Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Jumat, 19 November 2010

Dinda

Dinda menatap dalam pada bayangan di cermin itu. Wajahnya terlihat murung, seolah menggambarkan juga cuaca diluar kamarnya yang terbias melalui kaca jendela.Ini bukan rasa yang salah. Dinda tahu, tapi nyeri mengetahui bahwa ini semua harus dijalani seperti ini. Kadang ingin rasanya Dinda berlari sejauh mungkin dari kehidupannya sekarang, pulang ke kampungnya di Wonosobo atau bahkan menjelajah ke daerah yang tidak dikenalnya. Sekedar untuk mematikan sakit yang menjalari kalbunya.“Sebuah senyum akan menggantikan galau hari ini Din.” Bisiknya lirih, mengulang kalimat teman sekamarnya sekaligus sahabatnya sejak semester 1 dulu. Nani.Wajahnya segera menghadap pintu ketika didengarnya sebuah ketukan lembut dikamarnya.“Din, ada Yoga tuh di luar.” Sedikit terkejut, dipandanginya Aisyah.‘Mas Yoga? Ada apa mba?” aisyah menggeleng. Tersenyum lalu menariknya.“Assalammualaikum Din, apa kabar?” Yoga membuka salam. Aisyah yang menjawab sedang Nina tersenyum. Pahit yang terus disembunyikan.“ada apa mas?”“Gini Nda, untuk tanggal 12 mei besok, Ririn mau minta bantuan Aisyah dan Dinda untuk jadi among tamu akhwat. Bisa kan? Tolong banget Nin, Syah, waktunya sebentar lagi dan saya sudah agak keteteran mikirin pernak – pernik kecil seperti ini. Resepsinya kan mau diadain di Jakarta, sedang kebanyakan teman – teman Ririn itu ada di Bandung, sedikit menyusahkan mereka kalau harus khusus ke Jakarta demi walimatul ursy’ kami. Bagaimana bersediakan saudari – saudariku yang paling baik ini membantuku?”Aisyah memandang wajah Dinda, meminta persetujuan. Dinda tersenyum lalu mengangguk. Entah sudah berapa kali dinda melirik ke arah mereka. Pasangan itu tetap tersenyum. Menyambut doa – doa dari sahabat – sahabat mereka. Menegaskan inilah hari mereka. Ditempatnya, Dinda merasakan kelu yang tidak dapat diungkapkannya. Ada sakit yang bahkan sudah tidak bias dirasakannya. Satu yang terus Dinda yakini, jangan ada air mata tertumpah saat ini.“Makasih ya Nda, kamu emang suadariku yang paling baik dan sholehah, cepet nyusul ya Nda, biar mas mu ini nggak khawatir memikirkan kesendirianmu.”Dinda menatap Yoga. Kosong. Inginnya berteriak agar segera menyudahi semua basa – basi ini dan segera berlalu dari hadapannya. Tapi lagi – lagi kelu. Lagi – lagi diam. Lagi – lagi kosong. Sesaat mereka saling bertatap. Sesuatu yang dulu juga sudah sering mereka lakukan, sesuatu yang dulu terasa begitu istimewa. Mata yang menyejukkan Dinda. Mata yang dirindukan Dinda.“Mas, ayo pulang.” Ririn sudah berdiri disamping Yoga. Mengamit mesra lengan Yoga. Gong itu berbunyi lagi di kepala Dinda.“Ayo sayang. Dinda, sekali lagi terima kasih ya. Mas dan Ririn sangat berterima kasih.”Tanpa menunggu lagi, Yoga mengucapkan salam dan meninggalkan Dinda sendiri memandang jauh menembus lantai. “Ukhti sholehah, bangun yuk, QL” Lagi, Dinda teringat bunyi SMS Yoga 2 tahun yang lalu.“Ga usah, biar Dinda yang mengerjakan, ana lebih tsiqoh Dinda yang mengerjakan ketimbang ukhti Nani.” Pembelaan pertama yang didapat Dinda, di event pertamanya bekerja sama dengan Yoga.“Dinda sholehah, mas mu butuh bantuanmu, bisa datang kerumah? Tolong bantuin ibu mas masak untuk arisan.” Undangan pertama masuk ke keluarga Yoga. 9 bulan setelah keduanya terlibat dengan aktif di 10 kegiatan BEM.“Nda,itukan nama panggilan kesayangan Dinda dirumah? Mas Yoga mu boleh ya memanggilmu dengan panggilan itu?” Dan Dinda pun seketika merasa dunia yang mendung menjelang hujan saat itu cerah seperti ketika matahari menyinar dengan terik di Jakarta.“Oh itu foto kampung Nda, subhanalloh, bagus Nda, mas mu kapan mau dibawa kesana? Mas mu masa nggak mau dikenalin sama ibu dan bapak mu?” Kalimat itu makin indah terdengar, tepat 1 tahun setelah perkenalan pertamanya dengan sesosok Yoga.“Nda, met milady a, mas Cuma bias ngasih ini, nggak seberapa, juga bukan barang yang mahal. Hanya sebentuk ucapan dari mas untuk Nda.” Dinda terharu menerima sebuah gelang perak dari Yoga dihari ulang tahunnya.“Iya nih, mas Cuma mau pastikan Nda baik – baik saja. Nggak tenang mikirin Nda lagi sakit gitu sendirian pula di kost – kostan. Makan ya Nda, minum obat terus istirahat, mas baru gajian nih, Nda mau dibeliin apa? Lumayanlah, namanya juga side job, gajinya nggak besar amat. Tapi cukup untuk beliin Nda martabak. Nanti mas anterin.” Seketika itu juga Dinda merasa demamnya turun dengan cepat.“Baru buka tabungan, untuk masa depan, Nda juga mau kan?”“Nda mas besok mau siding skripsi, doakan mas mu ini ya sholehah.”“Nda, mas jatuh cinta. Hehehe, mas merasa yakin dengan yang satu ini. Insya allah siap ta’aruf, Nda tunggu aja” Dengan penuh harap Dinda pun menunggu, 1 tahun 10 bulan sejak pertama kali mereka bertemu.Dinda terus menunggu, setiap kali waktu bertemu guru ngajinya, ditunggunya dengan berdebar, kapankah guru ngajinya memberi tahu ada seorang laki – laki bernama Prayoga yusuf mengajukan lamaran untuk dirinya.Dinda terus menunggu hingga siang itu, 1 bulan yang lalu, sebuah SMS dari Yoga diterimanya.“Dinda, Insya alloh tanggal 12 Mei mas menikah. Doakan ya shalehah.” Dinda memandangi rintik hujan terakhir dari metromini yang ditumpanginya. Dengan segan beranjak dari tempat duduknya dan bergeser ke belakang. Dengan hati – hati Dinda melangkah turun dari metromini dan berjalan perlahan ke gedung sekolah didepannya, yang juga merupakan kantornya. Sebuah sekolah swasta yang dia rancang bersama Yoga.“Nda!” Tanpa perlu menoleh, Dinda tahu, itu Yoga.“Kenapa SMS atau telepon mas nggak pernah dibalas Nda?”Yoga berjalan setengah menjajarinya.“Nggak ada apa – apa mas. Memangnya ada yang penting? Mas Cuma curhat soal masakan mba Ririn kan. Aku nggak enak nanggepinnya aja.”“Nda kenapa sih? Padahal dulu Nda selalu ada untuk mas. Ada apa ukhtiku?Dinda berhenti tepat didepan musholla sekolah.Dipandanginya dalam – dalam mata Yoga dan seketika menyadari, 2 tahun berlalu sia – sia untuk jatuh cinta dengan seseorang yang bahkan tidak mengenal dirinya.Dinda menghela napas dengan berat. Lalu berlalu pergi kedalam musholla. Dibelakang, sempat didengarnya Yoga bergumam.“Kamu tetap ada dihatiku dengan posisi yang berbeda.”Seketika Dinda menangis, menyadari bahwa dia telah terlalu lama melupakan kekasihnya yang sejati.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design