allah yang tidak jatuh hati padanya” ucapku. Cinta pada pandangan pertama, itulah yang aku alami. “Sudah sembilan tahun ya Allah perasaan ini aku redam” itu semua kerena-Mu, tapi sepertinya kali ini aku sudah hampir tidak sanggup lagi meredamnya, menyimpannya sendiri. Aku tahu ini ujian dari-Mu, dan aku pun tahu Engkau tidak akan menguji hambamu diluar batas kemampuan hamba. Hamba belum siap mengutarakan perasaan hamba, hamba belum siap untuk menjadikan cinta ini menjadi halal, hamba tidak ingin menjadi tumbal cinta ya Allah, tentramkan hati hamba Ya Allah”. Ku coba lafadzkan dzikir berharap dapatkan ketenangan. Kutarik nafasku dan kusertakan Asma-Nya. tapi hatiku masih resah, belum juga tenang. “aku harus berkonsultasi dengan seseorang” pikirku. “Aku tidak bisa menyimpan permasalahan ini sendirian. bisa-bisa nanti aku jadi gila. tapi siapa ya” otakku berpikir keras. “Siapa ya yang bisa kupercaya dan bisa memahami bagaimana diriku dan permasalahanku”. Akhirnya kuputuskan untuk berkonsultasi dengan pak Ramli. Dosenku sekaligus dosen pembimbingku di kampus.
Sudah hampir satu jam, Aku juga belum tidur Ya Allah makhluk Engkau yang mana yang tidak jatuh hati padanya, Dia begitu mempesona, sederet kehebatan yang dimilikinya, cantik, cerdas, sholehah, kecantikannya alami bukan polesan, sepertinya Engkau menciptakannya dari ektrak dedaunan tanpa pengawet. Wajar kalau dia menjadi dambaan setiap pria. Tapi aneh ya Allah sampai kini dia belum juga punya pacar. Itulah yang membuat aku jatuh cinta padanya, dia selalu menjaga diri, menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita, sebagai seorang muslimah yang sholehah. Suaranya begitu merdu, tapi bukan sekedar merdu ya Allah, budi bahasanya juga luar biasa. Dia bukan sekedar pandai ya Allah tapi juga cerdas. Aku suka caranya bergaul, caranya bicara padaku, semua yang ada dalam dirinya aku suka. Malam tambah larut, aku tertidur setelah puas mengadukan segala permasalahanku pada-Nya.
***
Hari ini kuliah libur, sehingga aku bisa melakukan aktifitasku seperti biasa, berjualan keliling untuk mendapatkan sesuap nasi, dan kalau ada berlebih kusisihkan untuk orang tuaku, walaupun nilai tidak seberapa tapi setidaknya dapat meringankan beban beliau. kalau pagi aku berangkat jam delapan dan pulang pukul 12.00, istirahat sebentar dan kembali menyiapkan barang daganganku dan kalau sudah pukul 15.00 wita aku mulai mempersiakan daganganku, aku biasa mulai berjualan pukul 16.00 wita ba’da ashar.
“Pak, ada waktu kah nanti malam, ada hal yang ingin saya konsultasikan, sorry pak sms soalnya lagi boke, pulsa tingal dikit”. Kukirim sebuah sms kepada Pak Ramli. Beliau adalah seorang dosen lulusan luar negeri, S1-nya di Syiria, dan S2-nya di Madinah. Beliau adalah sosok dosen yang tawadhu’, disenangi oleh semua mahasiswa, masih muda, usianya baru 28 tahun. “Insya Allah ada, datang aja nanti malam, saya tunggu” balas beliau. Aku senang sekali, rasanya aku tidak sabar lagi ingin mengutarakan permasalahanku kepada beliau, tapi aku harus melakukan pekerjaanku.
Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dari bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Cahaya Matahari mengingatkanku untuk segera pulang. Sebelum magrib aku sudah tiba dirumah, kubersihkan tubuhku, mandi dan berwudhu. Suara lantunan ayat suci Al Qur’an terdengar jelas dari mesjid yang terletak tak jauh dari tempat tinggalku, menandakan maghrib akan segera tiba. Seusai shalat maghrib segera aku menuju ke wisma dosen yang merupakan tempat tinggal para dosen di kampusku. Kuketuk pintu wisma seraya ku ucapkan salam,
“Assalamualaikum………”
“Wa alaikum salam warahmatullahi wabarkatuh” jawab penghuni wisma yang tak lain adalah pak Ramli. Seraya membukakan pintu. “Masuk Mir” titah Pak Ramli. “Duduk, sebentar ya” ia masuk kekamarnya dan kemudian keluar dengan membawa dua gelas air bersama kue kering dan jajanan lainnya. “Ga usah repot-repot pak” jawabku. “Maaf cuma air putih” katanya sambil tersenyum. “Ada apa mir” tanya dosen yang lain, yang tinggal serumah dengan Pak Ramli. “Mau ngajak Pak Ramli jalan Pak” jawabku. Kok cuma Pak Ramli yang di ajak” tanyanya dengan nada bercanda, aku hanya tersenyum.
Kota Samarinda terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Aku dan Pak Ramli segera melesat meninggalkan wisma. “Kemana nih kita” tanya Pak Ramli padaku. “Kita cari makan dulu pak, habis itu baru saya ceritakan hal yang ingin saya konsultasikan nanti”. “Makan dimana yuk pak”. “Terserah kamu aja” kami terus menyusuri jalan yang tampak ramai, mencari warung tenda yang biasanya buka dimalam hari. “Dimana nih mau ceritanya, gimana kalau di kost mu aja”. tanya Pak Ramli setelah selesai makan. “Jangan di kost saya pak, kost saya suasananya ga mendukung, apalagi ada banyak orang disana”. “Atau kita balik lagi ke wisma” saran Pak Ramli lagi. Tapi wisma juga ada dosen-dosen yang lain, atau gini aja kita nyantai di sekitar wisma aja, disana kan ada kursi panjang, nah disitu aja”. “Ok deh Pak” kupikir saran Pak ramli Bagus juga, dari pada bingung-bingung.
“Jadi apa nih yang mau di konsultasikan” Ustadz Ramli membuka pembicaraan. “Permasalahan ini sebenarnya sudah lama saya alami, tapi tadi malam saya merasa masalah yang saya alami ini semakin rumit saja, ibarat suatu penyakit mungkin ini bisa dikatakan sudah sangat parah atau kronis, oleh kerena itu saya merasa harus segera ditangani oleh dokter yang tepat, dan menurut pandangan saya, bapaklah orang yang menurut saya paling tepat itu, tapi saya bingung mulai dari mana ceritanya ” jawabku panjang lebar. Hatiku berdebar-debar. “Kalau boleh bapak tahu tentang persoalan apa” tanyanya hati-hati, suaranya mampu meneduhkan perasaanku sedang kacau. Ku ceritakan apa yang ku alami tadi malam. “Saya merasa diri saya betul-betul kesepian, saya merasa saya betul sendirian, saya butuh seseorang yang bisa menjadi tempat saya berbagi. berbagi masalah, berbagi suka dan duka, dan disisi lain saya punya prinsip saya tidak ingin pacaran, saya ingin sebuah hubungan yang di ridhai oleh-Nya, saya hanya ingin menikah, akan tetapi untuk menikah sekarang saya belum siap. Saya mencintai seseorang, sudah sembilan tahun saya menyukainya, Tapi entah kenapa saya sama sekali tidak bisa melupakan dia. Saya tidak bisa berhenti memikirkannya. Saya bingung harus bagaimana”. “Siapa dia, apakah dia mahasiswa kampus ini, dan apakah dia sudah tahu bagaimana perasaanmu kepadanya” tanya Pak Ramli.
“Namanya Azzah pak, dia bukan mahasiswa kampus ini, dia sekarang kuliah di Unhas. Saya kenal dia waktu Sekolah SLTP dulu, dia teman sekelas saya, orangnya cantik, cerdas, dan sholehah, dan menurut saya belum ada wanita yang mampu membuat saya jatuh cinta seperti saya jatuh cinta padanya”. “saya tahu bahwa sekarang dia juga masih belum punya pacar, ada keluarga saya yang juga kuliah disana. biasanya saya menanyakan tentang dia melalui sepupu saya tersebut. tapi terus terang pak, saya tidak ingin pacaran, saya hanya ingin hati menjadi tenang kembali, lagi pula kuliah saya baru semester II, rencananya saya ingin menikah kalau saya sudah lulus kuliah.
“Bapak ingin cerita kisah cinta bapak, kamu mau mendengarnya” “Iya pak, saya siap mendengarkannya” “Dulu waktu bapak masih sekolah di Madrasah Aliyah, Bapak sempat punya pacar, bahkan bukan cuma satu orang, tapi dua atau tiga orang, bapak terpengaruh oleh teman-teman bapak, kalau ga punya pacar biasanya di olok-olok teman. Akhirnya bapak punya pacar juga, tapi pacaran yang bapak lakukan hanyalah agar tidak dikata-katai oleh teman-teman bapak. Bapak sadar apa yang bapak lakukan bukanlah berdasarkan keinginan hati bapak, bapak merasa apa yang bapak lakukan bertentangan dengan hati nurani bapak. Akhirnya sebelum bapak berangkat ke luar negeri, yaitu ke Syria, bapak putuskan secara baik-baik cewek-cewek bapak itu”. “Di Syria bapak juga pernah mau dijodohkan dengan seorang muallaf asal Syria, mereka orang-orang Syria lebih percaya kepada mahasiswa Indonesia daripada mahasiswa Syria. Dalam pandangan mereka orang Indonesia dibandingkan orang lokal sana ada keistimewaannya, diantaranya adalah, mereka yang belajar keluar negeri untuk mempelajari ilmu agama adalah mereka yang istimewa. mereka mau berangkat jauh-jauh dari indonesia kesini untuk menuntut ilmu agama”. Mereka berharap para muallaf tersebut bisa dibimbing oleh orang-orang yang punya kecintaan terhadap ilmu. dan konsekuen menerapkan ilmunya, Tapi orang tua bapak tidak setuju”. “Ngomong-ngomong, umurmu sekarang berapa?” “23 tahun pak” “Boleh bapak lanjutkan ceritanya” “Saya akan dengarkan” Setelah lulus dari Syria bapak melanjutkan kuliah ke Madinah, Baik di Syria maupun di Madinah, dua-duanya dibiayai dengan uang beasiswa. di Syria bapak Lulus dengan predikat Mumtadz, begitu pun di Madinah. “Nah setelah lulus, bapak langsung dikenalkan dengan ibu ketua kampus ini, bapak di minta mengajar. bapak sudah berniat untuk mengamalkan ilmu yang bapak peroleh di luar negeri tersebut di tanah air, walaupun disana bapak juga mendapat tawaran untuk melanjutkan S3 bapak, dengan biaya ditanggung pemerintah Madinah, di sana bapak banyak kenalan dengan orang-orang KBRI, kadang bapak di minta untuk menjadi Bodyguard yang kerjanya menemani atase-atase di sana. atau terkadang menjaga tempat kediamannya, ya kalau dilihat fostur tubuh bapak memang cukup pantas untuk tugas itu, kepandaian bapak dalam bahasa arab menunjang pekerjaan bapak, kerena yang datang kerumah para atase-atase itu bukan sekedar orang indonesia saja”. “Umur bapak sekarang 28 tahun, orang tua bapak ingin sekali bapak menikah.
Kamu tahu siapa yang menjadi pilihan bapak untuk menjadi pendamping bapak”. Aku menggeleng, Bapak sudah musyawarah dengan orang tua bapak. Bapak sudah menanyakan apa ada calon yang ingin orang tua bapak ajukankan untuk bapak pertimbangan, bapak merasa orang tua punya hak untuk mengajukan siapa yang akan menjadi pendamping kita. Orang tua bapak menyerahkan semuanya kepada bapak, yang penting wanita tersebut adalah wanita yang sholehah, pesan beliau kepada bapak. “Wanita yang menjadi pilihan bapak, kalau dilihat dari kecantikannya, wajahnya biasa-biasa saja atau bahkan dibawah standarmu ” dia tidak cantik secara fisik, bapak mencintainya kerena dia adalah wanita yang sholehah, dia adalah anak dari kyai di pesantren tempat bapak belajar dulu. Bapak ingin menjadi hadiah baginya, Pendidikannya juga hanya Madrasah Aliyah. Raut Wajahku berubah mendengar pilihan Pak Ramli, mengingatkanku siapa diriku. Aku begitu menuntut yang sempurna, padahal siapalah diriku, apalah kelebihanku. sedangkan Pak Ramli Seorang pemuda yang tampan, Lulusan luar negeri, punya pekerjaan yang mapan, dan kelebihan-kelebihan yang lainnya, memilih seorang wanita yang wajahnya di bawah standarku, tanpa terasa ada yang menggenang dikedua mataku, kemudian air mataku jatuh satu persatu membasahi pipiku. Aku betul-betul terharu. ”Saya tidak sanggup seperti bapak” lirihku sambil berusaha menyembunyikan air mataku. “Saya masih belum bisa mencintai wanita yang tidak cantik, wanita yang sekedar sholehah saja. Jika yang cantik memilih yang tampan, dan sebaliknya semua yang tampan memilih yang cantik, kapan mereka punya kesempatan untuk memperbaiki keturunan, jawabnya sambil bercanda. Mereka yang sholehah namun tidak di anugrahi kecantikan oleh Allah sebenarnya mereka juga berharap mendapatkan pasangan yang tampan, terkadang mereka tidak percaya diri, mereka merasa minder, nah bapak bermaksud menjadi hadiah bagi mereka. Mereka Sholehah, Qanitat, dan Khafizat. Jika bapak memilih wanita hanya kerena kecantikannya saja bapak malu kepada Allah, bapak selalu mengingatkan orang-orang agar dalam memilih jodoh selalu melihat aspek agama sebagai hal nomor satu yang harus dipertimbangkan, nah kalau bapak sendiri memilih yang cantik. Apa kata dunia. Lagi-lagi beliau tersenyum. “Dan pesan bapak, sebelum kita mengharapkan seorang wanita yang sholehah maka hendaklah kita berkaca diri, sejauh mana kualitas diri kita, jika kita adalah laki-laki yang sholeh maka yakinlah bahwa kita akan mendapatkan wanita yang sholehah pula. Sebagaimana firman Allah yang artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang keji (pula) dan wanita yang baik-baik adalah untuk laki-laki yang baik-baik dan laki-laki yang baik-baik adalah untuk wanita yang baik-baik (pula)…… (An Nuur: 26) Bacaan Al Qur’annya begitu fasih. Aku semakin merasa diriku kecil.
“Jangan seperti debu yang merasa seperti gunung” nasehatku dalam hati. Selain ayat di atas ada hal yang perlu kamu ketahui, ada tiga tangga menuju pernikahan, 3 Si, Si yang pertama adalah Koleksi, Si yang kedua adalah Seleksi, dan Si yang terakhir adalah Resepsi, Ketika kamu belum siap untuk menikah maka kamu hendaknya hanya menapaki tangga pertama yakni koleksi, kamu berhak mengenal seorang wanita yang menurutmu cocok untukmu, bahkan bukan Cuma satu orang, dua atau tiga juga tidak apa-apa, tapi ingat belum saatnya bagi kamu untuk mengutarakan perasaanmu, kerena kamu belum siap untuk menikah. Ketika kamu sudah siap menikah maka kamu boleh menapaki tangga kedua yaitu seleksi, memilih siapa diantara mereka yang kamu pikir pantas dan sanggup mendampingi hidup, jika diantara mereka ada yang menolak masih ada yang lain, kalau kamu memang sudah siap menikah nantinya bapak do’akan kamu supaya mendapatkan yang terbaik menurut Allah. Nah Si yang ketiga adalah Resepsi, bapak yakin kamu sudah mengerti. “Dan mengenai apa yang kamu alami tadi malam, pasrahkan seluruh perasaanmu kepada Allah, kembalikan hatimu kepada satu-satunya yang berhak kita cinta yaitu Allah, hatimu telah menduakannya,”.
Aku baru sadar ternyata aku terlalu berlebihan dalam mencintainya, bahkan melebihi cinta kepada Allah, Buktinya aku tidak bisa tenang walaupun hatiku juga mengingat Allah. “Hati itu ibarat sebuah kursi, apabila sudah terisi dengan Allah maka yang lain tidak akan bisa mendudukinya, tapi apabila kursi itu sudah terisi dengan yang hal-hal yang lain. maka Allah pun akan tersinggirkan. di dunia ini,hanya ada dua pilihan yaitu baik atau buruk. Apabila terisi dengan kebaikan maka keburukan yang akan menyingkir dan begitu pula sebaliknya. pilihan ada di tanganmu.
“Bagaimana perasaanmu sekarang, Mir”
“Alhamdulillah pak, Hati saya sudah merasa tenang, saya benar-benar mendapat pencerahan malam ini, rupanya Allah menguji saya dengan kejadian semalam agar saya memahami makna cinta yang sejati"
” Cinta yang didasarkan benar-benar kerena-Nya. Seperti apa yang bapak jelaskan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design