Tidak ada kebaikan bagi pembicaraan kecuali dengan amalan.
Tidak ada kebaikan bagi harta kecuali dengan kedermawanan.
Tidak ada kebaikan bagi sahabat kecuali dengan kesetiaan.
Tidak ada kebaikan bagi shadaqah kecuali niat yang ikhlas.
Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesihatan dan keamanan

Jumat, 19 November 2010

Sepasang Cincin dan 'Kita

"Sepasang Cincin dan 'Kita'"
November 12, 2009 in Cerita Srikandi | Tags: cerita (Edit)

Aku tak bisa tidur. Besok aku menikah. Aku tak bisa tidur. Sekuat apapun menutup mata, aku tak bisa tidur! Jantungku berdebar kencang sekali, jadi aku tak bisa tidur. Ya, Rabb… pria itu ternyata yang kutunggu 22 tahun ini… dan besok… Insya Allah atas izin-Mu, aku… Aaahhh… aku malu… malu sekali untuk sekedar mengucapkan “sebentar lagi aku menjadi istrinya…”
Aku berdiri, mondar – mandir gak jelas di kamar. Aku bercermin, memperhatikan wajahku sendiri yang merah merona seperti kepiting rebus. Aku malu sekali, tapi aku senang. Aku bahagia. Aku melihat gaun pengantin putih yang kugantung di lemari. Lagi – lagi aku malu sendiri. Aku menyentuh pipiku dengan kedua tanganku.
“Istrinya Danof… Ahahahha! Belum… belum… bersabarlah sedikit, nak…” ujarku dalam hati.
Aku memandangi refleksi diriku dalam cermin “Hey, gadis cantik dalam cermin… Hmmm… sepertinya kamu sudah pantas menjadi istrinya! Jadi… bahagiakan dia!” Ucapku dengan nada suara yang agak berat. Meniru suara Pak RT.
“Ohoooo iyaaa… insya Allah… Pasti! Pasti berusaha!” Jawabku dengan suara normal, sambil mengacungkan jempol, sambil tersenyum. Senyum termanis seorang gadis yang malu – malu.
“Rrrrr….. Rrrrr…. Rrrrr…” Ponselku bergetar.
“Aih… siapa sms jam 2 pagi gini?” tanyaku sendiri sambil membuka inbox ponselku.

From : Danof
Adek… Uda gak bisa bobok… deg – deg-an… =________=

Aku tersenyum sendiri ketika membaca sms dari calon suamiku itu. Aku berniat membalasnya. Tapi ku urungkan. Hihihihihi… biar uda deg – deg-an sendiri panic. Ehehhehe… tapi akhirnya tanganku gatal, pingin balas sms calon suamiku itu.

To : Danof
Adek juga… ^_________^

Selesai membalas sms itu aku berbaring. Kubaca sms Danof berulang – ulang. Tanpa sadar aku sudah terlelap sendiri.
Aku merasa belum lama menutup mata. Tapi teman – temanku yang sengaja menginap dirumahku untuk mendandaniku sudah heboh mengetuk pintu. “Tuan putri, udah saatnya di dandani! Mau nikah gak sih? Kalau enggak aku gantiin nih!” Seru salah satu temanku diikuti tawa seluruh teman – temanku.
Aku bangun. Tersenyum. Lalu membuka pintu. Teman – temanku langsung masuk berhamburan.
“Cie… cie… nyenyak tidurnya… aih…” goda temanku.
“Apa sih…” Jawabku tersipu malu.
“Ayo kita rias sang putri! Nanti terlambat! Sholat dulu gih!” Seru salah satu temanku.
Aku menuruti apa yang dikatakan oleh teman – temanku, selesai sholat, aku di dandani sederhana saja. Mereka bilang aku cantik. Tapi menurutku…. Aku cantik sekali! Ehehehehe!
Masjid Al- Ikhlas. Tempat dimana akad pernikahan kami akan dilangsungkan. Danof sudah lebih dulu disana. Aku berjalan bersama teman – temanku ke Masjid itu. Aku masih deg – deg-an sekali sampai tak bisa bernafas. Ah lebai! Ujarku pada diriku sendiri. Di pintu Masjid ada foto kami berdua. Membuatku semakin grogi! Aih! Ingin ditelan bumi saja! Jangan deng! Jangan klo Danof-ku gak ikutan ketelan!
Aku masuk. Ada ceramah singkat tentang pernikahan. Aku mendengarkannya baik – baik. Fokus… ucapku dalam hati. Tak lama aku di panggil untuk duduk di sebelah kiri Danof. Kerudungku menjadi kerudungnya juga. Aku menatap pria yang duduk di sebelahku, Beberapa detik sebelum dia menjadi bagian yang paling penting dari hidupku, beberapa detik sebelum dia meng-ikrarkan bahwa ia menginginkanku, beberapa detik sebelum dia menjadi seseorang yang berhak atasku, Beberapa detik sebelum aku memanggilnya…”suamiku…”.
Akad berlangsung lancar. Alhamdulillah, tanpa diulang. Dan hari ini. Akulah wanita paling bahagia! Memiliki suami sepertinya. Aku bahagia, karena pria ini adalah pria yang sungguh kucintai. Tak mudah bagi kami sampai kesini. Banyak yang Ia korbankan, banyak juga yang aku korbankan. Tapi semuanya tetap saja indah. Karena aku melalui semuanya bersamanya… hehehe…
Mulai detik ini, aku istrinya. Iya, wanita paling beruntung itu aku. Dirumah kami yang sederhana, aku duduk di ruang tamu bersamanya.
“Adek…” Panggilnya lembut.
“Iya, suamiku…” Jawabku agak janggal. Hehehhe… belum terbiasa memanggilnya seperti itu.
“Adek bahagia?” tanyanya.
“Enggak…” Jawabku singkat, tanpa memandangnya.
“Hah?! Adek ni! Seriuslah! Uda serius nih!” Tanyanya meyakinkan dengan ekspresi wajah panik, bingung, dan aneh.
“Iya, enggak salah lagi… Bahagia banget… ehehehhe” jawabku sambil tersenyum.
“Adek sayang ama uda?” Tanyanya lagi.
“Hmmm… gimana yah? pertanyaan yang sulit!” jawabku bercanda.
“Aaa… adekkk… uda serius! Adek ni…” jawabnya mulai ngambek.
“Iya, cinta! cinta!” jawabku pura – pura cuek.
“Jangan sok cuek gitu deh, dek… kartu adek udah sama uda semua nih! mau dikeluarin!” ancamnya.
“Keluarinlah, suamiku tercinta… adekpun punya kartu Uda, plus joker – jokernya!” tantangku.
Dia tertawa. “Adek ni! uda sebenernya tau, cuma uda pingin denger langsung dari adek… dari istriku…” ujarnya lembut.
Aihh… jantungku serasa mau copot denger kata ‘istriku’ dari mulutnya. “Iya, uda… udaku yang kecut… ehehehhe!” Candaku lagi, menutupi rasa maluku.
“Adeeeeekkk…” serunya dengan nada hampir menyerah.
“Adek sayang uda…” Ucapku tulus sambil tersenyum.
Hening. Danof terdiam, tak membalas senyumku. Dia malah menarik daguku supaya berhadapan dengannya lalu mengecup keningku lembut. Dan beberapa detik setelahnya, wajahku serasa terbakar… malu… Danof tertawa. “Muka adek merah kuadrat… hahahaha!” godanya.
“Aaaahhh… perasaan uda aja… biasa aja koq… sembarangan!” ujarku membela diri, meski aku tahu yang dikatakannya benar.
Dia menggandeng tanganku. Cara gandengan tangan yang aneh, ia mengaitkan kelingkingnya ke kelingkingku “Ayo bobok, dek… uda ngantuk…” Ujarnya sambil menutup mulutnya yang sudah mulai menguap. Aku menurut saja.
Pria yang terbaring lelap di sampingku ini. Lihatlah dia… orang lain dalam hidupku, tak berhubungan darah denganku, namun memberikan segalanya untukku demi membahagiakanku. Aku menatap wajahnya yang sedah tertidur pulas. Menghafal setiap garis wajahnya. Mengingat ekspresi pulasnya. Aku memandanginya dengan takjub. Bagaiman bisa Allah menakdirkannya menjadi bagian dari hidupku…? Tanyaku.
“Adek… adek kemana…?” Igaunya.
Aku tersenyum kecil mendengar Danof mengigau. “Adek disini, uda…” jawabku sambil membelainya lembut. Dan beberapa saat setelah itu, tanpa kusadari, akupun terlelap.
Paginya, uda membangunkanku dengan lembut. “Adek… ayo subuhan…” ucapnya sambil mengecup keningku.Aku langsung terbangun. Bagaimana tidak! Sepertinya dia sudah mulai mengetahui senjata ampuh untuk membangunkanku. Ahahahaha! Kami berwudhu, dan sholat berjamaah berdua. Setelah sholat, aku menyalaminya. Dia memintaku membaca Al-Qur’an, aku kira dia mau memperhatikanku, nyatanya dia malah berbaring di pangkuanku. Mendengarkanku sambil memejamkan mata.
Aku menyiapkan sarapan dan seragam yang dipakai Danof untuk berangkat kerja. Sepatunya kusemir sampai mengkilat. Memasukkan bekal k etas kerjanya dan semua yang perlu dibawanya. Danof sudah siap mau berangkat kerja.
“Adek… uda udah siap… tampan kan?” tanyanya PeDe sekali.
“Belum…” Jawabku seraya menghampirinya dan merapikan kerah dan ikat pinggangnya. “Ini baru suamiku yang tampan!” seruku setelahnya.
“Ehehehehe… Iya dong!” Ujarnya bangga sambil tersenyum. Ciri khas senyum Danof adalah taringnya. Aku senang sekali melihatnya tersenyum dengan embel – embel taring itu. Hehehehe…
Aku mengantarnya sampai ke Halte. Seperti biasa dengan gandengan tangannya yang khas. Kelingking-kelingking. Sepanjang jalan, orang – orang memperhatikan kami Tapi… maaf saja… kami tak peduli. Dunia sedang milik kami. Sesampainya di Halte kami menunggu bis sambil bercerita – cerita. Tak lama kemudian, bus datang Ugh… sebenarnya aku gak pingin uda berangkat kerja hari ini… tapi mau bagaimana lagi.
“Gak salim, dek…” tanyanya lembut.
“Hehehehe… iya uda…” jawabku sambil meraih tanganannya dan menyaliminya.
“Uda pergi dulu yah..” pamitnya sambil naik bus. Tapi tertahan karena aku menarik ujung bajunya.
“Aaaadeeeek…” ucapnya sambil tersenyum.
“Uda hati – hati… cepat pulang…” Ujarku sambil melepas ujung bajunya.
“Iya… adek juga hati – hati yah… di rumah aja, jangan kemana – mana… jaga Iffah-nya ya, dek…” Pesannya.
Aku mengangguk dan melambai padanya, memandanginya sampai tak terlihat lagi. Lalu aku kembali ke ‘rumah kami’. Dan memulai hari keduaku sebagai istrinya… Aku bahagia. Bahagia mencintainya…

1 komentar:

Mershelly Syanel mengatakan...

plagiat!

Posting Komentar

 
Cheap Web Hosting | new york lasik surgery | cpa website design